"Bangun ... bangun, Kang," kata Faruq sambil mengguncangkan tubuh Wisaka. Rupanya dia terbangun karena teriakan Wisaka. "Ada apa teriak-teriak?" sambungnya.
"Aku mimpi, Mayang diculik orang," ujar Wisaka saat terbangun dari tidurnya. Keringat dingin mengucur di dahinya, napasnya tersengal-sengal.
"Mayang siapa?" tanya Faruq. Perasaan baru kali ini Faruq mendengar nama itu.
"Anakku," jawab Wisaka singkat.
"Ooh." Faruq tidak banyak bertanya lagi.
"Dia diculik," cetus Wisaka setelah lama terdiam. "Ada orang berpakaian serba kuning dan bercadar tiba-tiba menyambarnya," jelasnya.
Faruq hanya diam mendengarkan, dirinya bingung harus bicara apa, dia tidak mengenal Mayang, apalagi orang bercadar itu.
Wisaka juga ikut terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Pemuda itu kemudian bangkit lalu bersedekap dan memejamkan matanya mencoba bertelepati dengan Leli, istrinya.
Wisaka bisa mendengar Leli bicara, dan mendengar suara-suara kecil di samping Leli. Tidak ada nada kesedihan dalam celotehan mereka. Wisaka lega, semua hanya mimpi. Mayang masih ada di sisi Leli. Perlahan-lahan wajahnya cerah kembali.
"Ayo, tidur lagi," ajak Wisaka.
"Ya, Tuhan, semoga kali ini tidurku nyenyak sampai pagi, tidak ada yang mengganggu lagi." Faruq menadahkan tangannya berdoa.
"Alaah, kamu itu," ejek Wisaka.
"Lah iya kan, semenjak kita di hutan, tidak pernah tidur nyenyak, ada saja gangguan, siluman lah, pocong lah, kuntilanak, semua bergantian datang," gerutu Faruq.
"Kapan kita bertemu pocong, perasaan belum, kan?" tanya Wisaka.
"Ihhhh, amit-amit deh, aku gak mau ketemu hantu lagi," protes Faruq.
Wisaka tertawa sambil bersiap untuk tidur lagi. Malam semakin meninggalkan kelamnya. Matahari sebentar lagi terbit di ufuk timur. Mengantarkan siang dengan segala terangnya.
Wisaka, Faruq serta Onet bersiap meninggalkan tempat itu. Berjalan lagi dengan sebuah harapan untuk sampai ke tempat tujuan hari ini. Cuaca agak mendung kali ini. Mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Benar saja hujan turun dengan derasnya. Terpaksa Wisaka mencari gua untuk berteduh. Entah kebetulan atau apa, ada sebuah gua kecil yang cukup untuk mereka berteduh sambil menunggu hujan reda.
Samar-samar dari dalam goa terdengar suara perempuan menangis. Wisaka dan Faruq memasang telinga baik-baik. Apakah betul itu suara perempuan menangis?
"Kang, suara siapa itu?" tanya Faruq.
"Entahlah," jawab Wisaka.
"Haduuh, mulai lagi deh," keluh Faruq.
"Sudahlah, kita diamkan saja," ujar Wisaka cuek.
Lamat-lamat Wisaka mendengar suara minta tolong, dengan sangat memelas perempuan itu memohon kepada Wisaka. Wisaka mengubah posisi duduknya, kemudian bersila memejamkan matanya. Faruq diam dan tegang memperhatikan Wisaka. Wisaka komat-kamit baca mantra.
"Namamu siapa, Nyai?"
"Namaku Suli Anggi, perempuan meninggal sudah dua puluh tujuh tahun lebih kurangnya, panggilanku Uli."
"Mengapa kamu menangis?" tanya Wisaka.
Wisaka melihat sosok cantik, ayu, badannya mungil kulit sawo matang rambutnya panjang terus ada tahi lalat di pipi kiri.
Si Uli ini seorang gadis remaja umuran 15 tahunan.
"Aku ingin bercerita," kata Uli.
"Ya sudah bercerita, tidak usah menangis," suruh Wisaka.
"Dahulu aku orang yang sangat miskin tinggal sama nenek yang bernama Mbah Sumi.
Saking susahnya atap rumahku terbuat dari anyaman daun kelapa. Tidur juga alasnya tanah. Sebenarnya aku tidak tahu orang tuaku di mana apa masih hidup atau tidak? Karena Mbahku ini cuma bilang sudah gak ada, tapi menurut orang desa sekitar, aku anak di luar nikah. Aku tidak tahu benar atau tidak. Jaman dulu itu rentan banget diperkosa dan dibunuh. Aku tinggal di atas lereng gunung itu," tutur Uli sambil menunjuk sebuah kaki bukit.
"Lalu ...."
"Suatu hari aku bersama Mbahku pergi memungut kayu bakar. Di dalam perjalanan berjumpa dengan tiga orang lelaki sudah bapak-bapak. Di situlah terjadi pemerkosaan, aku diseret ke mana-mana. Terus ditelanjangi dan diperkosa bergilir, kemudian aku di lempar ke hutan. Mbah yang sudah sangat tua ditendang sampai mati. Setelah itu datang kayak mbah-mbah gitu mengambil darah dari kemaluanku untuk dijadikan gak tahu apa. Nah sekarang dijadikan pelaris sebuah usaha." Arwah Uli bercerita sambil menangis.
"Aku harus bagaimana?" tanya Wisaka.
"Tolong ... sebenarnya aku tersiksa jadi budak pesugihan mereka. Aku marah tapi tidak berdaya. Jangan lagi orang menggunakan hal begini untuk mencari rezeki masih banyak jalan yang benar. Karena aku tidak mau banyak orang makan kotor," ujarnya lagi.
"Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud, Nyai, maafkan aku tidak bisa menolongmu, ada urusan yang lebih penting yang harus aku selesaikan," tutur Wisaka.
Arwah Uli menangis, Wisaka tidak tega melihatnya, tetapi dia tidak mengerti dengan persoalan yang dihadapinya. Apalagi menyangkut masalah pesugihan, Wisaka betul-betul tidak mengerti.
"Hujan sudah reda, Nyai, aku harus melanjutkan perjalanan, aku hanya bisa berdoa, semoga arwahmu bisa kembali ke sisi yang Maha Kuasa," imbuh Wisaka sambil bersiap. "Ayo Faruq, kita lanjutkan perjalanan kita," ajak Wisaka.
Bukan perjalanan yang mudah untuk mencapai pemukiman Kyai Abdullah. Jalan setapak kecil yang jarang dilalui orang, hampir tertutup oleh semak belukar.
Hampir sore saat mereka tiba di puncak gunung. Pelataran yang bersih dinaungi sebatang pohon besar yang rindang. Ada sumur kecil dengan mata air yang tidak pernah kering. Sejuk sekali, pemandangan sangat indah dari puncak gunung tersebut. Jauh di sana, pemukiman penduduk nampak samar-samar.
Wisaka dengan sedikit ragu-ragu menghampiri pondok satu-satunya di puncak gunung tersebut. Ia dan Faruq duduk di teras pondok yang terbuat dari bambu sambil memandangi pintu pondok. Mereka berpandangan sejenak.
"Ketuk pintunya," bisik Faruq.
Wisaka tetap bergeming. Pemuda itu nampak sungkan, malah dirinya melihat-lihat sekitar yang nampak asri. Tiba-tiba Onet bersuara gaduh sambil menunjuk-nunjuk. Mereka mengikuti arah telunjuk Onet.
Seorang kakek berjubah putih berwajah bersih nampak berjalan dengan gagah. Walaupun sudah berumur tetapi langkahnya masih tegap. Itulah Kyai Abdullah. Ia menghampiri Wisaka dan Faruq yang sedang duduk di teras.
"Aku sudah lama menantikan kalian," katanya.
Wisaka dan Faruq cepat memburu kakek tersebut dan mencium tangannya dengan takzim.
"Banyak sekali rintangan di jalan, Kyai," ujar Wisaka.
"Panggil saja aku, Kakek," pungkas Kyai Abdullah.
"Baiklah, Kek," kata Wisaka.
"Kakek, ini aku ada titipan dari guruku," kata Faruq sambil menyodorkan bungkusan.
"Hehehe, baiklah ... rupanya Kyai Ageng mengembalikan ini padaku," ungkap Kyai Abdullah sambil menyebut nama guru Faruq. "Mengapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Kyai Abdullah.
"Ceritanya panjang, kami bertemu di jalan. Kakang Wisaka ini yang menolongku dari perampok kitab ini, Kek," jelas Wisaka.
"Ya ... ya, dan kamu Wisaka, apa yang terjadi di kampungmu? Sehingga kau jauh-jauh datang kemari?" tanya Kyai Abdullah.
Wisaka menceritakan kematian demi kematian pria muda di malam pengantin. Begitu juga nasib pengantin wanita yang diperkosa dan jiwanya diambil. Tidak lupa pemuda itu juga menceritakan tentang Pak Amir yang menyuruhnya ke tempat ini. Terlihat dahi Kyai Abdullah mengernyit begitu mendengar kata itu.
"Amir? Siapakah Amir?"