***
Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Denpasar, Jumat, 23.10 WITA.
Aletta dan keluarganya ke luar dari gate domestik dengan pakaian yang santai. Varrel membawa sebuah koper besar yang berisi kebutuhannya dan Stefani, sementara Aletta membawa tas ransel yang berisi kebutuhannya sendiri. Mereka akan menginap di Bali selama tiga hari dua malam, tetapi Aletta akan pulang lebih dahulu, mengambil jam terpisah dengan orang tuanya dengan alasan ada acara reuni di sore hari.
"Taxi-nya sudah sampai. Ayo, cepat!" ujar Varrel ketika melihat ponsel, lalu menggenggam tangan Stefani dan berjalan dengan cepat. Aletta yang sejak di pesawat selalu mendengarkan musik pun hanya membuntuti mereka di belakang.
Mereka berjalan ke tempat penjemputan. Saat ke luar dari bandara, banyak Taxi yang berjejer di pintu ke luar. Varrel langsung menghampiri salah satu Taxi ketika melihat plat yang sama dengan yang tertera di ponsel.
Pria itu mengetuk kaca jendela dengan hati-hati. "Selamat malam. Pak Jayadi?" tanya Varrel yang ditanggapi supir itu dengan senyuman.
"Oh iya, selamat malam. Pak Varrel, ya?"
"Iya. Bagasi bisa dibuka, Pak? Saya mau taruh koper dan tas ransel."
"Bisa, bisa, Pak. Tunggu sebentar," ujar supir Taxi yang langsung turun, kemudian membuka bagasi dan membantu Varrel untuk meletakkan bawaan mereka ke bagasi.
"Pa, ranselnya tidak ku pegang saja?" tanya Aletta saat Varrel meminta tas ransel miliknya.
"Sudah, ditaruh saja," kata Varrel mengambilnya dari tangan Aletta. "Kamu ajak mama masuk sana," sambungnya lagi yang membuat Aletta langsung mengajak Stefani untuk duduk di kursi belakang.
Tak lama kemudian, pintu bagasi tertutup, lalu Varrel dan supir masuk ke dalam Taxi.
"Ke Hotel XX, ya, Pak?" tanya supir Taxi tersebut sambil memutar kemudi dan melihat kaca spion.
"Iya, Pak. Jauh tidak dari sini?" tanya Varrel sambil memakai seatbelt.
"Tidak jauh. Hanya lima belas menit," jawab sang supir. Taxi itu pun berjalan, membelah Jalan Raya Gusti Ngurah Rai menuju hotel yang disebutkan oleh sang supir Taxi tadi.
Tujuh belas menit berlalu, mereka akhirnya sampai di Hotel XX. Rian, ayah Joshua, dan beberapa staf hotel telah menunggu kedatangan keluarga Aletta yang terakhir tiba di Bali. Ketika hendak memasuki hotel, staf terlebih dahulu mengalungkan untaian bunga ke leher mereka sembari mengucapkan selamat datang dengan ramah.
"Rian!" seru Varrel sembari memeluk saudara tertuanya itu.
"Varrel! Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ujar Rian sambil tertawa. Mereka melepaskan pelukan. "Kamu sehat?"
"Sehat." Varrel menoleh pada Stefani dan Aletta yang berada di belakangnya. "Sini, cantik-cantikku," ujarnya yang membuat Stefani serta Aletta mengerutkan kening, membuat Rian tertawa kecil dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh mereka.
"Kak Rian. Sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali waktu dua tahun yang lalu, saat Kakak kunjungan ke NYC," ujar Stefani memeluk singkat kakak iparnya.
"Benar, kamu benar." Rian menoleh pada Aletta yang tengah membuka earphone yang digunakannya. "Anak gadis. Sini, Le! Om kangen sama kamu," ujarnya merentangkan tangan.
Aletta tersenyum simpul, kemudian menaiki tangga dan memeluk Rian sejenak.
"Sehat, Om?"
"Puji Tuhan, hanya sering pusing saja, Le."
Aletta terkekeh kecil. "Ale jamin, besok Om tidak akan pusing lagi."
"Loh, kenapa?" tanya Rian terkejut. "Denyut nadi Om terasa lebih baik, ya?" Pria itu memegangi dadanya.
Aletta menggeleng sambil tersenyum lebar. "Karena besok si pembuat onar akan menikah," jawabnya yang disambut dengan tawa lepas dari Rian, Varrel, dan Stefani.
"Kamu ini... suka benar," ujar Rian mengelus kepala Aletta. "Sayang sekali kamu baru datang. Saudara-saudaramu sudah datang sejak kemarin dan party bersama Rian. Biasa lah, anak zaman sekarang."
Aletta terkekeh kecil. "Maaf, Om. Ale belum bisa cuti karena masih anak baru, ada proyek perdana yang baru diluncurkan juga. Jadi, sibuk sekali."
"Ya sudah, tidak apa-apa. Bisa hadir di pernikahan Joshua pun Om sudah sangat bersyukur ." Rian menoleh pada Varrel yang baru mengambil koper dan tas ransel.
"Ayo, masuk! Kalian langsung ke kamar saja, ya? Pasti masih merasa jet lag."
Rian pun mengajak mereka masuk dan meminta dua kartu kamar dari resepsionis. Pria itu menyerahkan satu kartu pada Varrel dan satu lagi pada Aletta. Mereka pun berpisah di lobby hotel. Rian kembali mengecek aula untuk pernikahan putranya dan keluarga Aletta pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
***
Aula Indoor Hotel XX, 09.03 WITA.
Pengantin wanita yang paling cantik dan mempesona memasuki ruang aula diiringi oleh ayahnya dan Bridesmaids. Di ujung sana, ada Joshua yang menunggu sambil tersenyum tegang, membuat Aletta merasa kesulitan untuk menahan tawa.
"Ini hari yang baik," ungkap Stefani memperhatikan pengantin wanita yang berjalan perlahan-lahan.
"Tapi senyum Joshua membuatku sulit untuk tidak tertawa, Ma," sahut Aletta dengan setengah berbisik.
Stefani menepuk pelan paha Aletta. "Shut! Ini acara sakral, Le."
"I--iya, iya, Ma."
Stefani sedikit menoleh pada Aletta dan berbisik, "Maksud Mama, nanti saja tertawanya, saat pemberkatan mereka sudah selesai." Hal itu membuat Aletta tersenyum lebar dan langsung mengacungkan ibu jari.
"Kalian membicarakan apa?" tanya Varrel penasaran.
Stefani dan Aletta saling melirik, kemudian menggeleng dan menjawab bersamaan. "Tidak."
"Kompak sekali," cibir Varrel yang kembali fokus memperhatikan acara pernikahan. Begitu juga dengan Aletta dan Stefani yang fokus memperhatikan pemberkatan yang segera dimulai.
Dalam diam, Aletta memperhatikan pemberkatan dan merasa sedikit sedih. Tak terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Sepupu yang menjadi musuh bebuyutannya sejak kecil akan menjadi kepala keluarga sebentar lagi. Padahal, saat dahulu, Joshua hanya tukang onar yang seringkali mengusili saudara-saudaranya sampai menangis, pengecualian untuk Aletta, karena gadis itulah yang satu-satunya bisa membuat Joshua menangis.
"Dengan ini saya nyatakan, Joshua Petrone dan Mariana Wang resmi dinyatakan sebagai pasangan suami istri," ucap pendeta yang memimpin pemberkatan.
Suara tepuk tangan dan siulan menggoda, serta musik romansa yang diputar, meramaikan seisi aula tersebut. Aletta mengusap sudut matanya dengan menggunakan tisu.
"Kamu menangis, Le?" tanya Stefani yang tak sengaja menangkap basah putrinya itu.
Aletta terkekeh canggung. "Aku juga tidak tahu, Ma," jawabnya yang membuat Stefani langsung menyandarkan kepala Aletta di bahunya sambil mengelus rambutnya.
"Tidak apa-apa kalau menangis. Mama mengerti, Joshua kan sepupu yang paling dekat denganmu walaupun kalian sering bertengkar," kata Stefani memenangkannya.
"Iya, dia musuhku." Aletta mengangguk-angguk kecil. Dia menatap Stefani dengan bibir cemberut. "Mama... jangan beritahu Joshua kalau aku menangis karena dia, ya? Janji?"
"Janji," ujar Stefani sembari tertawa kecil. Dia memilih untuk melindungi harga diri Aletta daripada membongkarnya.
***
"Hay, Aletta...!" sapa seorang wanita yang bergaya nyentrik dengan suara yang manja. Di belakangnya ada tiga orang lagi yang tak kalah nyentriknya. Dan mereka adalah tante-tante Aletta yang kurang kerjaan.
Kenapa seperti itu? Karena sebagian tugas mereka adalah mengurusi kehidupan orang lain.
Aletta sontak menghentikan kegiatannya yang sedang makan Zuppa Soup dan tersenyum penuh kengerian.
'Mampus aku, mampus!' batinnya. Mata Aletta melirik ke sana ke mari, mencari keberadaan Stefani dan Varrel.
'Duh, jauh lagi!' batinnya meronta saat melihat keduanya sedang asik mengobrol dengan orang lain.
"Masih ingat dengan Tante tidak?" tanyanya lagi.
Aletta terkekeh canggung. "Hehe... masih, Tante Farah."
"Kalau yang ini siapa? Siapa?" tanya wanita yang rambutnya disasak.
"Tante Mira." Aletta melirik wanita yang memakai lipstik merah terang. "Yang ini Tante Dura dan yang ini..." Aletta menatap wanita yang membawa kipas tangan serta berbulu mata anti badai, "Pasti Tante Uly, kan?"
Empat wanita itu langsung bertepuk tangan kegirangan, membuat Aletta menanggapinya dengan kekehan canggung.
"Tante senang kamu masih ingat. Tante kira kamu sudah lupa karena sudah lama tidak bertemu," ujar Tante Dura.
"Masih ingat kok, Tante." Aletta mengangguk kecil. 'Bagaimana bisa aku tidak ingat dengan empat serangkai yang banyak omong ini?' batinnya sambil tersenyum menatap mereka secara bergantian.
"Tante duduk di sini, ya, Le." Tante Uly langsung duduk di hadapannya, diikuti dengan yang lain yang duduk mengikuti bentuk meja bundar.
"Sekarang... kita mau konferensi pers?" tanya Aletta diiringi dengan tawa kecil saat melihat keempatnya yang menatapnya penuh dengan hasrat untuk melayangkan pertanyaan.
Tante Mira tertawa melengking. Setelahnya, dia menatap Aletta dengan sedikit melotot dan tersenyum lebar. "Bisa saja kamu, Le."
Tahu boneka-boneka yang terlihat creepy? Itulah yang Aletta rasakan saat melihat senyum Tante Mira.
"Bisa dong, Tante." Aletta terkekeh masam.
"Gimana nih, Le?" tanya Tante Uly menatapnya penasaran.
"Gimana apanya, Tan?"
"Gimana perasaan kamu? Senang tidak Joshua menikah?" tanya Tante Uly menaik turunkan kedua alisnya. "Masa Tante tanya kamu sudah punya pacar atau belum?" sambungnya lagi sambil tertawa.
Aletta mendesah canggung mendengarnya. "Ya senang dong, Tante. Kenapa juga Ale harus sedih?" ujar Aletta sembari melirik ke depan sana, di mana Joshua dan Mariana tengah berdansa mesra di bawah lampu sorot. "Pengantinnya saja senang begitu, masa tamunya mau sedih?" sambungnya.
"Bisa saja kamu sedih karena belum punya gandengan, ehh!" kata Tante Dura yang disambut dengan tawa dari yang lain. Tante Dura menatap Aletta sembari tertawa. "Maaf, ya, Le. Mulut Tante memang suka begini."
"Makanya Tante, jangan badannya saja yang sekolah, mulutnya juga harus disekolahkan, ehh!" sahut Aletta yang kemudian menutup mulut. "Maaf, Tante... mulut Ale memang suka gatal," ujarnya sembari tersenyum manis. Membuat Tante Dura menatapnya sinis.
Memangnya dia kira Aletta akan diam saja? Hohoho... tentu tidak. Diam-diam begini, mulutnya cukup pedas.
"Tapi, benar, Le? Kamu belum punya gandengan? Cantik begini, loh... masa tidak laku?" tanya Tante Farah sembari memutar-mutar ujung rambutnya.
Aletta menghela napas berat. "Yang mengantre banyak, Tan, hanya saja Ale kurang suka dengan orang luar. Selama ini kan Ale tinggal di New York."
"Memang, sih... jodoh di negeri sendiri lebih bagus, ya?" Tante Uly mengerlingkan mata, membuat Aletta terhenyak. "Mau Tante kenalkan dengan anak teman?"
"Eh, Tante Mira juga punya kenalan, loh. Kalau kamu mau, Tante bisa mengatur kencan untuk kalian. Umur kamu sepantaran dengan Mariana, kan? Malu loh kalau belum punya gandengan."
"Dengan Tristan anak Tante saja, mau?" tawar Tante Farah yang membuat Aletta mengepalkan tangan di bawah meja.
"Jangan jual mahal, nanti tidak laku!" cibir Tante Dura yang membuat Aletta langsung berdiri dan menatap mereka dengan alis yang mengerut.
"Aletta! Tidak sopan!" tegur Tante Farah menatapnya nyalang.
———