"Yena, ayo." Rumi menggaet tangan Yena yang malah berdiri mematung dan menyeretnya.
"Eh, Rumi, kamu nggak liat orang tadi, matanya merah," ujar Yena.
"Masa, sih? Emang kenapa kalau merah? Indah dong."
"Indah apanya? Serem tau ... eh, Rumi!" Yena tiba-tiba berseru pelan dan merapatkan dirinya pada Rumi.
"Orang itu mengikuti kita." Ia berbisik. Rumi reflek menengok ke belakang dan melihat seorang pria jangkung berjalan mengikuti mereka.
"Jangan berburuk sangka dulu. Ayo coba belok." Rumi menarik Yena, membawanya berbelok memasuki gang sempit yang sepi.
"Duh malah ke sini." Yena protes. Apakah tidak bisa berbelok ke tempat yang lebih ramai?
Pria yang di belakang itu masih mengikuti mereka. Yena menjadi panik.
"Rumi, bagaimana ini?"
"Nona, tunggu." Pria itu tiba-tiba memanggil.
Rumi menekan lengan Yena agar berhenti.
"Sepertinya dia mau bicara. Yena, kenapa tidak dengarkan dia dulu?"