Pagi itu David datang ke rumah Raditya, selain karena keinginannya sendiri setelah mendengar cerita dari Sarah juga perintah dari Sarah.
Perempuan itu merasa khawatir dengan Raditya. Ada sedikit perasaan tidak suka ketika Sarah menyampaikan rasa khawatirnya.
"Pokoknya Vid, aku nggak mau tahu...pagi ini juga kamu harus ke rumah Raditya. Aku takut terjadi sesuatu." Pagi-pagi Sarah sudah menelpon dan memborbardirnya dengan perintah dan rengekan untuk melihat Raditya.
"Sar, Raditya tidak akan bunuh diri karena putus cinta." David tertawa pelan.
"Raditya sudah berkali-kali pacaran dan berkali-kali juga putus, nggak pernah ada dalam kamus kehidupan Raditya keinginan untuk bunuh diri. Paling nanti malam dia ngajak aku minum." David berusaha menjelaskan agar Sarah berhenti mengkhawatirkan Raditya.
"Terserah deh ya kamu mau ngomong apa, pokoknya kamu harus ke rumah Raditya pagi ini." Duh, satu lagi perempuan keras kepala yang harus dihadapi David selain mamanya. "Nanti aku cek!"
"Iya, nanti aku kesana."
"Harus pagi ini!"
"Sarah, ini baru jam berapa?" suara David seperti putus asa, dia tidak tahu bagaimana harus bicara dengan Sarah agar gadis itu mengerti bahwa semua baik-baik saja, tidak perlu berlebihan.
"David, nanti jam sembilan aku telpon kamu sudah harus di rumah Raditya." Lalu Sarah menutup telpon, dia tidak mau mendengar seribu satu alasan dari David.
Begitu telpon ditutup David hanya terpaku memandangi ponselnya, mendumal di dalam hati menyebutkan berpuluh kali kata sialan sambil berjalan menuju kamar mandi.
Dia akhirnya memilih menuruti keinginan Sarah, dia menghindari teror dari Sarah yang akan membuat dirinya tidak tenang belum lagi telinganya akan merasa sakit mendengar gadis itu mengomel. Mengingat Sarah membuat David tersenyum, perempuan yang sedikit unik tapi membuat David terkadang rindu dengan segala tingkahnya.
***
"Hallo, kamu dimana?" David melirik jam tangannya sambil menerima telpon dari Sarah. Hmm, jam sembilan tepat Sarah menelpon seperti katanya tadi. David nyaris tertawa membayangkan Sarah gelisah memandangi jam setiap detik dan menitnya.
"Aku di rumah Raditya, baru saja sampai. Ini masih di dalam mobil." David berusaha sekuat tenaga menahan tawanya, kalau Sarah berada didekatnya mungkin sudah diacak-acak poninya dengan gemas. "Aku nggak perlu video call kan supaya kamu percaya?"
"Oke, nanti kabari cerita selengkapnya ya...harus lengkap!" lalu Sarah kembali dengan seenaknya menutup telpon. David berdecak.
***
David melihat raut wajah Raditya yang kusut, walupun dia tersenyum menyambut kedatangan David tapi dia tidak bisa membohongi David akan keadaan yang sesungguhnya. David sangat mengenal Raditya.
"Tumben pagi-pagi udah sampai sini?"
"Udah sarapan?" David langsung menyambar dengan bertanya balik, David menebak sepertinya Raditya belum makan bahkan David melihat dagunya yang belum bercukur.
Raditya menggeleng, "Gue lagi nggak napsu," jawab Raditya dengan suara lemah. Dengan David tidak ada yang perlu ditutupi.
"Ayo sarapan, Gue juga belum makan."
"Pesan aja lah, kita makan di rumah." Raditya berkata malas.
"Gue lagi pengen ngajak Lo keluar, gue pengen minum kopi sambil ngobrol. Gue tunggu!" Kali ini David bersikap keras kepala, dia meniru cara Sarah atau mungkin dia sudah ketularan Sarah.
***
"Kopinya nggak seenak buatan Rembulan." Raditya berdecak dan menggeser cangkir kopinya.
"Gila! Gue nggak bisa melupakan dia." Raditya menunduk, menekuri meja lalu mengangkat wajahnya.
"Lo nggak perlu melupakan dia, Lo hanya harus bertekad tetap melanjutkan hidup Lo seperti biasa."
"Harusnya dia bisa bicara lebih dulu dengan gue, bukannya pergi begitu aja menganggap seolah gue cuma patung. Gue berada di dekat dia, nggak susah untuk ketemu gue!" Raditya menumpahkan semuanya.
"Yang Lo mau bukan seperti yang dia mau. Mungkin memang dia nggak sanggup kalau ketemu Lo dan bilang kalau dia butuh waktu. Sekarang Lo nggak mungkin begini terus kan? Suatu saat dia kembali dan dia pasti ingin ketemu dengan Raditya yang dia kenal dulu. Lo boleh sedih tapi nggak usah berlama-lama. Di depan mata Lo sudah menunggu promo film ke beberapa kota dan kerjaan Lo yang lain. Gue harap Lo cepat bangkit dan tunggulah dia kalau menurut Lo dia pantas untuk ditunggu."
***
Setelah dua malam berada di rumah lebih tepatnya berada di kamarnya Rembulan baru berani bicara dengan mama soal Raditya. Rembulan tahu mama dan papa ingin menanyakan banyak hal tapi mereka sangat memahami Rembulan yang tidak akan bicara kalau memang belum ingin membicarakannya. Tidak akan ada yang keluar dari mulutnya sepatah kata pun. Rembulan akan diam membisu.
Mama sedang berada di kamarnya untuk mengantarkan camilan sore dan secangkir kopi kesukaan Rembulan. Berada di rumah membuat Rembulan menjadi malas membuat makanan bahkan kopi untuk dirinya. Atau memang dia sedang tidak bergairah melakukan apapun bahkan novelnya pun hanya didiamkan saja, tak sekalipun dia menyentuh laptopnya. Rembulan seperti kehilangan minat. Benarkah keputusannya meninggalkan Raditya untuk sementara? Atau justru jarak yang berjauhan membuat dia mengerti bahwa Raditya sangat berarti untuknya dan membuat dia tidak ingin kehilangan laki-laki itu?
"Ma, aku ingin ngobrol sama mama." panggilnya pelan.
"Kita ngobrol di teras kamarmu ya?" Rembulan mengangguk. Dia membawa nampan yang tadi di taruh di atas nakas ke luar.
Kamar Rembulan menghadap ke taman dengan pintu kaca dari dari atas ke bawah. Masuk ke kamar Rembulan bisa dari dari dalam rumah lewat pintu kayu atau dari halaman samping lewat pintu kaca. Rembulan yang meminta mama untuk membuatkan teras kecil di depan kamarnya dan diberi kursi dan meja tempat dia sering duduk memandangi taman sambil menulis. Selama dua malam berada di rumah, belum sekalipun Rembulan menginjakkan kaki ke tempat favoritnya ini. Mama bilang ini tempat Rembulan bertapa.
Rembulan tidak tahu harus mulai dari mana untuk bicara, dia hanya menyesap kopinya lalu memandang lurus ke depan.
"Bulan, apakah Raditya itu laki-laki yang sangat istimewa untukmu?"
"..." Rembulan menoleh menatap mama tanpa menjawab pertanyaan mama.
"Kamu mencintainya?" Mungkin mama sudah menahan pertanyaan ini dari sejak kedatangan Rembulan. Menunggu saat yang tepat.
Rembulan mengangguk, menangis, air matanya mengalir di kedua pipinya. Dia merindukan senyum Raditya, dia merindukan cara laki-laki itu menyesap kopi buatannya lalu memujinya, dia merindukan pelukan Raditya yang hangat sebenarnya dia merindukan keseluruhan dari laki-laki itu.
"Tapi aku merasa tidak bisa hidup dalam dunianya Ma, "suaranya seperti putus asa.
"Mama, sangat mengenalku kan? Bagaimana aku berjuang menghadapi trauma dikeramaian. Kemarin aku hampir berhasil mengatasi ketakutan itu ternyata aku harus menghadapi kejadian itu. Aku takut Ma, menjadi kekasihnya aku harus bergaul akrab dengan hiruk pikuk dunianya. Bagaimana media begitu kejam mengorek semua tanpa ada yang bersisa. Menampilkan judul dan berita yang bombastis. Aku takut Ma, tapi di satu sisi aku mencintainya. Aku bingung."
"Kalau kemarin kamu mau mengatasi rasa takutmu, itu karena kamu begitu mencintainya sehingga kamu merelakan dirimu. Hanya kamu yang tahu jawabnya, mungkin kamu butuh waktu untuk mendapatkan jawaban atas semua ini. Mama percaya dia laki-laki yang baik yang akan terus mendampingimu untuk menghadapi semua. Sarah sudah menceritakan kepada Mama tentang laki-laki itu. Sekarang semua ada pada hatimu. Namun kamu juga harus bicara dengan dia, sampai kapan dia harus menunggumu. Kamu perempuan kuat Lan, kamu adalah kebanggaan mama. Dibalik sikap keras kepalamu, kamu adalah perempuan tangguh dan mau berjuang untuk hidupmu."
Rembulan menghambur memeluk mama, dia tahu keputusannya untuk pulang adalah keputusan yang tepat karena dia membutuhkan dukungan mama dan kehangatan pelukan mama.
"Malam ini aku akan bicara dengannya Ma," Rembulan mempererat pelukannya.