Masih membayang kalau peristiwa janggal tersebut pernah terjadi ketika hubungan semi sexnya berakhir dengan Jaya di malam pengantin.
Rubi menyandarkan tubuh pada tembok toilet. Ia mengguyur mulai ujung rambut hingga ujung kaki dengan air yang berasal dari shower. Benar-benar suatu kejanggalan. Sebelum menikah, Rubi tak pernah mengalami hal sedemikian rupa.
Sejenak wanita itu melupakan akan keanehan yang terjadi dengan dirinya. Ia meraih shampoo khas mawar untuk rambutnya yang sudah lepek seharian dibantai keringat. Tak lupa sabun mandi ia usapkan di sekujur tubuh dalam durasi lama. Membuat busa-busa sabun berjauhan di atas permukaan lantai toilet.
Namanya orang yang tak pernah menikmati kamar mandi sebagus itu, Rubi pasti lah disiram oleh rasa bahagia. Saking bahagianya, ia sampai tak sadar jika kakinya sedikit melompat ke sana dan ke mari. Sesekali ia lantunkan nada-nada tak beraturan.
"Hmm hmm ehmm hmmm emmm," Rubi terus menggosok badan.
Terlampau seru, sampai ia tidak menyadari kalau sepasang kakinya sudah menginjak busa-busa yang berjatuhan di lantai. Hamparan yang sudah tersiram oleh busa sabun itu seketika menjadi licin. Membuat Rubi tergelincir lalu terhempas ke sembarang arah. Kepalanya menubruk bathtub.
Pletak!
Bunyi kepala beradu dengan porselen yang dipadu dengan kaca.
"Aduuuh,"
Rubi yang sudah teronggok di bawah sana, berusaha sebisa mungkin untuk bangkit. Rasanya kepalanya begitu mendenyut, membuat Rubi tak dapat menyeimbangkan tubuh.
Belum sempat Rubi menyiram busa yang membuatnya terjatuh. Saat ia sudah berhasil berdiri dan mencoba untuk mengambil air, tiba-tiba saja kakinya kembali tergelincir dan mengakibatkan ia harus kembali terguling di toilet.
Tak hanya kepala, bahkan sekarang sekujur tubuhnya pun ikut sakit. Rubi memegangi lutunya yang perlahan lebam.
"Tolong!" teriak Rubi dari dalam toilet.
Sialnya ruangan kedap udara itu sukses membuat lauangannya tidak didengar oleh siapapun. Rubi lagi-lagi mencoba untuk bangkit, tapi kali ini semua usahanya sia-sia. Kepalanya kian berdenyut, Rubi tak dapat melihat pemandangan dengan jelas. Saking lamanya bertahan di kamar mandi, wanita itu tak mampu lagi menahan segala rasa. Perih dan dingin berbaur menjadi satu.
Akhirnya Rubi pun pingsan tanpa diketahui oleh siapapun.
***
FLASH BACK ON
"Bisa kau keluar sebentar, hem? Aku ingin mengobrol dengan putraku,"
Disuruh keluar pertanda bahwa kehadirannya tidak diinginkan. Rubi menerima titah sang Mama mertua yang katanya ingin berbicara dengan Jaya. Pasti ada yang penting, karena kalau tidak, mana mungkin wanita paruh abad itu sampai meminta Rubi untuk pergi dari kamar.
Jaya memperhatikan punggung istrinya yang semakin menjauh. Sejurus kemudian, perempuan berusia 55 tahun itu menatap tidak suka sambil mencibir menghadap putranya. Pertanda kalau ia sedang marah.
"Rupanya kau benar-benar menikah dengan perempuan sialan itu," meski sedang ada Rubi di sana, tapi Anti sama sekali tidak peduli. Andai kata jika orang yang dimaksud pun sedang menguping, pasti lah ia akan merasa bersyukur. Karena tak perlu lagi menghabiskan energi untuk memberitahu betapa ia sangat membenci Rubi.
"Maafkan aku, Ma. Tidak ada gadis lain yang mencintaiku dengan tulus selain Rubi," Jaya memindahkan guling yang mengganjal di punggung belakangnya agar bisa lebih dekat dengan si ibu.
"Setidaknya kau bisa menunggu sebentar lagi sampai ada perempuan yang sederajat dengan keluarga kita. Lihat lah! Betapa kampungannya istrimu itu. Mengenakan gaun 90-an yang sudah tidak modis lagi. Lagipula, apa kau tidak risih dengan penjual cilok keliling seperti dia? Kalau Mama sih, sangat malu memiliki menantu seperti istri sialanmu itu," wanita dengan baju terusan marun itu nyerocos panjang lebar, membuat telinga Jaya berdengung-dengung.
Itu merupakan ekspresi kekecewaan Anti terhadap keputusan putranya yang memilih Rubi si gadis kampung untuk menjadi istri atas saran sang Papa. Jujur saja, selama ini Anti ditemani putri bungsunya Melani yang juga sama-sama tidak suka dengan Rubi, kerap melakukan segala cara untuk menggagalkan pernikahan Jaya. Sialnya apa-apa yang mereka kerjakan tiada pernah menuai kepuasan. Alhasil, ketika resepsi pernikahan itu digelar, Anti mendadak stres lalu jatuh sakit. Sebuah alasan yang menjadi penyebab ia tidak datang di pernikahan anak sulungnya sendiri.
Anti tersenyum getir. Entah kenapa Hardi bisa mengundang Rubi saat keluarganya sedang dinner di sebuah café lalu memperkenalkannya pada Jaya kala itu. Ada perasaan tidak ikhlas jika anaknya berjodoh dengan wanita yatim piatu lagi miskin seperti Rubi.
"Maaf, Ma. Bukannya selama ini aku selalu menuruti semua perintah Mama? Maka untuk yang sekarang, biar lah aku mengikuti kata hati. Lagipula aku memang mencintai Rubi sekalipun strata sosialnya sangat berbeda dengan kita,"
Keduanya saling berbalas hening. Anti membuang pandangan menatap sisi kiri ranjang yang bersebelahan dengan nakas yang terbuat dari kayu jati. Benar-benar tidak bisa dibilangi putranya yang satu itu.
Tak ada yang dapat dilakukan Anti selain menerima pernikahan anaknya dengan Rubi. Namun ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghancurkan rumah tangga sepasang insan tersebut. Jaya harus menemukan wanita yang jauh lebih baik dan membiarkan Rubi kembali ke habitat aslinya, di jalanan.
"Terserah kau saja, tapi jangan pernah kau bawa perempuan itu ke rumah ini lagi," ucap Anti yang sudah tidak ingin melihat wajah menantunya.
FLASH BACK OFF
Pria yang tengah mengingat momen di mana ia mengunjungi Mamanya yang sedang sakit bersama sang istri kembali terulang. Jaya menenggelamkan kakinya ke dalam kolam. Betapa rumit menjalani kisah cinta yang tidak direstui seperti ini.
Berbeda dengan Anti, Hardi malah sangat bahagia apabila Jaya mengambil Rubi sebagai pendamping hidupnya. Berulang kali pria itu meyakinkan Anti agar tidak memandang Rubi dengan sebelah mata. Namun istrinya yang sudah buta akan dunia tersebut enggan peduli. Ia bahkan sama sekali tidak menganggap Rubi sebagai menantu mereka.
Dan hari ini Jaya benar-benar terpaksa menuruti perintah sang Mama untuk menyuruh tali hatinya pulang seorang diri. Semua ini bukan semata-mata karena tidak tega membiarkan Mbok Ijah tanpa teman di rumah, melainkan Anti yang sudah tidak sudi bertatap muka dengan istri dari putranya tersebut.
"Mama tidak mau tahu! Kalau dia tidak pergi, biar Mama saja yang pergi dari rumah ini,"
Perkataan Anti saat Jaya mengunjunginya di kamar tadi senantiasa terulang. Laki-laki itu akhirnya mengalah demi menjaga perasaan Anti berikut dengan kondisi kesehatannya. Sejak dahulu, Jaya memang tidak pernah bisa menolak keinginan sang Mama. Ia terlalu menghargai serta menghormati sosok yang telah berusah payah mengandungnya selama sembilan bulan. Ya, meskipun terkadang permintaan Anti banyak yang aneh.
Tak hanya Mamanya, bahkan Melani sang adik pun tampaknya begitu membenci Rubi. Dara berambut panjang dengan segudang kecantikan itu seakan merasa bahwa ia adalah langit bagi Rubi yang hanya sebatas bumi. Selalu saja Jaya mendapati raut dingin Melani saat Rubi berkunjung ke rumah mereka. Jika dengan para mantan-mantan Jaya, tak pernah adiknya itu bersikap cuek, karena menganggap bahwa tidak ada kesenjangan diantara mereka dengan kehidupan keluarga Hardi Kusumo.
"Kapan Mama dan Melani bisa menerima Rubi di keluarga kami, ya?" ucap pria 30 tahun tersebut dalam hati.
***
Setelah makan malam sudah dihidangkan oleh asisten rumah tangga yang kerap disapa dengan Mbok Ijah tersebut, ia gegas mencari keberadaan tuannya yang sejak siang tadi tidak kelihatan. Mbok Ijah memasuki ruangan demi ruangan sambil menahlil nama Rubi. Tidak ada tanda-tanda bahwa majikannya berada di sini.
"Wong nda ada kelihatan pergi kok," gumamnya dalam hati seraya tetap melangkah.
Setelah cukup puas mencari sosok yang sampai saat ini belum ditemukan, akhirnya Mbok Ijah memutuskan untuk menemui supir pribadi Jaya alias pria yang membawa Rubi tadi siang. Supir tersebur mengatakan bahwa majikan mereka sudah masuk ke dalam kamar sesaat setelah ia membantu membawakan koper milik Rubi.
Hal tersebut lantas semakin mengundang rasa penasaran Mbok Ijah. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menuju lantai dua guna mencari keberadaan Rubi di kamar. Kebetulan memang tinggal satu ruangan itu saja yang belum diperiksanya, mengingat takut kena sanksi karena sudah berani masuk kamar majikan tanpa izin.
Tok tok tok…
"Non. Apa Non Rubi sedang berada di dalam?" Mbok Ijah mengetuk pintu kamar berulang kali.
"Non?"
Satu menit.
Dua menit.
Tak kunjung ada jawaban dari dalam. Mbok Ijah menarik gagang pintu yang kebetulan tidak dikunci. Cepat-cepat ia menyembulkan kepala dan tidak menemukan siapa-siapa di sana.
"Non?" wanita itu memanggil sekali lagi.
Semua ruangan sudah dicek, termasuk kamar sepasang pengantin baru tersebut. Hanya ada sebuah tempat yang belum dijamah oleh Mbok Ijah, yakni toilet yang saat ini berada di depannya. Bisa jadi Rubi ketiduran saking asyiknya menikmati air hangat, pikir wanita tua itu.
Akhirnya Mbok Ijah mendorong pintu yang rupanya lumayan berat tersebut. Ia menyapu seantero toilet super luas nan mewah tersebut. Pandangannya terhenti pada sesosok manusia yang tengah terkurap dalam kondisi telanjang bulat.
"Astagfirullah. Non Rubi?" Mbok Ijah kaget bukan kepalang. Sekujur tubuhnya bergetar hebat saat menyaksikan makhluk yang entah masih bernyawa atau tidak tersebut.
***
Bersambung