ดาวน์โหลดแอป
1.7% Bukan Pernikahan Sempurna / Chapter 4: Mengapa?

บท 4: Mengapa?

"Aku mau jadi yang kedua. Apa salahnya selingkuh saat dia saja nggak pernah nganggap kamu ada?" pintanya dengan nada memaksa.

"Hen!" seruku tak terima.

Seburuk apapun Joo dia tetap suamiku saat ini. Jadi tak ada alasan untuk mendengarkan hinaan tentangnya. Joo tetap suamiku, aku wajib menghormatinya meski pernikahan kami tak sah.

Memang sejak kapan wanita hamil boleh melakukan akad nikah? Secara tak langsung kami belum sah di mata agama. Itulah alasan mengapa aku kekeuh tak mau satu kamar dengannya. Jika tak bisa mendapatkan pahal atas pernikahan kami paling tidak jangan menambah dosa, pemikiran naif sekali.

Sampai kapan? Bisa saja … selamanya.

"Gagal ya kali ini? Okey, aku pergi. Kalau ada apa-apa kabari. Doni bakalan pantau kamu, kabari aku secepatnya, Ta," bisik Hendri dengan senyum samar.

Hembusan angin yang menerpa membawa tak bisa membawa kabur suaranya. Terdengar begitu jelas di telingaku. Harusnya dia menamparku, tapi lagi-lagi aku hanya disuguhkan dengan senyuman menyedihkan.

Masih kuamati dia yang turun perlahan. Padahal ada ratusan pengawal, bisa-bisanya dia merelakan nyawa untuk menemuiku. Sedalam apa cintanya untukku?

"Selingkuh? Mau nyoba sama tikus nggak guna itu?" tanya seseorang dari arah belakang, jelas, itu Joo.

Terkekeh samar. Aku menoleh ke belakang menatap suamiku, ah ralat, sahabatku karena dia tak pernah menaruh hatinya meski sejenak untukku.

Ya, ya, mau bagaimanapun juga dia suamiku. Dan aku mencintainya, tak perlu menyangkal nggak ada gunanya.

"Sejak kapan sebatas ngobrol saja kamu anggap selingkuh, Joo? Ah, aku mau pamit kerja. Nggak ada bulan madu, 'kan?" tanyaku santai.

"Bercanda?" Joo membalas dengan wajah datarnya.

Padahal dia tahu kalau aku tak sedang bercanda. Dia jelas mengerti bagaimana sifatku. Saat bercanda setidaknya aku akan tersenyum tipis hingga sangat tak kentara.

"Aku mau kerja—"

"Tapi aku nggak kasih ijin. Gimana kalau kamu selingkuh sama si brengsek itu?" potong Joo membuatku meradang.

Aku menatap Joo cukup lama. Lantas mulai mengambil tas yang tergeletak di atas meja. Memang karena dia suamiku bisa sesuka hati menjatuhkan larangan padaku, ya?

"Aku nggak kasih ijin, Bee!" teriak Joo.

Kuabaikan dia. Pintu kamar hampir saja aku jangkau, namun dia lebih dulu menarik paksa tanganku. Matanya yang menatapku nyalang membuat nyaliku menciut. Tatapan ini … bisa membunuhku.

Joo itu gila. Pada saat-saat tertentu dia bisa membuat siapa saja merasa terintimidasi. Atau dengan senang hati mengatakan ingin mati ketimbang mendengar mulutnya yang tajam ini.

"Telinga kamu rusak ya? Jangan buat aku marah, taruh tas kamu dan duduk. Biar aku aja yang kerja, nggak ada celah buat kamu selingkuh sama tikus jalanan itu!" bentaknya dengan nada lantang.

Berdengung telingaku mendengarnya. Lagi-lagi dia membahas Hendri seolah yang Joo lakukan dengan Astrid hanya sebatas imajinasi buruk dalam benakku saja.

Padahal tadi hampir saja aku baper. Kupikir dia melarangku bekerja karena ingin aku menjadi istri yang baik, merawatnya dan mematuhi aturannya hingga betah di rumah.

Tapi ... apa ini?

Tak memberi celah untukku bertemu dengan Hendri? Omong kosong.

"Minggir Joo, aku nggak mau bisnis yang susah payah aku rintis hancur gara-gara sikap egois kamu!" seruku dengan nada tinggi.

Genggaman tangannya di pergelangan tanganku semakin erat. Aku yakin pasti warnanya sudah memerah. Dia benar-benar mau membunuhku, ya?!

Kembali aku bertanya. Apa sih yang aku harapkan darinya hah? Joo yang lembut sudah tiada! Dia mati bersamaan dengan kabar pernikahan Astrid wanita sialan itu-!

Bagaimana bisa hatiku jatuh pada laki-laki sepertinya? Keras kepala, egois, semaunya dan dia juga main tangan.

"Aku nggak akan lepasin kamu!" katanya penuh penekanan.

Merinding mendengarnya. Bulu-bulu roma berdiri seketika.

Klak!

Bunyi kunci pintu yang diputar paksa.

"Layani aku!" titahnya.

Dari sekian banyak ucapannya, tak adakah yang lebih halus? Melayani? Bukankah sekarang aku benar-benar seperti kenari malam yang menggoyangkan di atas tubuhnya demi hasrat duniawi semata?

"Nggak, aku hamil!" bentakku menolaknya.

"Kita udah nikah kamu lupa? Toh malam itu kamu menikmatinya juga, 'kan?" balas Joo dengan seringai iblisnya.

Apa di matanya malam itu aku benar-benar sepertu gadis rendahan hingga saat ini tak pantas diperhatikan dan diperlakukan dengan sedikit lebih baik, ya?

Matanya benar-benar menampilkan sorot ingin melahapku. Aku meneguk saliva, menggeleng berkali-kali dan mengingatkan padanya kalau kami belum sah.

Dia meraih tengkukku, memaksa bibir kami bertemu. Air mata mengalir deras di pipiku.

Lagi-lagi aku terbuai pada lembutnya sentuhannya. Dia berhasil membuatku melayang di tengah teriknya sinar matahari siang ini.

Aku jatuh, pada sentuhannya. Tanpa sadar berhubungan dengannya membuatku candu.

Cih, lagi-lagi kami membuat dosa. Lagi pula mengapa dosa senikmat ini hingga manusia ingin terus mencobanya? Atau … memang karena hatiku yang pada dasarnya sudah menghitam?

***

Hari kedua menjadi istrinya.

Adakah yang spesial? Tentu saja tidak.

Usai pergulatan kami siang kemarin dia sama sekali tak ada kabar. Melarangku pergi bekerja, namun dia nyatanya entah ada kemana saat ini. Bisa saja memadu kasih dengan wanita lain. Jika tak puas denganku mana mungkin Joo akan diam saja. Dia bukan laki-laki setia, kecuali pada Astrid tentunya.

Apa aku kesal? Hem, jangan ditanya lagi.

Hembusan angin yang melintasi jendela singgah sebentar menyapu wajahku. Mungkin mataku sembap lantaran semalam menangis kencang. Akibat ulah siapa lagi aku berakhir begini jika bukan karena laki-laki itu?

Ahahaha, konyol sekali memang. Mama dan papa seakan tak peduli sama sekali. Mereka sudah bahagia dengan saham yang setidaknya bisa membawa kehidupan penuh pemborosan selama lima tahun ke depan.

Doni yang merupakan manajer saja mungkin mendadak jadi CEO gara-gara tingkahku satu ini. Aish, dia kan memang seharusnya menempati posisi itu. aku jadi rindu omelan darinya saat merasa malas bekerja seperti saat ini.

Ah, sebelumnya belum ku perkenalkan namaku secata resmi bukan?

Aku Jelita Paramesti, panggil saja Lita. Baru dua puluh enam tahun usiaku, bagiku itu masih terlalu muda untuk menikah apalagi sampai mengandung seperti saat ini. Rencana pernikahan setidaknya masih ada tiga tahun kedepan, namun yang namanya rencana Tuhan memang selalu saja mengejutkan setiap insan.

Lima tahun lalu aku mendapatkan gelar Sarjana Arsitektur (S.Ars) yang membuatku mengabiskan biaya hampir lima miliyar karena sering melakukan percobaan. Tentu karena biaya itulah aku berakhir seperti boneka pencetak uang saat ini.

Bersyukur saat kuliah aku bertemu dengan Doni. Dia juga salah satu mahasiswa di Berlin University of the Arts. Sama-sama dari Indonesia membuatku nyaman berteman dengannya. Kami juga memutuskan tinggal di apartemen yang sama demi menghemat biaya seusai didepak dari asrama.

Kau tau apa yang lucu? Dia … sepupunya Hendri.

-Bersambung ....


Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C4
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ