ดาวน์โหลดแอป
51.85% Petak Umpet Joe / Chapter 14: Masih Ada yang Selamat

บท 14: Masih Ada yang Selamat

"Cepat atau lambat, semua kan terjadi"

***

Terdengar di telingaku suara barang jatuh.

Sontak aku langsung mencari sumber suara. Di gedung ini Aku merasa tidak sendirian.

Belum habis napas tersenggah-senggah. Bulu kudukku kembali menegang. Kali ini apa lagi.

"Siapa di sana?" tanyaku spontan. Suara menggema di lorong-lorong.

Tidak ada jawaban.

Aku memilih bangkit, meraih pemotong besi untuk jaga-jaga. Mendekat pelan-pelan menyusuri lorong sepi menembus kegelapan. Suara barang terjatuh itu cukup keras berada di depanku. Ya tidak tepat di depan mata, tapi jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku duduk. Bisa dipastikan orang ini berjarak lima belas meter dari lorong utama menuju persimpangan.

Aku harus segera memeriksanya. Apa itu salah seorang teman? aku tidak yakin psikopat tersebut sudah berada di bangunan ini. Terlalu cepat untuk lari seorang wanita, lagi pula kulihat psikopat tadi tidak mengejar.

Kuharap itu teman.

Jika bukan teman, selesai sudah...

"Keluar. Gue tau lo ada di sana. Gue Iqbal, Iqbal Albani temen lo. Ini kedengarannya mendadak, tapi ada suatu yang penting pengen gue bicarain tentang permainan ini. Ada yang lebih bahaya dari ini semua. Sesuatu tak diundang ikut main permainan sama kita." jelasku perlahan sambil melihat kanan kiri. Yang kulihat hanya kegelapan di sekelilingku.

Sekarang aku berada di persimpangan. Lorong yang bercabang. Satu mengarah ke utara, satunya lagi mengarah ke barat.

Menelan ludah. Suasana mulai berubah.

Terasa ada kebimbangan dari diriku. Apa jangan-jangan memang tidak ada orang di sini, suara yang kudengar hanya halusinasiku.

"Kumohon. Jangan biarin gue sendiri di sini. Gue pengen semua keluar selamat malam ini."

Pancing sekali lagi.

Please.

Tidak berhasil. Tidak ada respon sama sekali selain bunyi remang-remang kegelapan. Interior kamar yang berjejer tidak memberi penjelasan kepadaku ada bunyi-bunyi aneh sebagai pertanda ada orang di dalamnya.

Aku masih kukuh yakin ada orang selain diriku di gedung ini. Suara di telinga tidak bisa berbohong, tidak mungkin ada suara jika bukan karena ulah seseorang. Dari suaranya, aku rasa benda tersebut adalah balok kayu.

Orang ini memilih diam tidak bergerak sementara aku sibuk menyusuri lorong untuk menemukannya.

Harapan terakhir.

"Bantu gue ngomongin ini ke anak-anak lain." Kata-kataku tertahan. Hendak melanjutkan tapi ragu. Berpikir sejenak, jangan-jangan orang yang kuajak bicara ini psikopat yang lain.

Ah sialan.

Serba salah.

Tidak ingin berlama-lama dalam kepastian yang tidak pasti, kuputuskan untuk memancingnya dengan cara lain.

"Gue tunggu siapa pun di sini ke lantai atas. Di sana gue cuman ngomong sebentar. Mungkin lo nggak mau keluar karena tau gue bawa senjata kan? Sekarang nggak, Gue taruh ini di anak tangga, bukti kalau gue emang bener-bener serius cuman mau ngomong."

"Please siapapun. Jangan kecewain gue."

Aku ada ide.

Berbalik meninggalkan persimpangan lorong.

Meletakkan pemotong besi di anak tangga dan pergi sembunyi di sebelah anak tangga. Memanfaatkan bayangan untuk bersembunyi sampai orang itu keluar, ketika mendekati anak tangga aku bisa melihatnya dengan jelas siapa sebenarnya orang yang bersembunyi ini. Dan kebetulan sekali, dari langit-langit yang jebol cahaya bulan tepat menerangi sekitar anak tangga.

Kuposisikan pemotong besinya di dekat sisi bawah tangga agar suatu saat yang keluar adalah psikopat lain aku bisa menariknya lalu menghajarnya tiba-tiba.

Lima menit berlalu sangat cepat.

Di sisi tangga bayangan tubuhku menghilang dengan sempurna. Tidak ada suara langkah apapun. Jangan-jangan ajakanku tidak dihiraukan. Ah elah. Kenapa susah amat sih. Tinggal ke atas ngomong bentar, nggak sampai lima menit semuanya beres kan. Langkah selanjutnya tinggal mikirin gimana bisa bobol pintu keluar asrama ini.

Drep!

Drep!!

Suara daun terinjak.

Seseorang datang. Dari arah lorong menuju anak tangga. Langkahnya terburu-buru. Semakin dekat, suara langkahnya terdengar semakin keras.

Keringat dingin kembali terasa saat ini. Napasku seketika berat. Seperti ada yang mengganjal membuatku kesulitan bernapas. Kugenggam erat kepalanku. Bersiap.

Sosok itu muncul dari bayangan, diterpa cahaya bulan memperlihatkan tubuhnya jelas dari atas ke bawah. Nampak wajahnya. Rambut yang terikat kebelakang, lesung pipi rapi, dan sorot matanya yang khas, tubuh ramping agak tinggi. Dengan wajah ketakutan ia mengambil pemotong besi di anak tangga, menoleh kanan kiri, belakang. Aku senang, sosok tersebut bukan psikopatnya. Dapat terlihat dari mimik mukanya yang ketakutan saat melangkah ke lantai atas, dia adalah temanku sejak SMP.

Itu Citra.

Tidak salah lagi.

Siapa lagi anak seangkatan berprofesi sebagai dokter kalau bukan Citra. Ditambah lagi seragam yang ia kenakan adalah seragam dokter, kemeja putih panjang di beberapa bagian kotor akibat terkena tanah. Di situasi saat ini mana sempat bersihkan baju, yang ada malah nyawa hilang.

Aku memutuskan mengikuti ke atas.

Kubuntuti dari arah belakang. Menyelinap dengan hati-hati tanpa sepengetahuan Citra. Saat tiba di aula lantai dua Citra melihat sekeliling.

"Cit." Sapaku tiba-tiba. Muncul persis dari arah belakang.

Citra reflek balik badan, tangannya gemetar. Napasnya naik turun saat kusapa, dia masih ketakutan.

"Eh, eh. Ini Gue. Iqbal. Lo-"

"Jangan macam-macam!!!"

"Atau gue serang sampe mampus lo!!" gertak Citra. Sedikit demi sedikit ia mundur ke belakang. Wajahnya berubah.

"Anjrit. Belum selesai ngomong. Malah kena marah." batinku.

"Cit-"

"Gak usah panggil-panggil nama gue!!! Bego!!"

"Buset. Gue malah kena semprot."

"Diem di situ!!!" Citra semakin menjauh. Todong pemotong besinya teracung ke arahku. Aku diam dengan tangan di atas. Mencoba meredam suasana tegang ini.

Aku tahu Citra panik saat ini.

Langkah yang tepat adalah menuruti semua kemauannya dan merayu. Citra berpikir akan kabur dari lantai dua setelah mendapatkan senjata lewat pintu belakang. Aku harus segera mencegahnya.

"Cit! Ada yang penting mau gue omongin!!"

"Nggak!!! Gue nggak mau!! Gue tau lo pasti mau bunuh gue. Dan gue nggak akan ngebiarin itu."

"Maksud lo apaan? Gue kan nggak bawa senjata. Elu yang bawa sekarang." nada bicaraku tegas. Berusaha menghentikan sikap protektif.

"Goblok!! Lo pikir gue nggak tau di balik baju lo masih ada senjata!!" teriak Citra. Wajahnya tegang bercampur marah. Padahal dia dokter, orang yang tau bagaimana mengatasi situasi seperti ini. Tapi Citra nggak. Kebalikannya malahan. Citra tegang, omongannya mulai ngelantur.

"Apaan et dah bujank!! Ni lihat!!" aku memperlihatkan punggung dan perutku, tanpa ragu sedikitpun.

Gue harus bersikap konyol. Batinku.

"Tutup!!! Tutup!! Mata gue tercemar!!! Dasar mesum lo!"

Wathahek

"Bergelut? Malam-malam gini mau bergelut?" batinku. Apa-apaan coba.

Dia yang tegang langsung nuduh yang nggak-nggak, setelah buktinya nggak ada barang aneh malah dituduh lagi mau ngelakuin yang nggak-nggak. Kan kampret.

"Aman kan. Aman kan." Kataku menutup baju. Mendekati Citra.

"Mundur!! Mundur!! Lo jangan coba-coba maju!! Atau gue getok pala lo peyong." Ancam Citra.

"Lah terus ?" aku heran.

"Lo ngomong dari situ."

"Lo... Lo gimana sih anjrit!!! Gue nggak bawa senjata, jamputt!! Lo lihat sendiri kan. Lo barusan lihat tubuh seksi gue dan lo masih nggak percaya? Yaoloh sumpeh ni orang. Masih untung gue kasih lihat tubuh aduhai anjrit. Orang lain mah udah gue tabokin minta yang aneh-aneh kek tadi. Lah elu sekarang masih nggak percaya. Lo beneran Dokter nggak sih?" Gerutuku spontan. Tanpa basa-basi langsung bacot.

"Iye iye gue percaya udah. Bawel banget jadi orang. Gak usah ngomel!" Balas Citra.

Si kampret minta ditabok.

"Ya lo santai dong. Turunin pemotong besi tuh. Gue mau ngomong."

"Yaudah cepet!!"

Aku menggaruk-garuk kepala. Bingung mau mulai dari mana.

"Lo ngajak gelut sumpah." Kata Citra terpancing emosi.

"Ye sabar kale. Gini, Eee."

"Permainan ini nggak nyata oke?. Atau nggak bener-bener termainkan secara benar. Paham nggak? Intinya main dengan arwah itu nggak ada. Buang semua aturan dan larangan mainnya, itu gak guna. Tapi-"

Mengambil napas. Memastikan tempo pengucapan enak untuk didengar.

"Kita kedatangan tamu tak diundang malam ini. Ikut bermain dan berpura-pura jadi arwah seolah-olah kita beranggapan permainan ini sudah terlaksana gitu. Dan orang itu nggak bisa dibiarin gitu aja. Dia seorang psikopat yang menyamar nyari kita dan mau bunuh satu persatu dari kita. Gue nggak tau motif dia apa, yang jelas kalau kita jalan sendiri-sendiri kayak gini sangat resiko. Kita perlu kumpul sama yang lain, gabung sama-sama. " Kataku. Terdengar rada creepy.

Kami tenggelam dalam hening lumayang panjang.

Aku melihat Citra. Ia tampak berpikir. Mengalihkan pandangan.

"Buktinya?"

"Sampai saat ini gue baik-baik aja tanpa cahaya lilin kan? lo harusnya tahu peraturannya. Harus menyalakan lilin di bawah sepuluh detik atau hal buruk akan terjadi. Tapi nyatanya gak demikian. Gue masih selamat tanpa bantuan lilin. Jelas jelas permainannya nggak berjalan. Peraturannya bohong, sebenarnya nggak ada arwah di sini. Nggak ada penjaga, semuanya bohong. Permainan ini dari awal emang nggak ada Cit. "

"Gue yakin lo paham omongan gue. Karena lo juga nggak bawa lilin dari tadi." Kataku.

Citra mengangguk. Ia setuju.

"Bukti psikopat?"

"Ya dilogika aja. Kalau permainan ini nggak berjalan tapi kok masih ada arwah? Pilihannya cuman satu. Itu arwah jadi jadian. Salah seorang nyamar jadi arwah itu. Simple. Bukti kedua, mungkin ceritanya agak panjang tapi garis besarnya gue nemuin dua orang yang sama dalam malam ini. Dua tubuh dalam satu identitas. Haniyah. Gue ketemu jenazah Haniyah di gedung satu. Tapi gue juga kembali ketemu Haniyah yang lain di Gedung dua. Setelah gue cek jenazah di gedung satu, di sana tetep ada jenazah Haniyah. Nggak ada yang berubah. Lah, terus orang yang gue temuin di gedung dua siapa? Sukmanya? "

"Bisa saja-"

"Apa? Lo percaya kalau itu bunshin naruto? Heh. Jangan bercanda." kataku memotong perkataan Citra.

Aku mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan foto jasad Haniyah di gedung satu.

Citra kembali mengangguk.

"Tapi mungkin perkataan lo semua itu bohong kita nggak tau." Kata Citra.

"What!! Maksud lo?" Kataku setengah terkejut.

"Gue bisa aja nyuruh lo buat bawa jenazah Haniyah ke sini supaya gue percaya."

Citra menghela napas sebentar. Lalu menatapku lamat-lamat.

"Tapi nggak perlu. Gue nggak butuh itu. Buang-buang waktu. Lebih baik sekarang Lo harus beritahu yang lain tentang ini. Sebelum terlambat. Gue tau lo nggak suka bohong. Gue yakin lo jujur."

"Ikut gue. Gue tau mereka ada di mana. " Pinta Citra.

Aku mengangguk dan berjalan di belakangnya. Menyusuri lorong gelap, di persimpangan belok kanan, lurus lagi. Melihat ke arah jendela, nampak di ujung sana cahaya lampu jalan berkelip sebentar, jaraknya yang jauh membuat gedung ini seperti bangunan mati. Tidak ada yang sadar jika malam hari ada gedung di area ini.

Tidak ada penerangan, kami melangkah dengan hati-hati keluar dari lantai dua. Lewat pintu belakang.

Citra memilih jalan pepohonan lebat sebagai akses pintas menuju menara. Sesekali kupercepat langkah kakiku untuk sejajar dengan Citra. Tapi Citra tidak membiarkanku demikian, langkah kakinya dua kali lebih cepat ketimbang diriku. Alhasil aku selalu tertinggal di belakang. Mungkin ia masih ada ragu denganku. Tiba-tiba aku menggorok lehernya kan nggak lucu. Begitu pikirnya.

Pohon yang rindang. Dengan tumpahan air seketika menyenggol ranting, tepat membasahi baju yang kukenakan.

Sial. Ditambah bunyi brisik ranting menurutku memilih akses ini rada kurang pas. Bisa saja seseorang menyadari ada sesuatu yang bergerak di antara pepohonan. Terlebih lagi sinar bulan sedikit kurang menguntungkan di luar sini.

Aduh.

Ranting pohon tepat mengenai kepalaku.

"Cit." Kataku.

"Ssstt!!" balasnya.

Eh, tungguin. Pikirku. Mana sempat, Citra semakin menjauh kalau aku berhenti di sini.

Suasana lenggang. Aku kembali menyusul. Dan akhirnya tak butuh waktu lama kami sudah berada di sisi belakang menara. Bangunan yang berdiri di pojok area asrama. Bangunan dengan logo sekolah di bagian depan terpampang lebar, semua orang bisa melihatnya saat pagi. Berhubung sekarang malam jadi rada susah tanpa melihat.

Citra melempar batu ke atas. Mengenai dinding.

Meleset.

Melempar lagi dan sampai di sebuah balkon.

Itu isyarat. Seperti kode kalau Citra sudah kembali. Pikirku demikian.

Benar saja. Keluar cahaya lilin dari atas sana. Menengok sekilas. Citra melambai-lambaikan tangan. Selanjutnya tanpa berlama-lama seseorang melemparkan anak tangga terbuat dari kayu yang diikat tali sejajar. Jadilah tangga darurat.

Citra tersenyum.

Melemparkan pemotong besi kepadaku. Melihatku sekilas dan bergegas menaiki tangga. Meski kerepotan tangga ini bisa membawa masuk Citra dengan selamat.

Sesaat kemudian aku menyusul. Dengan hati-hati karena terayun-ayun kanan kiri akhirnya sampai ke atas balkon menara.

Aku melihat orang yang membawa lilin tak jauh dari tempatku berdiri. Badannya besar. Lebih tinggi dariku. Otot di lengannya juga menghiasi perawakan garang orang ini. Cuman dua orang di angkatan kami memiliki postur tubuh di atas rata-rata.

Tsaqib.

Sebenarnya agak canggung bertemu dengannya. Karena kedekatan kami tidak terlalu akrab. Hanya sebatas kenal tidak lebih. Tatapannya memperhatikanku dari atas hingga bawah sambil memegang lilin dan berkata.

"Mana lilin lo?"

Aku terdiam.

Tidak menjawab.

Tsaqib menoleh menatap Citra. "Maksud lo apaan bawa orang lagi, Cit?" tanya Tsaqib. Wajahnya merah. "Ya karena dia perlu ditolong." Jawab Citra enteng.

"Apa? Apa lo bilang? Eh, asal lo tau ya. Semakin banyak orang di sini, tempat ini nggak akan bertahan lama. Bakal nggak aman. Lo mau semua mati gara-gara perbuatan lo? Kautsar udah bilang kan."

Citra ikut nyolot.

"Bukan lo yang mutusin siapa yang berhak tinggal." Jawabnya ketus.

"Dan Kautsar juga belum tentu nerima." Jawab Tsaqib.

Kausar. Tetangga kelas saat masih di SMA. Ia terkenal sering terkena masalah. Berandalan, suka tawuran, ketua geng, sikapnya kasar dan suka bermain wanita. Pokoknya image baik tidak tercermin darinya.

Aduh mampus.

Rasa risau semakin menjadi-jadi ketika mendengar perkataan Tsaqib. Ada Kautsar di sini. Dan yang pasti ia penguasa tempat ini. Siapapun boleh masuk. Tapi dengan syarat Kautsar menyetujuinya. Itu pun pasti ada maksud lain Kautsar setuju. Aku tidak percaya dengan dia. Apalagi aku pernah ada masalah dengannya.

Tujuanku sekarang harus menyampaikan informasi penting ini kepada siapapun. Entah Kautsar si brengsek itu. Juga yang lain.

"Lihat saja nanti." Kata Citra.

Tidak sempat melihat-lihat. Aku dan Citra langsung pergi ke lantai atas. Hendak menemui Kautsar. Menaiki anak tangga satu persatu. Langkahku semakin cepat seiring berjalannya waktu. Gelisah. Ketika memikirkan hal tadi rasa khawatir tentang Meira terus membayangiku.

Di mana dia sekarang.

Sudah dua jam lebih aku berpisah dengannya. Entah di luar sana ia masih baik-baik saja atau tidak, kuharap sesegera mungkin aku berhasil bertemu dengannya.

"Cit." Kataku.

Langkah Citra terhenti. "Meira ada di sini?" tanyaku. Citra berpikir sejenak. Mungkin mengolah kata-kata yang pas untuk menjawab. Tidak bisa, dari sorot matanya aku tau jawabannya. Dia tersenyum simpul. Citra menggeleng pelan.

Aku mengusap bibir.

Menghela napas panjang.

Meira. Aku harus cepat menemukannya.

***


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C14
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ