Yena kembali menunduk lebih kikuk.
"Aku akan keluar untuk membeli yoghurt. Kamu tunggu di sini," ujar Lucifer kemudian berlalu keluar.
"Mau kemana?" Yena bangkit dan mengikuti siluet pria itu dengan matanya.
Lucifer pergi ke sebuah gerai minimarket yang lumayan jauh dari sana.
"Maafkaan aku. Bukannya aku tidak meghargai kebaikanmu tapi aku benar-benar tak ingin mati." Yena tersenyum kecut kemudian bergegas pergi ke arah yang berlwanan dengan Lucifer.
Yena tidak bisa meminta bantuan orang lain karena khawatir mereka akan terseret jika ketahuan. Jadi yang terbaik sekarang adalah kabur sejauh mungkin sembari meghubungi Rumi.
Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat semua kontak di ponselnya telah hilang.
"Apa ... apaan?" Ekspresi Yena sedikit jelek. Dia mengeceknya berkali-kali namun semua nomor di kontaknya telah raib. Mungkinkah ini perbuatan Lucifer? Tapi bagaimana bisa?
"Sungguh sial!" makinya. Kini dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Yena memacu langkahnya secepat mungkin.
"Haus ...." Cuaca dingin sama sekali tidak mempengaruhi tenggorokannya yang terasa panas. Ia berhenti sejenak untuk membeli sebotol yoghurt yang merupakan minuman kesukaannya dari pedagang kaki lima. Untunng Yena memiliki tasnya.
"Yoghurt ...." Bukannya langsung meminumnya Yena malah menatap minuman kemasan itu dengan alis berkerut.
'Apa dia ... membeli yoghurt untukku?' Yena tiba-tiba merasakan perasaan yang sangat mengganggu.
"Aku sangat jahat ...."
"Yena!" Seruan cempreng yang tak asing mengagetkan Yena.
Ia menengok ke sumber suara dan melihat sosok Rumi yang menatapnya dengan mata sembab di sebrang rel kereta.
"Rumi?"
....
Lucifer telah memberi beberapa botol yoghurt dan segera kembali ke kedai Buckhon Mandu dengan ekspresi cerah.
Begitu sampai ke kedai ekspresi pria itu sedikit berubah dengan pupil mata yang melebar.
"Hai, kenapa lama sekali?" Yena terseyum lebar namun tampak janggal.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lucifer.
"I-iya."
'Sial! Sakit sekali!" Yena mengerutkan kening tipis menahan rasa sakit di pergelangan kaki. Entah apa yang merasuki dirinya sampai ia kabur meninggalkan Rumi dan kembali ke sini dengan terburu-buru hingga kakinya keseleo.
Yena hanya merasa sangat bersalah jika dia meninggalkan Lucifer seperti ini.
"Kau terlihat pucat," kata Lucifer seraya duduk dan lalu membuka sebotol Yoghurt.
Yena pikir Lucifer membukankannya untuk dirinya namun pria itu langsung menghabiskannya dalam sekali teguk. Bahkan tidak sampai di sana, ia membuka lagi dan meminumnya lagi.
Yena melongo heran melihat Lucifer menghabiskan semua Yoghurt-nya.
"Kamu ... bukannya kamu membelinya untukku?"
"Tadinya ya, tapi ternyata kau sudah beli sendiri." Lucifer mengulurkan tangannya dan menyeka noda yoghurt di sudut bibir Yena.
Gadis itu kicep seketika.
Lucifer menurunkan pandangannya pada kaki Yena yang mulai bengkak kemudian mengangkat sebelah sudut bibirnya sinis.
"Padahal kau tidak usah terburu-buru kembali. Karena pada akhirnya aku akan tetap menemukanmu."
"A ... haha." Yena terenyum canggung.
"Aku tidak bermaksud kabur. Maksudku ... tadinya yah, ta-tapi ... maaf." Yena menunduk layu.
"Ayo pulang," ajak Lucifer sembari bangkit.
Yena curiga dia marah dan akan melampiaskan amarahnya di sarang. Namun meski begitu dia tetap bangkit dan mengikutinya dengann tertatih-tatih.
"Itu ... kakiku sakit. Kenapa kita tidak naik taxi saja?" usul Yena.
"Tidak ada uang."
"Apa?" Yena merasa salah dengar.
"Aku bilang tidak ada uang. Kau benar-benar tidak bisa jalan?"
"Tidak bisa! Sangat sakit. Kalau kamu tidak punya uang bagaimana dengan nasib kakiku? Aku tidak mungkin bisa berjalan sampai rumah." Yena khawatir, sebab di tasnya juga sudah tidak ada uang. Waktu itu dia menitipkan kartu ATM-nya pada Rumi dan hanya mengantongi beberapa lembar won di dompetnya.
"Aku akan menyembuhkan kakimu nanti. Sekarang naiklah." Lucifer berkata sembari maju dan berjongkok di depan Yena.
Yena tertegun.
"Kamu ingin aku naik? Mau menggendongku?"
"Cepat! perintah Lucifer tanpa menyisakan ruang untuk kompromi.
"Malu tahu! Aku lebih baik merangkak saja, tidak apa-apa!" ucap Yena seraya berjalan dengan susah payah melewati Lucifer. Namun, baru saja beberapa langkah kakinya serasa mau patah. Sakit sekali.
"Uhh sebal!" Yena kembali mundur dan akhirnya naik ke punggung Lucifer.
"Tidak jadi merangkak?" Pria itu tersenyum mengejek. Sayang sekali Yena tidak bisa melihat ekspresinya.
"Uh jalan cepat. Semua oranng menatap kita." Yena memerungkut malu. Ia tidak berani membuka mata sampai mereka keluar dari keramaian.
Memasuki area kota mati, barulah Yena merasa lega. Meski begitu dia tetap merasa canggung. Ia dapat merasakan tubuh Lucifer yang dingin seperti malam.
"Kau sangat panas," kata Lucifer tiba-tiba.
"Panas? Tidak, ini hangat. Kamu saja yang terlalu dingin. Tenang, aku akan menghangatkanmu." Yena entah punya nyali darimana merapatkan tubuhnya da memeluk erat membuat Lucifer membulatkan matanya.
"Hangat 'kan?"
"Hentikan."
"Kenapa? Semua mahluk suka kehangatan."
Yena meletakkan telapak tangannya ke pundak Lucifer membuat pria itu bergidik dan mendesis.
"Ssttt. Lepas, jangan sentuh itu!"
"Eh kenapa?" Yena merasa pria ini lucu, jadi ingin terus mengganggunya.
"Aku bilang hentikan!"
"Tidak mau!" Yena ngeyel.
"Sial, kau mau dilempar, yah? Sttt lepas!" Lucifer sudah tidak tahan hingga wajahnya memerah.
Yena malah dengan bandel menggelitik pundaknya.
"Hentikan, bodoh!"
Brakk
....
....
"Huhu dasar gila ...." Di bawah selimut tebal Yena meringkuk dan meggerutu seraya memegangi lehernya. Ia asyik mengganggu sampai lupa kalau Lucifer adalah binatang buas. Yena bersyukur Lucifer tidak menggigit lehernya sampai putus.
Hanya memegang pundak kenapa dia sesensitif itu, sih? Yang lebih gawat sekarang pria itu ngambek dan tidak mau menyembuhkan kakinya.
"Kalau tidak segera disembuhkan kakiku bisa-bisa pincang selamanya. Tidak bisa! Dimana dia sekarang?" Yena bangkit. Ia mengambil gagang sapu di sudut kamar dan menggunakannya sebagai tongkat kemudian turun ke bawah dengan hati-hati untuk mencari Lucifer.
Mahluk itu tidak ada di tiang. Yena pergi ke belakang ke bagian rumah yang belum pernah ia kunjungi.
Terdengar suara gemercik air. Yena kagum saat mendapati sebuah kolam renang super besar di belakang sana.
Matanya berbinar memantulkan jernih air kolam.
"Segar sekali ...." Yena baru saja hendak mencelupkan kakinya ke dalam air ketika tiba-tiba sosok yang sangat besar muncul dari dalam kolam dan menumpahkan air kemana-mana. Imoogi itu menatap Yena tajam.
Bukannya takut Yena malah balik menatapnya jengkel karena tubuhnya basah kuyup terkena tumpahan air.
"Ssttt."
"Apa melotot? Sembuhkan kakiku nih!" Yena berkata sembari mengangkat sebelah kakinya yang terluka tepat di wajah ular itu.
"Tidak tahu diri!" maki Lucifer pelan. Ia kembali masuk ke dalam kolam lalu sesaat kemudian muncul kembali ke permukaan dengan wujud manusia.
"Ulurkan kakimu," perintahnya.
Yena duduk dan mengulurkan kakinya ke kolam. Tangan dingin Lucifer memijat pergelangan kakinya yang cedera dengan lembut. Tidak terasa sakit sama sekali.
"Itu ... kau benar-benar sudah tidak punya uang?" Yena membuka tipik.
"Tidak ada."
"Wah. Kalau begitu bagaimana dengan nasibku? Kamu harus bekerja, aku tidak mau kelaparan," cetus Yena.
"Mentang-mentang diperlakukan baik kau malaha melunjak."