Jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi, setelah mentransfer sejumlah uang kepada Ibunya Reva bergegas berangkat ke kantor. Sean tidak berbohong, dia memang pergi dahulu sambil meninggalkan cek berisi uang lima ratus juta. Walaupun malam itu telah berlalu, tetap saja Reva merasa canggung untuk kembali ke kantor.
Sengaja Reva memperlambat jalannya, banyak sapaan yang dia terima dari beberapa karyawan lainnya. Reva Adinda Gumilly, perempuan cantik berkulit putih, rambut panjang yang bergelombang, dan tentu saja bentuk tubuhnya sangat sempurna di mata kaum adam. Banyak sekali pria mendekat, tetapi Reva selalu menolaknya.
"Ekhem!"
Lamunan Reva seketika buyar, dia membalikan tubuhnya menatap ke arah belakang. Sial, lagi-lagi Reva dibuat terkejut oleh kehadiran Sean di depan matanya. Sean yang menjabat sebagai CEO di kantornya benar-benar mempunyai kharisma tersendiri. Tubuh tegap dan wajah dinginnya berhasil menghipnotis para karyawan wanita.
"Ikut saya ke ruangan sekarang juga," perintah Sean dengan suara pelan. Tanpa menoleh lagi pria itu terus melangkahkan kakinya menuju lift.
Masih dengan rasa kagetnya Reva mulai mengikuti langkah kaki Sean yang berdiri di depan lift. Sapaan demi sapaan pria itu dapatkan, namun semuanya tidak digubris. Saat lift terbuka Sean masuk sambil menarik tangan Reva. Kondisi lift yang sepi membuat Reva semakin gelisah terlebih saat Sean mendekati dirinya.
Sudut bibir Sean terangkat membentuk lengkungan senyum tipis. Melihat Reva tertunduk membuat Sean menarik wajahnya menggunakan jari telunjuk.
"Bahkan tidak melakukan apapun, bibir kamu sudah sangat menggoda." Perlahan Sean mendekat, lalu mengecup bibir ranum milik Reva.
Sial, kenapa rasanya sangat candu? Kenapa juga hatinya langsung berdesir seperti ini? Kecupan singat perlahan berubah menjadi kasar dan juga menuntut balasan. Namun belum sempat Reva melakukan itu, pintu lift sudah lebih dahulu terbuka.
Setidaknya Reva bisa bernapas lega saat ini.
"Selamat pagi, Pak Sean."
"Pagi, Pak."
"Selamat pagi, Pak."
Sapaan kembali Sean dapatkan, akan tetapi responnya masih sama seperti biasanya. Sebelum masuk ke dalam ruangan, Sean memanggil Fian, asisten pribadinya. Melihat Fian mendekat membuat Reva semakin menunduk. Reva dan Fian memang sudah saling kenal, bahkan keduanya mempunyai rasa yang sama.
Berkali-kali Fian menyatakan perasaan, tetapi tidak ada satupun jawaban dari Reva. Niat hati Reva ingin menjawab, tetapi apa daya? Dirinya kini sudah kotor, sangat tidak cocok dengan Fian.
"Selamat pagi, Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Hari ini meeting jam berapa?"
"Jam sepuluh pagi, Pak."
Sean mengangguk-anggukan kepalanya. "Satu jam lagi kasih saya materi meeting. Ingat, satu jam lagi. Satu lagi, jangan ada yang masuk ke dalam ruangan saya ya? Saya ada urusan penting dengan Reva. Sekalipun kamu, bisa konfirmasi dulu ke saya."
Setelah mengatakan itu Sean langsung masuk meninggalkan Reva yang masih berdiri di depan pintu. Fian maju selangkah, dia mendekatkan dirinya kepada Reva.
"Re? Kamu kenapa, kok murung sih? Lagi ada masalah ya?" Fian menyentuh kedua pundak Reva dengan lembut.
"Engga, Fi, aku gapapa kok. Cuma kecapean aja, kurang tidur kayaknya. Yaudah, aku masuk duluan ya?"
"Tunggu, Re," kata Fian sambil menarik pergelangan Reva. Fian sudah lama mengenal Reva, dan pagi ini memang Reva sangat berbeda. Yang membuat Fian bingung adalah, ada urusan apa Reva bersama Sean?
Untuk meyakinkan Fian Reva tersenyum dengan riang, dia menuruni tangan kekar itu dari pergelangan tangannya.
"Aku baik-baik aja, aku masuk dulu, Fi," pamit Reva. Buru-buru dia membuka pintu ruangan Sean, lalu menutupnya kembali dengan perlahan.
"Udah dramanya?"
***
"Fian tunggu!"
Langkah kaki Fian terhenti, dia membalikan badannya ke arah belakang. Kini, tepat di depannya berdiri seorang perempuan cantik dengan senyum yang sangat menawan hati. Jihan Zeffania Arham, tunangan Sean, sekaligus putri tunggal salah satu pengusaha terbesar di Jakarta dan Kalimantan.
"Pagi, Mbak Jihan."
"Pagi juga, Fian! Oh iya, apa Sean udah datang?" tanya Jihan dengan suara lembutnya.
Sekilas Fian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa yang harus dia jawab sekarang? Bosnya memang sudah datang, tetapi dia juga sudah mewanti-wanti tidak mau menerima tamu sekarang.
"Fian?" Jihan melambaikan tangannya ke arah Fian.
"Pak Sean sudah datang, Mbak, tapi beliau sedang tidak terima tamu."
"Loh? Kenapa? Aku udah biasa ke sini kok."
Benar saja dugaan Fian kalau Jihan akan menjawab seperti itu. Jangankan Jihan, Fian pun sangat bingung ada urusan apa Sean di dalam sampai tidak mau diganggu?
"Aku coba liat deh."
"Tapi, Mbak, Pak Sean sudah memberi saya peringatan, dia tidak mau menerima tamu."
Jihan tidak menggubris ucapan Fian, dia lebih memilih untuk segera ke ruangan Sean. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Jihan berdiri tepat di ruangannya.
Boleh saja Sean tidak ingin bertemu dengan orang lain, apa iya sama dirinya juga tidak mau? Jihan mengetuk-ngetuk pintu ruangan Sean beberapa kali. Sedangkan Fian, dia hanya menatap semuanya dari jauh. Habis sudah riwayatnya hari ini.
"Saya bilang tidak terima tam-" Ucapan Sean seketika terhenti saat dia membuka pintu ruangannya dengan sempurna.
"Ini aku, bukan tamu." Jihan berjinjit, lalu mengecup singkat pipi Sean.
"Jihan? Ada apa kamu ke sini?"
Kening Jihan mengerut, apa telinganya tidak salah mendengar? "Kok kamu bilang kayak gitu sama aku? Aku ada salah sama kamu? Aku khawatir sama kamu, Sean. Semalaman kamu ga ngabarin, apa salah aku ke sini?"
Sean mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia meraih punggung Jihan menuntunnya untuk segera masuk ke dalam walaupun ada Reva, Sean sangat tidak sungkan untuk mengecup lembut bibir milik Jihan.
"Kamu apa-apaan sih? Itu ada Reva, ga enak tau!" bisik Jihan dengan pelan, yang di sambut kekehan oleh Sean.
"Oke Reva, saya rasa pertemuan kita tunda dulu. Nanti kita bahas soal semuanya lagi, kamu silakhan ke luar."
Pandangan mata Sean dan Reva bertemu, sebetulnya Sean belum sepenuhnya berbicara, akan tetapi tidak mungkin juga dia menyuruh Jihan untuk pergi. Kalau Sean melakukan itu, sudah pasti Jihan akan curiga kepada dirinya.
Reva mengangguk patuh, sekilas dia tersenyum ke arah Jihan. Reva mengenal Jihan juga sudah lama, apa lagi selama ini Jihan selalu baik. Reva tidak tahu bagaimana nanti kalau Jihan mengetahui tentang dirinya dan juga Sean.
'Ceklek'
Saat pintu ruangan tertutup Reva menyandarkan sejenak punggungnya sambil memejamkan kedua matanya.
"Reva!"
Reva tersentak kaget saat punggungnya ditepuk oleh seseorang. Saat tahu pelakunya adalah Fian, Reva memamerkan senyumannya.
"Udah selesai sama Pak Sean, Re?"
"Udah, Fi. Lagian di dalam ada Jihan baru datang," jawab Reva seadanya, karena memang itu juga fakta yang ada.
"Re, boleh aku tagih jawaban kamu yang kemarin?"
***