Berlian menegakkan tubuh dengan mata terbelalak sempurna. Dia menelan saliva dengan susah payah mendengar dua kata keramat yang terlontar dari mulut Yunka.
What? Malam pertama? Astaga! Apakah hal itu akan terjadi malam ini? Kenapa dia baru menyadari bila malam pertama itu akan datang setelah menikah?
Sungguh Berlian belum siap untuk hal itu!
Gadis itu menampilkan senyuman yang terkesan dipaksakan seraya mengangguk lemah.
"Ah, ya. Ti-tidak masalah. Ka-kalo begitu kau bi-sa menyelesaikan pekerjaanmu, Yunka."
Yunka mengangguk sembari tersenyum manis. "Kau bisa membersihkan diri dan beristirahat setelah aku selesai. Well, di mana suamimu?" tanyanya.
Berlian mengerjapkan matanya mendengar kata 'suamimu'. Otaknya berusaha mencerna kata itu, hingga tersadar bila dirinya sudah menikah tentunya dia juga sudah memiliki seorang suami.
Dasar bodoh!
Berlian mengumpat dirinya sendiri yang telat menyadari bila dirinya sudah menjadi seorang istri, namun yang menjadi permasalahannya saat ini dia sendiri pun tidak mengetahui keberadaan suaminya.
"Dia sedang bersama teman-temannya ... kurasa."
Tampak sekali bila Berlian ragu dengan jawabannya, tapi memang benar dia hanya asal menebak saja.
Yunka telah selesai dengan pekerjaannya, dia meminta pria kemayu yang menjadi asistennya untuk segera membawa barang-barang mereka keluar dari kamar. Sementara dirinya melangkah mendekati Berlian yang tampak sibuk membuka tatanan rambutnya.
"Sudah selesai?" tanya Berlian.
Yunka mengangguk.
"Tunggu, aku akan segera mengganti ini. Kau akan mengambil kembali gaun pengantin ini, kan?" tanya Berlian lagi.
Yunka terkekeh geli menyaksikan tingkah polos Berlian. "Tidak, bukan. Gaun itu sudah menjadi milikmu, Berlian. Suamimu yang kaya itu membelinya, bukan menyewanya." Dia memberikan kotak persegi berwarna pink pada Berlian. "Aku ingin memberikan ini sebagai hadiah pernikahan untukmu. Ya, aku tahu harganya tidak seberapa, tapi aku sendiri yang mendesain ini khusus untukmu."
Berlian menatap kotak hadiah di depan matanya, lalu menaikkan pandangan pada Yunka. Beberapa kali dia mengerjapkan mata sebelum akhirnya dia menerima hadiah tersebut.
"Terima kasih, Yunka. Ini adalah hadiah pertama sekaligus satu-satunya yang aku dapatkan dari pernikahan ini," ucapnya dengan nada pedih.
Yunka menepuk lembut bahu Berlian seolah memberikan kekuatan. "Semoga kau suka."
Berlian yang penasaran dengan isi kotak tersebut, akhirnya membukanya setelah Yunka pergi. Betapa terkejutnya dia ketika membuka penutup kotak. Matanya terbelalak dengan mulut menganga tak percaya dengan hadiah pemberian Yunka.
"Tidakkkk!"
Berlian keluar dari kamar mandi sudah terlihat lebih segar. Di tubuhnya sudah melekat piama bergambar princess kesukaannya. Tak kuasa menahan kantuk yang menyerang sejak dirinya berendam, Berlian langsung merangkak naik ke atas kasur.
Dengan posisi terlentang, gadis itu menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang jauh.
Hening!
Tidak ada suara apapun di dalam ruangan itu, hingga Berlian mengalihkan pandangan pada jam dinding. Sudah tengah malam, namun Chiaki belum kembali ke kamar.
"Aisshhh! Apa yang kau pikirkan, Lian? Kenapa kau malah menunggunya? Bukankah bagus bila dia tidak datang ke kamar ini?" cecar Berlian pada dirinya sendiri.
Dia mengacak-acak rambutnya, merutuki kebodohannya sudah menunggu hal yang tak seharusnya ditunggu. Tak ingin semakin membuat hatinya tak karuan, akhirnya Berlian memiringkan tubuhnya bersiap untuk tidur.
Sial!
Gadis itu mengumpat pelan ketika netra matanya menangkap kotak hadiah pemberian Yunka di atas nakas. Pikirannya semakin tak karuan ketika mengingat isi dari kotak tersebut. Sebuah lingerie terbuat dari kain satin berwarna hitam.
-Aku yakin kau akan semakin terlihat cantik dan menggoda memakai lingerie ini di malam pertamamu.-
Mengingat pesan tertulis dalam secarik kertas dari Yunka membuatnya menggembungkan pipinya, menghembuskan nafas berat.
"Maaf, Yunka. Bukan aku tidak menghargai hadiah pemberianmu, tapi aku sungguh tidak berniat dan tidak akan pernah memakai pakaian ini di depannya," gumam Berlian.
Tangannya menjulur meraih kotak tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam laci nakas.
***
Chiaki duduk di depan meja bar sembari menikmati segelas wine. Sudah cukup lama dia menghabiskan waktu sendirian di sana, bahkan hampir menghabiskan sebotol wine seorang diri hingga menghilangkan setengah kesadarannya. Sepertinya tidak ada niatan untuknya beranjak dari posisinya saat ini.
"Jam berapa dia akan datang?"
"Mungkin sebentar lagi, Tuan." Ben sedari tadi setia berdiri di belakang tubuh Chiaki.
"Sudah kau persiapkan segala surat-suratnya?"
Ben mengangguk meski bosnya tak melihat itu lalu berkata, "Sudah, Tuan."
Bersamaan dengan Chiaki menganggukkan kepalanya, ternyata orang yang baru saja dibicarakan datang.
"Maaf membuatmu menunggu lama, tadi aku mengantar para tamu sampai ke lobby sesuai dengan perintahmu," ucap Vero. Dia langsung duduk di kursi samping Chiaki sembari memesan minuman pada bartender.
Chiaki tak menanggapi ucapan Vero, dia langsung menengadahkan tangannya pada Ben.
"Mana?"
Ben langsung memberikan sebuah map yang sedari tadi dibawanya.
Chiaki memeriksa berkas itu sebentar, lantas menggeser map itu di atas meja ke hadapan Vero.
"Sesuai janjiku dan kesepakatan kita."
Vero yang hendak menenggak minumannya langsung menghentikan gerakan tangannya. Dia meletakkan kembali gelas ke atas meja bar dengan melenguh berat.
"Ya, terima kasih kau sudah menepati janjimu."
Pria itu menatap nanar map di depan matanya tanpa berniat membukanya. Dia sudah menukar Berliannya, gadis yang selama ini selalu menemani serta mewarnai hidupnya yang kelam dan kosong.
Tepatkah keputusannya ini?
Apa dia tidak akan menyesali semua ini di kemudian hari?
Chiaki mengangguk seraya beranjak dari duduknya. "Chiaki Night tidak akan pernah mengingkari janjinya. Ok, aku rasa urusan diantara kita sudah selesai. Aku sudah mendapatkan Berlian dan kau mendapatkan lahan untuk melanjutkan kembali bisnismu itu. Aku harap setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi, dan aku minta setelah ini anggap kita tidak saling kenal sebelumnya."
Dia sudah bersiap untuk pergi, namun terhenti ketika mendengar Vero berkata, "Bisakah kita tetap berkomunikasi? Ah, maksudku ... bisakah aku tetap menemui dan berkomunikasi dengan Berlian?"
Chiaki menundukkan kepalanya sembari menampilkan senyuman sinis, lalu dirinya menoleh ke arah Vero dengan tatapan tak suka.
"Tidak!" tolaknya tanpa ragu.
"Tapi, bagaimanapun hanya aku yang dia miliki di dunia ini. Tidak mungkin aku melepasnya begitu saja, begitupun dengannya. Dia pasti masih membutuhkanku." Vero mencoba untuk membujuk Chiaki untuk memberikan sedikit kelonggaran padanya.
Chiaki membalikkan badannya hingga mereka saling berhadapan dengan kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana.
"Map itu ..." Chiaki menunjuk map yang ada di atas meja dengan dagunya. "Map itu sudah menunjukkan bila kau sudah tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Kau sudah menjualnya padaku, maka dia sudah sepenuhnya menjadi milikku. Seharusnya kau mengetahui aturan jual-beli, karena kau seorang penjual yang sudah berhasil menjual banyak wanita."
Setelah mengatakan hal yang membuat Vero kalah telak, Chiaki melangkah keluar dengan diikuti Ben.
Ben hendak membuka pintu kamar hotel yang ditempati oleh Berlian, namun gerakan tangannya terhenti ketika Chiaki terus melangkahkan kakinya hingga berhenti tepat di samping kamar Berlian.
"Tuan, Anda tidak ...."
Chiaki menoleh ke arah Ben dengan sebelah alis terangkat. "Kau pikir aku akan menghabiskan malam pertama dengan wanita itu?"
Ben menggaruk tengkuknya sembari tersenyum canggung. Ternyata selain jago berbisnis, bosnya juga pandai membaca pikiran orang.
Chiaki terkekeh sinis seraya menekan gagang pintu.
"Jauhkan pikiran tentang itu, karena sampai kapanpun aku tidak akan menganggap dan memperlakukannya sebagai seorang istri. Wanita sepertinya terlalu hina untuk bersanding denganku!"
Klak!