ดาวน์โหลดแอป
90.9% Delete09 / Chapter 20: 20. Kematian di Arizona

บท 20: 20. Kematian di Arizona

Julia berjalan dengan santai setelah mengenakan pakaian laboratorium beserta helmnya. Sedangkan Myujin yang tidak menemukan pakaian lain harus merelakan dirinya terjebak di dalam baju tentara. Ia memakai sebelah penutup mata untuk mengecoh petugas yang ada di sekitar.

"Kau dokter dari divisi mana?"

Julia yang merasa pria itu bicara dengannya langsung menoleh. "Radar dingin."

Pria itu mengangguk pelan, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Myujin tersenyum puas melihat istrinya yang berbakat menyamar seperti ini. Kini giliran dia yang harus berkumpul dengan petugas lainnya. Myujin mengangkat ibu jarinya sebagai tanda perpisahan, lalu Julia juga melakukan hal yang sama.

Mereka berpisah tepat di persimpangan antara ruang radar dingin dengan koridor gelap yang menuju ke lapangan tempat meledakkan bom. Julia menarik napasnya dalam-dalam, ia harus mempersiapkan mental sebelum melihat semua yang terjadi di dalam sana. Begitu menyibakkan kain yang menutupi pintu, ia bisa mendengar samar-samar jeritan dari dalam.

"Ini neraka," gumam Julia.

Ia menoleh sejenak memandangi suaminya yang sudah bergabung dengan tentara lain. Mereka tengah merapikan barisan dipimpin oleh pria berjanggut 5 cm dengan penampilan mengerikan.

Tiba-tiba saja pintu terbuka hingga membuat Julia sontak mundur beberapa langkah. Melalui celah pintu ia bisa melihat seorang wanita yang sudah dalam kondisi mengenaskan. Sebagian besar kulitnya mengelupas sisanya berwarna merah melepuh.

"Cepat masuk sebelum dokter datang," kata pria yang membuka pintu tersebut.

Julia mengangguk cepat. Ia bergegas masuk ke dalam ruangan itu walau dengan kaki yang gemetar. Sedangkan pria tadi, nampaknya masih memiliki urusan di luar. Julia hampir saja muntah saat wanita yang duduk di kursi itu hendak dipindahkan ke meja. Kulit kepalanya mengelupas saat beberapa helai rambut ditarik oleh petugas.

"Kau!" Seorang wanita menunjuk tepat ke arah Julia yang berdiri di depan pintu. "Bantu kami!"

Julia menelan ludahnya kasar. Untung saja ia hanya perlu mengangkat bagian kakinya. Jika kepala, ia bisa saja muntah di atas wajahnya.

Begitu diangkat Julia sangat gemetar. Seperti ayam mati yang direbus di air panas, kulitnya mengelupas setiap kali bersentuhan dengan sesuatu. Saat ini saja Julia bisa merasakan ada benda lengket yang menempel di telapak tangannya.

"Dokter gila itu belum kembali?"

"Untuk apa peduli dengan hal itu? Lagipula dia tidak akan mengunjungi tempat menjijikkan ini."

"Berapa orang lagi yang akan masuk ke air es?"

"Tersisa 5 orang. Jika tidak ada yang bisa bertahan, kita yang akan menjadi bahan percobaan selanjutnya."

"Bagaimana ada yang masih bisa hidup setelah disiram air panas?"

Hanya mendengar percakapan orang yang ada di ruangan itu saja membuat Julia merasa ketakutan. Jika hanya melihat orang berlumuran darah, ia masih bisa bertahan. Tapi kulit yang mengelupas dan mata yang keluar, benar-benar membuat perutnya mual.

"Hei, kau dokter pindahan dari divisi bedah hewan ya?" tanya Clay, wanita yang meminta bantuannya mengangkat mayat.

Julia mengangguk kaku walau ia tidak tahu kalau di sana ada tempat pembedahan hewan. Jawabannya nampak sedikit berguna karena tidak ada lagi pertanyaan susulan yang diajukan oleh wanita tersebut.

Beberapa menit tanpa pekerjaan, pintu ruangan itu terbuka. Nampak Vasko dan Alan yang datang dengan pistol di tangannya. Mereka masuk sembari menyeret seorang pria yang tidak sadarkan diri. Lalu pria itu dilempar masuk ke dalam air es.

"Di mana kalian menemukan orang ini?" tanya Clay.

Vasko menunjuk ke sembarang arah. "Hutan. Kebetulan sekali mereka berkeliaran di sekitar sini."

~~~

"Ke mana tujuan kalian?"

Gill yang duduk di belakang berteriak cukup keras. "El Dorado."

"Kalau begitu kita berpisah di sini."

Gill mengernyitkan dahinya. "Di mana kita saat ini?"

Jeremy menunjuk ke arah baliho besar yang ada di pinggir jalan. "Perbatasan Arizona."

Gill menghela napasnya pelan, mau tidak mau mereka turun dari mobil tersebut. Matahari sudah mulai agak meredup karena langit hitam yang menyelimuti tempat tersebut. Jeremy mengikutinya dari belakang dengan membawa kotak berisi senjata. Sebelum melanjutkan perjalanan, Gill menunjuk toko yang ada di pinggir jalan.

"Kita ke sana," kata Gill.

Jeremy mengernyitkan dahinya. "Berbelanja?"

Gill mengangguk, ia melirik ke arah kotak yang dibawa oleh rekannya tersebut. "Kita butuh sesuatu untuk menyembunyikan senjata itu."

Jeremy yang mengerti langsung tersenyum lebar sembari menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mereka bergegas memasuki toko pakaian tersebut. Karyawan yang menjaga tempat itu nampak tengah tertidur dengan topi menutupi wajahnya. Gill mengambil asal pakaian yang ada di sana. Lagipula mereka hanya akan memakainya sebagai penutup senjata.

"Bawa ke meja kasir," kata Gill sembari menyerahkan beberapa pasang pakaian pada Jeremy.

"Ini kotaknya."

Gill mengangguk, lalu mengambil alih kotak yang ada di tangan Jeremy. Kini mereka bertukar barang. Gill mengamati rekannya yang sedang meletakkan pakaian di meja kasir. Dia terlihat sedang mengetuk meja dengan jari telunjuknya untuk membangunkan sang kasir. Namun tidak kunjung ada pergerakan. Jeremy menoleh ke arah Gill, dagunya bergerak menunjuk ke arah karyawan itu dengan dahi berkerut.

Helaan napas pelan lolos dari mulut Gill. Ia berjalan cepat menghampiri sahabatnya tersebut. Tanpa rasa takut ia mengambil topi yang menutupi wajah karyawan itu. Keduanya sontak mundur beberapa langkah. Mereka sangat terkejut saat mendapati pria berkumis pirang itu sudah kaku dengan mulut terbuka dan mata melotot. Dari hidungnya terlihat darah yang sudah mengering.

"Di-dia mati?" tanya Jeremy dengan suara gemetar.

Gill mengangguk pelan. "Ya, dia mati."

Gill secepat mungkin meletakkan kembali topi itu di wajah karyawan tersebut. Setelah itu ia mengambil pakaian yang ada di meja. Ia mulai menutupi semua senjata yang ada di dalam kotak dengan pakaian tersebut. Setelah itu ia menarik belakang baju Jeremy agar segera keluar dari sana.

Perjalanan mereka sudah hampir membuahkan hasil. Perbatasan Arizona, mereka memerlukan waktu sekitar 20 jam perjalanan jika berjalan kaki. Andai saja ada kendaraan yang melintas, mereka hanya perlu membuang waktu kurang dari 10 jam.

"Mau berjalan kaki?" tanya Gill.

Jeremy mengembuskan napasnya pelan. "Bagaimana kalau beristirahat dulu?"

Gill berbalik sembari menunjuk toko pakaian yang dimasukinya beberapa menit lalu. "Istirahat di sana?"

"Kau gila?! Di sana ada mayat!" kata Jeremy dengan mata melotot.

Gill menaikkan kedua bahunya. "Tidak ada satu pun bangunan di sini. Kalau ingin mencari hotel, kita bisa berjalan 500 meter ke depan."

Jeremy yang sudah terlihat lelah langsung merebahkan tubuhnya di atas tanah yang gersang tersebut. Awan hitam sudah berhasil mendominasi langit yanh semula cerah. Mungkin hujan akan segera turun tidak lama lagi.

"Lebih baik kita kembali ke toko itu," gumam Gill.

Jeremy mengalah saat rintik hujan mulai turun. Akhirnya mereka kembali masuk ke toko yang terletak bersebrangan dengan mereka. Hanya tempat itu yang bisa melindungi mereka saat ini. Terlepas dari adanya mayat, Jeremy berharap ada sesuatu yang bisa dimakan.

"Perutku seakan memberontak ingin pulang," kata Jeremy.

"Kalau begitu biarkan saja dia pulang," jawab Gill.

"Bocah bodoh!" Jeremy merangkul sahabatnya itu dengan riang. "Kau sudah banyak berubah, Gill!"


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C20
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ