***
Setelah makan malam di sebuah restoran cepat saji, sedan putih milik Dylan akhirnya berhenti di sebuah bar yang tersembunyi di komplek perumahan. Meskipun tersembunyi, bar tersebut tetap ramai karena tempat dan pelayanannya yang layak.
"Apa kalian benar-benar akan minum sebotol whiskey?" tanya Dylan khawatir. Tangannya memegang stir mobil sambil menatap keduanya, terkhusus Gea.
"Aletta dan aku sudah memutuskannya, Dylan." Gea melepas seatbelt. Dia mengelus pipi sang kekasih, berusaha memberinya pengertian lagi.
Aletta yang duduk di kursi belakang, menatap keduanya bergantian. Dia menghela napas pelan.
"Jika kamu terus khawatir, aku akan melarang Gea untuk meminumnya."
"Ale!" Gea mengerutkan alis, merajuk dengan ucapan sang sahabat. Dia menatap kekasihnya dengan memelas. "Dylan, kumohon...."
Dylan menghela napas berat. "Kamu harus menghubungiku kalau ingin pulang. Benar-benar harus menghubungiku." Dia pun menoleh pada Aletta. "Kamu juga, Aletta. Meskipun kamu memiliki toleransi alkohol yang tinggi, tolong hubungi aku ketika ingin pulang. Meskipun kamu masih sadar, tetap hubungi aku."
"Ya, aku sudah mendengarnya sejak di perjalanan. Aku sudah mengerti, Dylan."
"Aku mempercayakan Gea padamu," ujar Dylan sungguh-sungguh. Dia memperlakukan Gea seperti barang pecah belah.
Aletta mengangguk singkat. Dia membuka pintu mobil dan turun lebih dahulu. Berjalan menjauh dari mobil karena dia tahu, Gea dan Dylan butuh salam perpisahan yang seharusnya tak dia lihat.
Beberapa menit kemudian, Gea turun dengan bibir yang baru dipoles. Dia berjalan cepat ke arah Aletta yang tengah bersandar di dinding sambil bersedekap.
"Ale, ayo!" seru Gea sambil menggandeng tangan Aletta, melewati pintu bar yang terkesan mewah.
Keduanya memberikan kartu tanda pengenal pada pria yang menjaga. Pria itu mengembalikan kartu tanda pengenal keduanya setelah diperiksa.
"Silakan masuk," kata pria itu menyambut keduanya. Aletta dan Gea langsung masuk begitu dipersilakan, melewati sebuah lorong yang cukup lebar dihiasi dengan lampu yang tak terlalu terang.
Kedatangan keduanya cukup menarik perhatian beberapa orang. Pandangan Gea tertuju pada deretan kursi di depan bartender. Dia langsung mengajak Aletta ke sana.
"Tidak di sana saja?" tanya Aletta menunjuk meja kosong yang berada di tengah-tengah.
Gea yang sudah duduk di kursi pun menggeleng. "Terlalu menarik perhatian. Tapi, duduk di sini pun tak berlaku untukmu." Dia melihat sekeliling. Beberapa pria menatap terang-terangan pada Aletta yang terlihat cantik dan seksi malam ini.
Aletta pun duduk di samping Gea. "Biarkan saja. Tidak ada untungnya juga kalau kita mengurusi mereka."
"Halo, Nona cantik!" sapa seorang bartender yang memiliki kulit putih dengan perawakan tinggi. Dia terlihat cukup tampan dengan gaya rambut comma hair. "Kalian sangat cantik sampai menarik perhatianku."
"Itu pujian yang bagus, terima kasih," ucap Gea tersenyum. Sementara Aletta hanya tersenyum tanpa menjawabnya.
Pria itu mengulurkan tangan. "Abigail, dua puluh tujuh tahun, bartender bintang lima di sini."
Gea menjawab uluran tangan pria itu. "Gea. Bartender bintang lima, kamu pasti luar biasa. Aku tak menyangka akan dilayani orang sepertimu."
"Sepertinya kamu cukup sering datang ke sini," ujar Abigail menggoyangkan jabatan mereka.
Gea kemudian melepasnya. "Yah, aku pergi bersama pacarku. Rumor itu sudah bertebaran di bar dan ini pertama kalinya aku melihat sekaligus dilayani oleh bartender bintang lima. Aku jadi menantikannya," ujarnya tersenyum manis.
"Kamu tidak akan kecewa, Gea." Abigail mengerling nakal. Dia beralih menatap Aletta yang sedang melihat botol-botol alkohol di rak depan sana. "Dan kamu?" Abigail mengulurkan tangan.
"Aletta," jawabnya sambil membalas uluran tangan Abigail.
"Kamu pengunjung yang paling cantik dan seksi hari ini."
"Terima kasih."
"Aku serius." Abigail terlihat sedikit kecewa saat Aletta lebih dahulu melepas jabatan tangan mereka. "Bagaimana bisa aku tidak pernah bertemu denganmu?"
"Kebetulan aku baru pulang dari luar negeri," jawab Aletta tersenyum tipis. "Senang bertemu denganmu, Abigail. Kalau sahabatku menantikan pelayanan darimu, aku pun sama."
"Sungguh? Selamat datang di Jakarta, Aletta."
"Terima kasih, Abigail." Aletta mengangguk kecil.
"Nah, kalian ingin minum apa?" Abigail menyatukan tangan. Dia menatap Aletta dan Gea bergiliran.
Aletta mengangkat telunjuk kanan. "Tolong berikan sebotol whiskey untuk kami."
"Wow!" Abigail bersorak kegirangan hingga menarik perhatian orang-orang di sana. "Aletta, kamu cukup liar. Kamu tahu kan kadar alkohol yang ada di whiskey?"
Aletta mengangguk. "Kalau tidak tahu, berarti aku bodoh. Itu memang tujuan kami datang ke sini."
"Baiklah, baiklah. Aku jadi penasaran, kamu tinggal di mana selama ini?"
"New York. Jadi, berikan saja sebotol whiskey," ujar Aletta menatap Abigail dengan yakin.
Abigail tersenyum lebar. Membuat ketampanannya naik. Gadis di hadapannya, Aletta, telah banyak menarik perhatiannya.
"Aku akan membawakannya. Tunggu dan nikmati saja." Pria itu berbalik, mengambil botol whiskey yang diletakkan di rak paling atas.
Gea menatap Aletta dengan wajah yang bertumpu pada tangan. "Abigail cukup tampan, bukan? Dia juga bartender bintang lima."
"Menurutmu seperti itu?" tanya Aletta, balik menatap Gea.
Gea mendesah kecewa. "Aku tidak tahu seperti apa ketampanan yang ada di matamu. Jangan-jangan pria tertampan di dunia ini kamu bilang tidak tampan juga."
"Yah, kalau aku bilang tidak tampan saat sudah diakui oleh dunia, berarti ada yang salah dengan mataku."
"Nah, itu yang ingin kukatakan padamu, Ale. Matamu tidak bermasalah, kan?"
Aletta menggeleng. "Mungkin standar ketampananku telah berubah semenjak tinggal di New York selama delapan tahun."
Gea mengedikkan bahu. "Yah... orang luar memang terlihat tampan dan kamu telah melihatnya selama delapan tahun setiap hari."
"Sepertinya suasana di antara kalian sudah baik tanpa whiskey ini," ujar Abigail membawa sebotol whiskey dan dua rocks glass. Dia meletakkannya di meja bar, kemudian menuangkan whiskey tersebut ke gelas milik Gea dan Aletta.
"Selamat menikmati, Aletta, Gea. Bar kami tidak memiliki kamar, tapi tak jauh dari sini ada motel. Ku harap kalian berhati-hati pada pria manapun." Abigail menatap Aletta yang sudah memutar-mutar gelas whiskey, tak sabar untuk meneguknya. "Terutama kamu, Aletta. Aku akan berkata jujur. Kamu terlihat seksi dan sedikit liar. Para pria akan menyukaimu. Bahkan yang bukan pria nakal saja bisa menjadi nakal karenamu."
Aletta mengangkat gelas, mengajak Gea melakukan toast, kemudian meneguk whiskey secara perlahan agar tidak cepat mabuk.
"Terima kasih sudah mengingatkanku, Abigail. Semoga harimu menyenangkan," ujar Aletta tersenyum pada pria yang kini salah tingkah karenanya.
"Baiklah, aku pergi dulu. Kalau kalian membutuhkan sesuatu, panggil aku saja. Have fun, Girls!"
"Tentu," jawab Gea sambil memutar gelas whiskey-nya. Sementara Aletta sudah nyaman menyesap whiskey. Membasahi bibirnya yang merekah bagai buah plum, melewati lidah dan tenggorokannya. Abigail pergi dari sana dengan berat hati walaupun dia masih ingin berbicara dengan Aletta, gadis yang menarik perhatiannya.
Gea menyikut Aletta sambil tersenyum menggoda. "Kurasa Abigail tertarik padamu."
"Hanya ketertarikan sementara. Itu hal yang biasa bagi para pria," ujar Aletta menumpu wajahnya dengan tangan. "Kamu tahu, Gea? Banyak pria yang mendekatiku di New York, tapi hati ini terasa mati, tidak bergetar sekalipun. Beberapa pria menatapku dengan cinta yang tulus, tapi aku menolaknya."
"Sangat disayangkan, Ale. Semoga kamu cepat sembuh." Gea menyesap whiskey lagi. Dia beberapa kali menepuk punggung Aletta. "Aku sudah memberimu banyak saran, tapi kalau dirimu saja tidak mau melupakannya, aku bisa apa? Kamu masih terikat dengan masa lalu. Padahal jarang sekali ada cinta yang tulus di dunia ini."
Whiskey di gelas Aletta tinggal setengah. Dia tersenyum simpul. "Aku terlalu mencintainya sampai tidak tertarik dengan pria lain."
Gea mendelik menatap Aletta. Dia memeluk lengannya. "Sekarang aku merinding mendengar ucapanmu."
Aletta meminum sisa whiskey-nya dalam satu kali tegukan, sehingga Gea dibuat melotot olehnya. Gadis yang terlihat seksi itu meletakkan rocks glass dengan kasar, kemudian mengisinya lagi dari botol yang tadi diletakkan Abigail.
"Kamu gila?" Tatapan Gea mengikuti pergerakan tangan Aletta. "Kamu bisa mabuk lebih cepat kalau minum seperti itu!"
"3 gelas whiskey dengan kadar alkohol 40%, itu toleransi ku." Aletta menyeringai tipis pada Gea. "Aku beruntung karena papa yang mewariskan bakat minumnya padaku, bukan mama."
"Aku sangat iri padamu." Gea menatap gelasnya yang setengah saja belum habis. "Tapi, kamu serius, kan? Aku jadi takut minum. Takut kita sama-sama mabuk."
Aletta menepuk bahu Gea. "Tenang saja. Kita akan pulang dengan selamat. Aku janji."
"Kalau kamu bicara seperti itu, aku jadi tenang." Gea menyesap whiskey-nya lagi. "Tapi, sungguh, kamu masih belum melupakannya? Bukannya kamu bilang banyak pria tampan di New York?"
"Sebelum aku pulang ke Indonesia, dosenku menyatakan perasaan."
"Pffft...!" Gea menoleh kaget pada Aletta. Sisa whiskey yang tersembur mengalir dari bibirnya. "Sampai ke taraf dosen?" tanyanya tak percaya.
Aletta mengangguk kecil. "Dia pria yang tampan, baik, cerdas, dan mapan. Aku hanya menganggapnya dosen di kampus, tidak lebih."
"Kamu tolak?"
"Tentu."
"Nah, aku bisa gila karenamu," ujar Gea menghabiskan whiskey-nya. Dia mengerjapkan mata. Toleransi Gea terhadap alkohol memang tak terlalu tinggi, tetapi tidak terlalu rendah juga.
"Kamu mabuk?" tanya Aletta menggoyangkan telapak tangan di depan wajah Gea.
"Belum. Aku masih sadar," jawabnya menuang sedikit whiskey ke gelasnya. "Kamu hanya ingin dia?"
Aletta terkekeh masam. Dia menatap meja bar dengan sendu.
"Aku saja tidak tahu kabarnya. Bagaimana bisa aku menginginkannya?"
"Bodoh! Kan kamu sendiri yang memutuskan untuk tidak pernah mendengar kabar tentangnya. Sekarang kamu sedang menyalahkan diri karena dulu bertindak impulsif?"
"Anggaplah seperti itu. Hei, beberapa hari lagi aku akan bekerja."
"Huh?" Gea menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. "Kamu tidak pernah mengatakan itu padaku sebelumnya."
"Aku mengatakannya sekarang. Saat papa memberitahu kami akan pulang ke Indonesia, aku langsung mencari lowongan kerja dan melamar. Melakukan interview online dan langsung diterima."
"Di mana? Sebagai apa?"
"Penerjemah bahasa asing di perusahaan percetakan yang terkenal. Bayarannya cukup besar dan pekerjaannya sesuai dengan kemampuanku. Kalau selama masa percobaan aku sukses, bisa dipromosikan sebagai penerjemah bahasa asing untuk orang-orang penting." Aletta mengajak Gea untuk melakukan toast lagi. "Jangkauan relasiku akan bertambah banyak dan itu menguntungkan."
"Tidak salah kalau kamu mendapat julukan jenius dulu. Aku yakin kamu sudah memikirkannya matang-matang. Dan selamat atas pekerjaanmu! Aku yakin kamu pasti berhasil." Dia mengangkat rocks glass-nya. Mereka tersenyum bahagia, membayangkan jalan hidup masing-masing yang perlahan sudah terbuka dan memiliki tujuan yang jelas. Aletta yang ingin memperluas relasi dan Gea yang masih menempuh studi S2.
"Aku akan mentraktir mu kalau sudah mendapat gaji pertama," ujar Aletta berjanji. "Apapun itu, aku akan membelikannya."
"Hei, jangan berlebihan. Gaji pertama jangan dibuang-buang untuk hal yang tidak penting. Lebih baik kamu tabung saja untuk kepentingan lain," ujar Gea yang bicaranya sudah mengambang, tetapi masih bisa dimengerti.
"Justru gaji pertama harus dirayakan dengan berfoya-foya. Santai saja... kalau gaji ke dua sudah kuterima, kamu tidak akan memiliki kesempatan untuk berfoya-foya dengan uangku lagi." Aletta terkekeh kecil. Dia menoleh saat melihat kepala Gea perlahan bersandar pada meja bar dengan mata tertutup. Bibirnya menggumamkan sesuatu yang tak bisa Aletta pahami lagi.
Aletta membuka tas kecil yang dipakai Gea, kemudian mengambil ponsel milik gadis itu.
"Sial, aku lupa menanyakan password padanya," ujar Aletta sambil menatap anak yang matanya tertutup dengan bibir yang bergumam. "Gea, berapa password ponselmu?"
"Hm... dua... sepuluh...."
"Hah?" Aletta mendekatkan telinganya ke bibir Gea. "Katakan yang jelas!"
"Dua... be... las... sepuluh...."
Aletta menggerakkan jari jemarinya di atas layar. "Angka apa ini?" gumamnya.
"Bukan angka... Dylan pertama kali...." Gea menunjuk bibirnya yang dimajukan. Setelahnya, dia benar-benar hilang kesadaran.
"Dasar," cibir Aletta menekan tombol telepon pada nomor Dylan. Tidak butuh waktu lama, Dylan langsung mengangkat telepon darinya.
"Sudah selesai?" tanya Dylan dari ujung sana.
"Sudah. Kamu bisa menjemput kami sekarang."
"Lalu, keluarlah. Aku sudah di tempat parkir."
"Tidak pulang, huh?"
"Tidak, aku ada di tempat parkir sejak tadi. Apa Gea ada di sampingmu?"
Aletta menatap Gea yang sudah tertidur pulas. "Ya, dia kehilangan kesadaran."
"Kalau begitu, tunggu di sana! Aku akan menjemput kalian."
"Baiklah. Aku tutup teleponnya." Sebelum Aletta menutupnya, laki-laki itu telah menutupnya terlebih dahulu.
Aletta mengambil ponselnya, kemudian mengambil kartu ATM yang diletakkannya di casing.
"Permisi." Aletta menghentikan bartender yang kebetulan lewat di hadapannya.
"Ya, ada apa?"
"Kami sudah selesai. Aku mau membayarnya."
———
Panjang, ya? Chapter ini hampir 2000 kataಥ‿ಥ Kalian jangan lupa untuk masukan ke perpustakaan, coll, dan review, oke? (◕દ◕)