Hampir empat jam Marlon menunggu Belle siuman, rupanya pukulan keras tadi membuat pipi gadis itu membiru. Segala cara sudah dia lakukan selama Belle pingsan. Dengan mengkompres air dingin berikut embusan yang dia berikan agar rasa sakitnya berkurang. Liam dan Rose? Kedua pasangan itu sudah Marlon usir, tidak membiarkan dokter Liam menyentuh wajah Belle.
"Kau tak seharusnya melindungi Liam sehingga dirimu yang terkena, Bell." Dengan pelan Marlon mengusap dahi Belle, menyeka butiran peluh.
Hening.
Masih tidak ada jawaban.
Faktanya Belle masih belum sadarkan diri entah sampai kapan, Marlon lelah menanti yang tidak pasti. Mengambil napas Marlon pun bangkit saat ingat William, putranya juga sedang sakit. Meski sama-sama tidur, sebagai ayah dia harus bolak balik mengecek untuk memastikan bahwa semuanya aman.
Ternyata bocah dua tahun itu sudah bangun, dia duduk di ujung ranjang sambil memandang robot pemberian dokter Liam. Saat Marlon berdiri di hadapan William pun pandangannya masih terpusat pada mainan. Seakan-akan sangat berharga. Tetapi Marlon tak ingin egois, dia tetap membiarkan itu sambil memeriksa kening si anak.
"Oh, syukurlah! Panasnya turun."
Seuntai senyum Marlon tercetak, dia mengacak rambut William, kemudian duduk di sampingnya dan bertanya. "Apa kau lapar?"
William menoleh, menatap Marlon sejenak, lalu memberengut.
"Tidak, Dad jahat, semua jahat!"
Mendengar itu Marlon tersentak, dia selalu memperlakukan dengan kasih sejak kepulangan William, namun tak berarti sama sekali baginya. Kecewa. Kelembutan Liam ternyata jauh lebih membekas di hatinya, yang secara tak langsung dia telah mengambil tempat Marlon sebagai ayah kandung si kecil. Di sini Marlon tak menyalahkan siapa pun apalagi Belle, tidak juga Liam, di antara banyak kesalahan inilah yang paling kejam dan amat menyakitkan.
Sama sekali tidak menyerah lelaki itu mengambil posisi di bawah, kegiatan yang hampir Marlon lakukan di setiap hari hanya untuk mendengar William tertawa lepas. Yaitu menjadi kuda. Di saat Marlon pikir William akan luluh, nyatanya tidak, dia malah asyik dengan mainan baru dari dokter Liam. Lama-lama putra kedua Gloe gondok sendiri, tanpa sadar tangannya sudah merampas robot di tangan sang anak.
"Daddy bisa membelikan robot lebih bagus dari ini, William."
Lantas, melempar ke dinding hingga mainan tersebut hancur berkeping. Di situ William mengamuk, tangisannya pecah sambil mengobrak abrik sprei. Tidak berlangsung lama Belle muncul dengan wajah merah padam. Kakinya berlari menghampiri William sesaat menangkap kilatan di mata Marlon.
Menjauhi William dari paman Marlon atau sesuatu yang buruk akan terjadi, seperti nasib Belle. Terkena pukulan.
"Tidak Paman, jangan pukul anakku." Belle melingkupi William saat paman Marlon mendekat, wajahnya terlihat sangat ketakutan bagaikan trauma.
"Bell, sungguh, aku tak berniat sedikit pun menyakiti anak kita."
"Tidak, tolong jangan. Tetap diam di situ, jangan sakiti William anakku." Masih kekeuh Belle memeluk si kecil dengan erat, tidak memberi Marlon ruang walaupun segaris saja.
Kriing!
Perhatian Marlon langsung ditarik oleh dering telepon yang memekik, enggan menunggu lebih lama dia beranjak ke sisi ranjang. Mengangkat telepon. Di sanalah Belle beraksi cepat membawa William pergi dari Marlon tanpa ada penahanan. Meski melihat lelaki itu juga tidak mencegah karena telanjur menerima telepon dari penagih janji. Hutang karena kalah judi tempo lalu.
"Kupikir kau tak melupakan seluruh janji berikut hutangmu yang hendak kau lunaskan hari ini padaku. Tidak main-main jumlahnya cukup untuk membuat diriku kaya raya dan mengambil alih kekuasaan Exietera, HAHAHA."
"Kau mau menipuku ya! Aku tidak pernah mempertaruhkan kekayaan Exietera padamu, jangan harap."
"Kita lihat saja nanti, kurang dari 24 jam seluruh kekayaan Exietera akan jatuh ke dalam genggamanku."
Tak ingin mendengar lebih jauh, Marlon memutus sambungan sebelah pihak. Kedengaran omong kosong. Dia pikir Marlon mudah ditipu, hah? Seumur-umur baru kali ini ada orang yang mengelabui penguasa Exietera.
Mengacak rambut gersangnya, meski demikian Marlon juga tak menampik jika omongan konyol itu berpengaruh bagi pikirannya yang mulai terancam. Kalau memang benar, dia akan jatuh miskin. Tak ada lagi Perusahaan, bahkan impian yang baru dimulai akan sirna. Saat Marlon terpuruk, maka Belle tak bakal tahan hidup bersamanya, lantas memilih hidup dengan dokter Liam. Meninggalkan kamar, Marlon berlari mencari keberadaan Belle di sepenjuru ruangan, akan tetapi nihil.
Semua sudah terlambat.
Belle pergi untuk kedua kalinya saat dia tengah terjatuh, dan terseok-seok.
***
"Anakku, itulah yang namanya hidup berumah tangga, kita tak bisa lekang dari masalah. Namun, sesakit apapun badai menerjang kekuatan cinta akan mempertahankan kubu setiap insan." Ernest terus memberi masukan yang ditentang oleh Belle dengan gelengan.
"Rasanya sangat sakit Bu, aku pasrah, aku tidak sanggup lagi hidup dengan paman Marlon. Tidak hanya melukai hatiku dia juga bermain fisik bahkan ingin menyakiti William juga," lirih Belle di sela isakan, memantapkan.
Ernest mengusap kedua pundak Belle, menariknya sehingga tatapan mereka bertemu. Mencari kesungguhan pada bola matanya yang bergelinangan air. Kali ini Belle terlihat serius. Tidak ada kebimbangan bahkan tampak begitu terluka. Otomatis Ernest menyetujui. Dari tadi dia sudah berusaha, namun tak membuahkan hasil, jika berpisah dapat menyelesaikan semua, baiklah. Yang jelas sebagai seorang ibu selalu menginginkan terbaik untuk anaknya.
Lagi, Ernest membawa Belle ke dalam pelukan, membiarkan sang anak larut menumpahkan seluruh air mata. Dia tahu betul betapa sakitnya mendekati detik-detik di ambang perpisahan. Di luar kamar William mengintip, meski tak mengerti apa yang dibahas, bocah itu dapat menyimpulkan jika ibunya menangis karena daddy. Lelaki yang sama, beberapa waktu lalu merusak mainan keren kesayangan William.
"Sekarang, tidurlah! Besok pagi Ayah, dan Ibu akan menemanimu menemui Marlon. Kita harus membicarakan ini baik-baik agar tak ada permusuhan."
"Baik, Bu, maafkan aku yang belum bisa menjadi anak seperti kau ingin."
Sekali lagi Belle memeluk Ernest, lalu menghampiri William yang menanti di luar. Menggendongnya ke kamar tidur. Hanya membutuhkan beberapa detik si kecil sudah tertidur. Belle pun beranjak untuk menyelimuti William, kemudian mengambil tempat duduk beralaskan lantai dingin. Menangis tanpa suara.
"Belle, apa kau sudah tidur? Nyonya Gloe ingin bicara padamu." Suara ibu menyambar kuping, Belle bangkit dengan langkah gemetar.
"I-bu ..." panggilnya putus-putus, Gloe hanya melebarkan kedua tangan, dia mendekap Belle erat sekali.
Sesaat pelukan terlepas, Gloe menarik tangan Belle memberi secarik kertas. Untuk seperkian waktu kening gadis itu mengernyit, saat dibukanya batin Belle menangis menemukan tulisan 'Surat pengajuan perceraian'. Serius! Kenapa rasanya sakit? Bukankah ini yang Belle harapkan sedari tadi?
"Marlon menitipkan ini sebelum pergi padaku, dia sudah tak punya apa-apa lagi. Seluruh kekayaan Exietera habis akibat kalah judi. Kami sudah miskin. Marlon juga bilang kau, dan William berhak bahagia. Karena tujuan anak itu menikah untuk kelak membahagiakan istrinya, serta mendapatkan penerus. Sekarang semua berbeda. Kalian bisa mencari kebahagiaan dengan orang yang lebih baik dari kami, setujuilah."
Sontak seluruh saraf Belle mati.
Otaknya bergerak lambat, beriringan dengan air mata yang mengalir deras. "Paman Marlon pergi ke mana?"
"Aku tak tahu, dia hanya berpesan ini padaku. Kau bisa tanda tangan di sini."
Ketika tangannya bergerak, membaca sederet tulisan yang tertera, hati Belle bergejolak hebat. Menyangkal keras. Demi Tuhan! Belle tidak mampu, dia tak dapat melakukan ini pada paman Marlon, pamannya ... dan cintanya.