Pagi ini setelah sampai di sekolah, Alira berjalan pelan mendekati aula. Dalam hati Alira terus memantapkan dirinya dengan keputusan yang akan dia ambil.
Ya. Pada akhirnya Alira menerima tawaran untuk ikut serta kompentisi sains.
"Kata Pak Rudi, yang penting gue ikut berpartisipasi. Kalah menang itu urusan belakangan," satu kalimat yang sejak semalam Alira ucapkan dalam hati.
Sebenarnya Alira tertarik mengikuti kompetisi karena nantinya ia bisa bebas membayar sekolah selama tiga bulan. Bukannya Alira terlalu matre atau mata duitan. Hanya saja, siapa coba yang tidak ingin bebas biaya sekolah? Dan juga apa ada orang jaman sekarang yang tidak doyan duit?
"Bismillah," Alira terlihat menghela napas perlahan.
Sampai di depan aula, Alira berhenti sejenak. Melirik ke dalam ruangan yang sudah ada banyak siswa. Wajah-wajah mereka terlihat pintar hanya dalam sekali menatap saja.
"Ih, kok gue jadi minder," kata Alira.
Sesaat Alira berpikir untuk balik ke kelasnya. Tapi, semalam ia sudah memantapkan diri untuk bergabung dengan kelas kompetisi. Alira juga teringat dengan benefit yang akan ia dapat jika mengikuti kompetisi ini.
"Alira?"
"Astaghfirullah!"
Alira terkejut bukan main saat ada suara yang menyapanya dari belakang. Saat Alira menoleh, ternyata Pak Rudi yang baru saja menyapanya.
"Maaf, Pak. Selamat pagi," kata Alira menundukkan kepalanya.
"Akhirnya kamu bersedia juga ikut kompetisi," sahut Pak Rudi tersenyum lebar.
Alira mengangguk pelan. "Emm, saya mulai bimbingannya kapan ya, Pak?"
"Hari sudah mulai bimbingan. Kamu tunggu di dalam aula, nanti jam tujuh Bu Ratih selaku pembimbing mapel geografi akan memulai bimbingan," ujar Pak Rudi memberi penjelasan.
Alira tampak menganggukkan kepalanya. Sedikit lega karena yang membimbingnya adalah Bu Ratih. Salah satu guru favorit di Starlight.
"Silakan masuk, Alira. Saya masih ada keperluan di kantor sebentar," kata Pak Rudi.
"Oh iya, Pak. Terimakasih," balas Alira kembali menunduk saat Pak Rudi berlalu dari hadapannya.
Setelah Pak Rudi sudah tidak terlihat lagi, Alira berjalan pelan memasuki aula. Awalnya ia bingung harus duduk di mana. Di dalam aula sudah ada beberapa meja dan kursi yang di kelompokkan.
Di antara kelompok-kelompok meja tersebut sudah ada satu atau dua siswa yang duduk dan terlihat sedang belajar.
"Kak Alira," panggil salah seorang siswa kelas sepuluh.
Terlihat tidak asing di mata Alira. Dan hal tersebut membuat Alira mendekat ke arah siswa yang baru saja memanggilnya.
"Anak geografi tempatnya di sini, Kak" ujar siswa dengan nametag bertuliskan 'Viola'.
"Lo ikut kompetisi juga?" tanya Alira mulai duduk di bangku yang berdekatan dengan Viola.
"Disuruh ikut bimbingan juga, Kak. Buat persiapan kompetisi tahun depan. Pas aku udah kelas sebelas," jawab Viola menjelaskan dengan detail.
Alira mengangguk paham. "Setiap mapel, yang ikut cuma satu anak?"
"Kata Pak Rudi sih gitu, Kak. Padahal sebenarnya bisa ngirim lebih dari satu," ucap Viola.
"Soal Billa, lo tau kenapa dia nggak bisa ikut kompetisi?" tanya Alira.
Kemarin Pak Rudi tidak menjelaskan secara detail kenapa teman satu jurusannya yang paling pintar itu tidak dapat ikut lomba. Sejak kelas sepuluh Billa sudah diincar banyak guru untuk mengikuti perlombaan akademik.
"Kayaknya Kak Billa mau pindah sekolah, Kak. Orangtuanya ditugaskan di luar Jawa, jadi kemungkinan Kak Billa ikut pindah bareng mereka," Viola kembali menjawab kebingungan yang dirasakan Alira.
Sekolah pasti sangat menyayangkan kepindahan Billa. Ibarat mereka harus siap melepas aset berharga yang mereka miliki.
"Eh, lo pas ambil jurusan IPS dapat nomor satu di antara siswa lain?" Alira kembali bertanya.
Viola mengangguk pelan. Ia juga dipilih sebagai calon peserta kompetisi karena menduduki peringkat satu di jurusannya.
"Harusnya yang gantiin Billa itu anak yang dapat peringkat dua dong," kata Alira mulai curiga.
"Gue nggak masuk peringkat tiga besar di jurusan. Masih ada dua siswa yang seharusnya bisa gantiin Billa. Terus, kenapa gue yang dipilih sama sekolah?"
Tidak mungkin juga sekolah tidak mengetahui sapa saja siswa-siswa dengan otak cemerlang di setiap kelas atau jurusan. Alira memang termasuk siswa yang berhasil menarik perhatian guru karena keberhasilannya mempertahankan nilai di setiap semester. Katakanlah jika Alira juga masuk ke dalam golongan anak-anak pintar.
Tapi … masih ada siswa lain yang lebih pintar dari Alira. Seharusnya mereka yang lebih pintar dari Alira lah yang ikut lomba.
"Yang peringkat dua udah ikut ekonomi, Kak" kata Viola memberitahu pada Alira.
"Masih ada peringkat tiga. Gue di jurusan dapat peringkatnya lima."
"Kalau soal itu … kemarin aku sempet denger informasi kalau yang milih Kak Alira buat ikut lomba sebenarnya ….,"
Viola tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Bu Ratih sudah memasuki ruangan. Tidak lama setelah itu proses bimbingan pun dimulai. Dengan suasana khidmat dan tanpa ada keributan.
***
Dua jam berlalu …
Alira menghabiskan es teh pesanannya dalam sekali minum. Sumpah! Dua jam untuk bimbingan olimpiade rasanya seperti sedang belajar selama sehari semalam. Materi yang terdengar asing membuat Alira membutuhkan sedikit lebih banyak waktu untuk memahaminya.
"Baru sehari aja gue udah stress gini. Apalagi kalau sampai berbulan-bulan?" Alira bertanya pada dirinya sendiri.
Sekarang Alira masih semester satu. Dan kompetisinya akan dilangsungkan di pertengahan semester dua. Otomatis Alira akan mengikuti bimbingan selama satu semester.
"Kalo bukan karena gratisan SPP, kayaknya gue nggak bakal mau ikut beginian," sambung Alira.
Ia terlihat menuangkan air minum ke dalam gelas yang masih ada es batunya, lalu kembali meminumnya setelah air mulai dingin.
"Nggak balik ke kelas?"
Alira hampir memuntahkan air minumnya saat Leo tiba-tiba datang dan duduk di hadapannya.
"Kata Pak Rudi buat anak-anak yang ikut bimbingan udah bebas pelajaran sampai istirahat pertama," jawab Alira, pada intinya ia memang tidak ingin kembali ke kelas.
"Gimana?" tanya Leo membuat Alira mengernyit. "Rasanya jadi anak pintar."
Alira terkekeh pelan mendengarnya. "Biasa aja. Lagian juga kalian-kalian yang ada di aula tadi, jauh lebih pintar daripada gue."
"Lo juga pinter, Al. Jangan biasakan merendah kayak gitu," sahut Leo.
"Bukannya ngerendah. Tapi berusaha buat lebih sadar diri," kata Alira menambahi.
"Lo hebat, Alira. Sama halnya kayak mereka-mereka," Leo kembali berujar dengan wajah serius.
"Makasih buat pujiannya," Alira tersenyum lebar. "Lo sendiri, kenapa nggak balik ke kelas?"
"Jam kosong," jawab Leo.
"Oooh."
"Lo apa enggak pusing tiap hari belajar itung-itungan?" tanya Alira.
"Enggak pusing. Soalnya gue suka," jawab Leo.
"Manteb banget," Alira mengacungkan kedua jempolnya.
"Kalo gue jadi lo, udah meledak dari dulu-dulu nih otak," imbuh Alira.
"Matematika nggak sesulit itu, Al" kata Leo sambil tersenyum. "Bakalan seru kalo kita happy ngerjainnya."
"Otak gue nggak sebening otak lo. Udah banyak pencemarannya," ujar Alira membuat Leo terkekeh.
"Gue ajarin mau?"
"Ajarin apa?"
"Cara biar lebih mudah belajar matematika."
"Serius mau ngajarin gue?" tanya Alira memastikan.
"Sumpah ya. Gue baru bisa ngerjain matematika kalo belajar semalam suntuk. Kalo nggak gitu, nggak bakal deh bisa ngerjain ulangan."
Leo tersenyum. "Makanya, gue ajarin cara yang lebih simpel buat belajar matematika. Mau nggak?"
"Mau mau!" sahut Alira antusias. "Lo ada waktu luang hari apa buat ngajarin gue?"
"Everytime," jawab Leo. "Tinggal lo bisanya kapan, gue siap ngajarin setiap saat."
Alira semakin senang mendengar jawaban Leo. Begitu juga dengan yang dirasakan Leo. Mengajari Alira sama halnya dengan ia mendapatkan kesempatan untuk selangkah lebih dekat dengan perempuan yang ia suka.
***
27102021 (09.36 WIB)