Setelah ia mengucapkan kata-kata itu, kami tidak pernah menghubungi satu sama lain. Hendrick pergi dengan Sera dan teman-temannya, aku tahu mereka semua punya pacar dan tentu saja mereka menikmati liburan bersama, sementara aku sendiri bekerja sepanjang waktu. Aku juga bertemu dengan Bosku yang merupakan kekasihku. Agak membosankan, tapi aku takut aku akan menyakiti Steven jika aku mengatakan yang sebenarnya.
Aku memeriksa ponselku setiap saat, berharap Hendrick akan menghubungiku. Tapi aku pikir itu tidak mungkin mengingat terakhir kali kami bertemu seperti dua orang yang bermusuhan.
Bagian dari diriku tidak bisa bohong bahwa aku sangat merindukan Hendrick. Aku bertanya-tanya apakah dia juga merindukanku atau tidak. Semua pikiranku penuh dengan Hendrick dan itu membunuhku ketika aku masih di kantor.
Aku tahu ini bisa disebut sebagai perselingkuhan. Aku punya kekasih tapi aku memikirkan sahabatku yang merupakan cinta pertamaku. Tiba-tiba, aku merasa keputusanku untuk menjadi kekasih Steven adalah keputusan yang salah. Seharusnya aku menolaknya dan memilih tetap lajang sehingga aku tidak perlu pusing memikirkan perasaan seseorang, kecuali perasaanku sendiri.
"Hai, cantik, apakah kau ingin makan malam denganku malam ini?" Wajah Steven muncul di depan wajahku saat aku sedang melamun.
Aku mengedipkan mata karena kaget. "Oh, baiklah. Oke, kalau begitu."
"Masuklah ke kantorku sekarang," perintahnya.
Aku berdiri dan berjalan di belakangnya. Aku tidak bisa menyembunyikan bahwa aku sangat lemah ketika melihat wajah Steven, membuatku merasa bersalah.
"Ada apa?" tanyaku
"Apakah kau punya masalah?"
"Masalah? Tidak. Kenapa?"
Ia mengintimidasiku dengan tatapannya dan aku menyadari itu karena aku tampak seperti tidak ada keinginan untuk bekerja. Karena hari ini adalah hari aku tanpa Hendrick. Maksudku, kami belum berbicara karena kemarahan kami sejak kemarin. Jadi, yah, rasanya berbeda.
"Atau kau sedang sakit?" tanyanya seraya memegang keningku.
Aku menggelengkan kepalaku dan aku duduk di depannya. "Maaf, aku hanya mengantuk. Aku tidur sangat larut tadi malam," kataku berbohong.
Steven menatapku dengan satu alisnya terangkat. Lalu ia menyuruhku duduk di pangkuannya dan aku melakukannya. "Jika kau ingin hari libur, kau bisa mengambil hari liburmu, Mayleen."
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku ingin menghindari hal seperti itu, Steven. Maksukud, aku tidak ingin mengambil keuntungan atas status kita."
"Well, oke. Begini, apa kau ingin jujur padaku, Mayleen?" tanyanya.
Aku merasa bingung ketika ia mengajukan pertanyaan itu. Haruskah aku menjawab dengan jujur? Tapi aku merasa aku harus jujur padanya karena di sini aku merasa seperti aku yang tertekan setiap kali aku menahan perasaanku pada Hendrick. Padahal hubunganku dan Steven hanya baru berjalan beberapa hari.
"Ya. Tapi sebaiknya kita cari tempat yang bagus untuk bicara," jawabku akhirnya.
"Oke, dengan senang hati."
"Berjanjilah padaku dulu, Steven... kau tidak akan marah padaku," kataku meminta ia untuk berjanji.
"Aku berjanji," katanya dengan mudah.
"Oke. Kuharap kau tidak marah."
***
Steven membawaku ke restoran cepat saji. Nah, sebenarnya karena aku ingin makan makanan cepat saji, jadi dia membawaku ke sini. Kami memesan dan membawa pesanan kami ke meja yang dia pilih.
Awalnya akj dan Steven makan seperti biasa. Ia bahkan makan lebih cepat dariku. Aku sendiri memilih memperlambat durasi makanku karena degup jantungku berdetak kencang tentang apa yang akan terjadi setelah ini.
"Ngomong-ngomong, kau kenal Dion?" tanyanya saat aku masih mencoba menghabiskan makananku.
"Hmm, ya? Ada apa dengannya?" anggukku sekaligus bertanya.
"Dia tahu kita berpacaran. Karena dia sahabatku, jadi aku tidak bisa menyembunyikannya darinya."
Aku setuju dengan kalimat terakhir. Sangat berbeda denganku. Ia memiliki sahabat laki-laki sehingga ia bisa bicara seterbuka itu, sementara sahabatku seorang laki-laki yang mana tentu sahabatku sendiri adalah cinta pertamaku.
"Apa kau punya seorang sahabat?" tanyanya
"Hmm... ya. Tapi dia laki-laki," jawabku.
Stevan mengangkat satu alisnya. Dia tampak penasaran meskipun aku akan membicarakan Hendrick sebentar lagi. "Seorang laki-laki? Apa persahabatan bisa dijalani oleh lawan jenis?"
Aku mengangkat bahuku. Aku percaya itu, tapi aku kira itu semua tergantung pada masing-masing individu. Dulu aku bisa, tapi sekarang aku merasa semakin ingin dekat dengannya dalam arti lain. Dalam status yang jelas dan lebih dari sahabat.
"Bagaimana denganmu? Apa kau bisa bersahabat dengannya?" tanyanya lebih spesifik.
"Ya dan tidak. Tunggu sebentar, aku akan mencuci tangan," kataku sambil berdiri dan menuju wastafel.
Aku melihat diriku di cermin. Betapa berantakannya aku saat sedang berkencan dengan Bosku. Sial! Untungnya, aku membawa tasku ke wastafel, jadi aku bisa memoles bibirku sedikit dan memperbaiki pakaian juga tatanan rambutku.
Aku kembali duduk dan meminum coke-ku. Rasanya jadi enak. Aku merasa kenyang sementara jantungku masih berdebar kencang. Kutarik napas dalam-dalam dan menatapnya dengan serius. "Aku akan memberitahumu sesuatu, Steven. Dan yah, aku berharap kau juga bisa membantuku."
"Katakan, Mayleen."
"Pertama, bisakah kamu membuatku mencintaimu seperti kau mencintaiku?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa aku menunda berbicara tentang Hendrick ke bagian pertanyaan seperti itu. Meskipun ada hubungannya dengan itu, tapi aku juga ingin tahu jawabannya, sebab itulah yang terpenting di saat seperti ini juga. Walau aku tidak tahu ke depannya akan seperti apa.
"Aku mencoba, Mayleen. Kau tahu itu. Bahkan sekarang, aku melakukan yang terbaik untuk memberikan semua yang aku bisa," jelasnya dengan jujur.
Aku mengangguk. Dia benar. Bahkan sekarang dia mencoba memahamiku. Padahal sebelumnya aku tidak mengenal Steven selain sebagai Bosku. Sebelumnya juga, yang kukenal hanyalah sebatas pekerjaanku sebagai bawahan untuk Bosnya. Siapa sangka bahwa aku akan menjadi kekasih atasanku sendiri? Tidak perlu dihebat-hebatkan karena aku belum mencintainya. Ia hanya terlihat tampan dan baik di mataku.
"Itu bagus karena aku ingin kau melakukan itu. Aku harus melupakan cinta pertamaku karena hubungan kita salah berdasarkan apa yang aku rasakan," jelasku. Aku cukup yakin dengan apa yang kubicarakan. Semoga Steven mengerti.
"Cinta pertamamu? Maksudmu, kau masih mencintainya saat bersamaku? Apakah itu alasanmu untuk menjadi pacarku?" tanyanya dengan tatapan serius. Ia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan kujawab dengan sekali namun cukup menegangkan. Sejujurnya aku lebih takut mengatakan kejujuranku sendiri, karen aku terkadang tidak tega menatap ekspresj lawan bicaraku setelahnya.
Aku menganggukkan kepalaku dengam sedikit ragu. Bukan meragukan perasaanku, tapi meragukan apakah Steven akan marah dan tidak mengerti aku setelah dia tahu segalanya.
Steven menghela nafas dan menyadari seolah-olah dia patah hati atas pengakuanku. Aku tahu, dengan jujur seperti ini saja tentu membuat perasaannya kecewa. Hanya saja laki-laki mudah menutupinya ketimbang wanita.
"Apa lagi yang ingin kau katakan padaku? Siapa cinta pertamamu?" dia bertanya lebih lanjut, kupikir ia juga penasaran.
"Sahabatku. Dia adalah topik yang kita bicarakan sepanjang malam ini," jawabku jujur.