Malam ini, kami bertiga memutuskan untuk menyamar dengan gaya penonton konser heavy metal pada umumnya. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kami berencana naik mobil ke sana.
"Kita sudah mirip fans Broadersonic belum?" tanyaku sambil bercermin, lalu tertawa sendiri melihat penampilanku. "Aku begadang semalam, demi pakai kutek hitam ini."
"Yeah!" seru Manda memperhatikan jari-jariku, membentuk lambang metal di jarinya. "Jangan lupa jaket hitam."
"Aku sudah daftarkan kita bertiga ke konser itu," kata Freya saat memegang stir mobil. "Ayo berangkat!"
Mobil pun melaju kencang melawan angin.
****
Mobil yang kami bertiga kendarai akhirnya sampai di lokasi yang telah di tentukan.
"Lihat baliho besar itu," kata Manda membuka kaca mobil. "Itu konsernya. Sudah ada di depan mata kita."
Aku melirik ponselku. "Stop-stop!" kataku pada Freya yang sedang menyetir. "Aku pikir belum saatnya, karena sekarang baru jam delapan malam. Apa tidak terlalu mencolok?"
Freya menaikkan alisnya, tampak berpikir. "Pintu masuk konser dan verivikasi tiket bisa jadi dilakukan setengah jam lagi."
"Mengingat penontonnya akan sangat banyak, kita bisa kesulitan mencari tempat parkir," Manda menambahkan.
Aku celingak-celinguk. "Baiklah, cari tempat yang tidak terlalu terlihat, tapi strategis untuk memantau sekeliling."
Kami menunggu dalam mobil sekitar setengah jam, dan setelah itu kami bertiga keluar satu persatu dan berpencar.
"Jangan lupa saling mengingatkan jika menemukan sesuatu yang mencurigakan ya," perintahku lewat earphone yang terpasang kuat, tersembunyi di balik helai rambutku. "Manda! Kau belum hafalkan lagu-lagu Broadersonic."
"Sudaaah, tapi reff-nya saja." kilah suara Manda di earphoneku.
"Haha! Reff-nya kan cuma teriak-teriak," sahut Freya lewat earphone.
Aku terus berjalan menuju keramaian. Pintu masuknya ada banyak sekali, mungkin empat atau lima. Satu pintu disertai dua orang penjaga, semuanya laki-laki berbadan kekar. Aku melangkah mantap menuju salah satu pintu masuk dan menunjukkan nomor reservasiku dan barcode yang telah dipesan secara online.
"Oke, next!" kata salah seorang petugas tiket.
Aku melangkah masuk dengan tenang.
Ruangan konser yang tadinya sepi berubah memadat, dan lama-lama jadi sumpek. Aku masih memantau. Beberapa saat kemudian, para personil band Broadersonic naik ke atas panggung dengan penampilan hard rock style. Dan semuanya serba hitam.
Musik mulai meriah.
"Ini keras sekali suaranya," keluhku lewat mikrofon kecil pada earphoneku.
"Aduh, bilang yang keras, Suri. Aku sulit mendengarmu," bisik Freya di ujung sana.
"Lebih baik kita semua merapat!!! Wuuhuuu!" Manda segaja mengeraskan suaranya mungkin agar terdengar seperti menikmati lagunya.
Aku setuju. Tidak baik berkomunikasi secara rahasia, dengan suara terlalu keras. Kami bertiga memutuskan untuk menuju jendela ruangan yang paling tengah.
"Apa yang kau dapat?" tanyaku bingung. "Aku kesulitan bergerak dalam ruangan sepenuh ini."
"Aku juga," desah Freya agak berbisik.
"Kalau begitu, pantau saja dari sini," ujarku sambil menengok ke kanan dan kiri. "Ngomong-ngomong, Manda di mana?"
Freya ikut celingak-celinguk. "Manda...Manda... jawab aku... kau ada di mana...."
Saat Freya coba berkomunikasi dengan Manda lewat mikrofon, aku tiba-tiba mendengar suara teriakan yang familiar.
"Lihat itu, Suri," kata Freya menepuk pundakku.
Kami berdua menatap panggung dari kejauhan. Di sana secara jelas terlihat ada seseorang yang kami kenal.
"MANDA!!!"
Jerit kami berdua. Manda malah berduet dengan vokalis band Broadersonic!
"Ya ampun, apa sih yang dia pikirkan sekarang?" kataku mendadak panik. "Kita seharusnya tidak boleh jadi pusat perhatian."
"Kita harus bagaimana sekarang?" Freya ikut panik.
Aku menghela napas. "Tidak bisa apa-apa, Freya. Kita bahkan tidak bisa menghubunginya lewat mikrofon kecil ini karena di sini terlalu berisik, apalagi di atas panggung."
Aku agak bersyukur ini bukan misi kuning. Setidaknya, jangan sampai ada mata-mata senior yang tahu soal kejadian ini, karena ini benar-benar memalukan.
Kami berdua menunggu agak lama sampai akhirnya Manda turun dengan sendirinya, dan berjalan santai menghampiri kami sambil terkekeh. Kami berdua hanya diam cemberut menatapnya.
"Dari atas panggung, aku bisa melihat dua orang lelaki dengan perawakan bule dan bertampang blasteran," jelas Manda sambil menunjuk titik lokasi yang ia maksud. "Maaf aku tahu caraku tadi salah."
"Dimaafkan," ucap Freya dan aku bersamaan.
Kami bertiga akhirnya mulai menyelinap di antara kerumunan.
"Di sana!" seru Manda.
Dua orang bertampang blasteran itu rupanya ada di satu lokasi yang sama. Dari kejauhan aku bisa melihat keduanya berbagi peran. Seorang pria bule berbicara panjang lebar dengan pria lokal di sebelahnya, sedangkan satu pria bule lainnya berada tak jauh dari rekannya dan terlihat mengawasi sekeliling.
Tadinya aku berniat ingin mendekat, tapi sepertinya terlalu berisiko ketahuan. Aku mulai berpikir keras.
"Manda apa kau bisa baca gerakan bibir mereka? Si bule dan pria lokal itu maksudku," tanyaku.
Manda mengangguk mantap. "Akan kucoba."
Manda mengeluarkan kacamata khusus dari saku jaketnya. Benda itu bisa digunakan sebagai teropong.
"Bagaimana? Apa yang kau dapat?" Freya antusias.
****