Kubuka tirai jendela yang menghadap langsung ke bawah jurang dengan garis pantai yang warna airnya kontras dengan warna pasir putih. Kebanyakan pasir yang ada di daerah pantai selatan Jawa berwarna kecoklatan dan bahkan selegam tanah, namun beda dengan pasir yang ada di sekitaran Pantai Kukub ini yang memiliki keindahan berbeda dari kebanyakan pantai di sebelah selatan Gunung Kidul termasuk pantai-pantai di selatan Kota Yogyakarta.
Sudah hampir dua minggu aku menginap di hotel yang berada di perbukitan Gunung Kidul, dalam rangka tugas-tugas rahasia yang diberikan komunitas yang selama ini melindungiku dari ancaman para pendekar-pendekar pulau Buton yang menganggapku sebagai kutukan dan akan mengancam suku mereka. Semenjak kejadian di upacara pembaptisan diriku dulu, aku terus berlari. Awalnya, aku mendapat dukungan penuh dari Uma namun demi keselamatan saudaraku yang lain, akhirnya Uma melepasku berlari sendiri dan hanya mengirim doa keselamatan dari jauh.
Tugas dari komunitas "Rumah Putih" yang membawaku ke Gunung Kidul ini tidak kulakukan sendirian. Ada beberapa orang yang bersamaku namun tidak satupun tahu bahwa aku tidak sendirian termasuk Aron dan temannya, Rengganis yang aku temui semalam. Hmmmm…. Rengganis. Perempuan itu, dia tidak menyadari potensinya sendiri. Dia mengira bahwa bakat anaknya datang dari lelaki yang bukan suaminya namun mencintainya –kalau tidak salah tebak- padahal kemungkinan seperti itu sangat sedikit sekali. Yang bisa terjadi dan mungkin logisnya, bisa jadi kekasihnya tersebut tanpa sengaja atau bahkan sengaja diam-diam menyalurkan kemampuannya melalui hubungan batin yang cukup kuat. Cinta. Atau bahkan, kemungkinan besar perempuan itu sendiri telah memiliki bakat besar yang tidak dia sadari.
Tok..tok..tok…
Suara ketukan di pintu kamar. Aku beranjak dari belakang jendela tempatku berdiri menikmati keindahan pagi dan berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Berdiri pelayan hotel dengan seragam batik yang cantik hari ini.
"Maaf, saya hanya hendak memberi tahu bahwa sarapan pagi disiapkan. Apakah Anda hendak sarapan di resto hotel atau sarapan di dalam kamar saja?"
Sejenak saku terdiam, menimbang kira-kira ingin sarapan sambil menikmati pemandangan jurang dan pantai Kukup dari kamar atau menikmatinya bersama penghuni hotel lain di resto yang tadi malam sudah kunikmati cukup lama bersama Aron dan temannya.
"Di kamar saja, ya. Terima kasih sebelumnya." Akhirnya aku memutuskan.
Alasanku bukan sekedar ingin menikmati pagi dari kamar saja, namun aku juga perlu sendiri untuk memikirkan banyak hal sebagai persiapan pertemuan dengan anggota komunitas yang berada di sini. Beberapa hal penting tentang pendapatku saat mereka memintanya, juga kesediaanku memenuhi tugasku saat mereka memberikannya. Sedikit banyak aku sudah mendapat bocoran bahwa komunitas sedang mendapat desakan dari para tetua untuk menyiapkan tim dengan kemampuan khusus. Hanya aku belum tahu tujuan dengan dibentuknya tim tersebut. Rata-rata kemampuan kami kebanyakan adalah insting yang tajam atau kemampuan melihat makhluk dari dunia lain. Aku adalah salah satu dari sedikit yang memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya.
Tidak lama kemudian pelayan tadi sudah kembali dan langsung masuk ke dalam kamar yang sengaja pintunya tidak saya tutup. Dia meletakan sepiring nasi goreng, sepiring kecil roti bakar dan secangkir kopi serta segelas teh panas ke atas meja yang ada di depan tempatku duduk. Kursi tempatku duduk berada di belakang jendela kaca besar yang menghadap ke arah lanskap pantai dengan meja bulat dari kayu jati yang saat ini sudah penuh dengan menu sarapan.
"Mmmmmm… Maaf mbak, saya minta tolong kalau keluar pintu ditutup ya?! Terima kasih sebelumnya."
"Iya, mbak." Kemudian pelayan hotel tadi keluar dan melakukan instruksiku.
Kuambil sepotong roti dari piring kecil dengan sebutir telur ayam rebus. Aku selalu mengisi perutku dengan makanan sebelum menikmati secangkir kopi. Ini karena perutku memang agak berlebihan asam lambung sehingga untuk bisa menikmati makanan atau minuman yang aku suka namun berlawanan dengan kondisi perutku, aku harus memiliki cara untuk menghindari ketidak nyamanan tubuhku, salah satunya adalah mengisi perut dengan makanan setelah minum air putih yang banyak baru menikmati kopi kemudian.
Aku tidak pernah rewel dengan jenis makanan apapun, namun hanya memilih yang tepat untuk tubuhku sesuai dengan kondisi tertentu, seperti memilih makanan yang tepat untuk sarapan yang tidak akan membuatku terlalu kenyang namun mengganjal lambung dengan baik, seperti sebutir telur rebus yang seringkali menjadi pilihan utama untuk sarapan. Perlahan kukupas kulit telur setelah menghabiskan setangkup roti bakar, kemudian kukunyah sedikit demi sedikit. Namun baru hendak menghabiskan gigitan kedua, terdengar kembali ketukan pintu kamar. Aku segera beranjak membukanya.
"Oh. Ada apa Ni?" Ni wayan sudah berdiri di depan pintu.
"Kita diminta segera ke kamar Gde, Wa."
"Ini baru pukul 06.30, Ni. Bukannya jadwal pertemuan masih nanti pukul 09.00?"
Kulihat ada ekspresi terburu-buru di raut muka Ni Wayan.
"Entahlah, Wa. Sepertinya ada hal mendesak yang ingin disampaikan Gde."
"Baiklah, aku akan segera bergabung. Beri waktu 15 menit untuk bersiap."
"15 menit terlalu lama, Wa"
"iya. Sepuluh menit deh!" segera kututup pintu sebagai penolakan tawar menawar dari Ni Wayan.
Sialan! Rusak sudah sarapan pagiku dan secangkir kopi itu. Cepat-cepat aku ke kamar mandi dan segera menyiram tubuhku dengan air hangat yang kulakukan tanpa sempat memikirkan apakah ada bagian tubuhku yang masih licin karena beberapa sabun yang belum tersiram bersih. Yang ada hanyalah perasaan sudah merasa cukup saat tubuh kembali segar dan ringan efek sugesti yang diberikan oleh setiap tetes airnya.
Kubuka pintu kamar Gde, dan kulihat 4 orang sudah duduk saling berhadapan, dan muka mereka serentak menghadap ke arahku ketika pintu kubuka lebar. Muka dengan ekspresi seperti kanvas yang baru dilukis hanya dengan satu warna harapan. Warna ekspresi yang sama yang tergambar pada wajah mereka, membuatku sesaat membatu di depan pintu yang bahkan belum sempat kututup kembali. Wadak yang kumemiliki mulai bekerja, dan sedikit banyak aku bisa membaca pikiran mereka. setelah beberapa saat, aku mulai tersadar dari kekakuanku sendiri.
"Kalau tentang anak itu, kusarankan kalian untuk berhenti hanya sampai pada ruang ini!"
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung menembak mereka dengan kalimat yang lahir dari sensor wadakku. Mereka paham, aku sudah membaca pikiran. Dengan tenang kututup pintu di belakangku dan berjalan menuju mereka, mencari tempat kosong untukku meletakan pantat.
"Wa, kita sudah didesak para tetua untuk mencari gen seperti anak itu karena tetua sendiri seperti didesak suatu elite yang mereka rahasiakan. Ini harus, Wa!"
"Ibunya tidak akan setuju! Karena saya lihat, saat melahirkan anak itu, ibunya punya misi sendiri."
"Kita Paksa!"
"Gde!"
Pagi sudah mulai tidak tersentuh dinginnya hawa pegunungan Gunung Kidul. Perlahan dan pasti, semua berubah bara.
— ตอนใหม่กำลังมาในเร็วๆ นี้ — เขียนรีวิว