Kringggg!
Bel tanda pembelajaran selesai berbunyi. Suara gaduh terdengar hampir di setiap kelasnya. Termasuk di kelas yang dihuni oleh Alira.
"Oke, Ibu cukupkan sekian. Jangan lupa kerjakan PR halaman dua puluh lima di buku tulis. Selamat siang," ujar ibu guru yang mengampu pelajaran sejarah.
"Siang Buuuu," jawab murid-murid serempak.
"Yang piket jangan pulang dulu!" teriak salah satu teman sekelas Alira yang menjabat sebagai sekretaris kelas.
"Bondan jangan kabur lo!" sekretaris kelas tadi tampak menarik kerah seragam Bondan untuk kembali ke kelas.
"Denda sepuluh ribu berlaku untuk siapa saja yang tidak melakukan piket!"
Yah, memang kalau dipikir-pikir Kirana yang menjabat sebagai sekretaris kelas lebih tegas daripada Bondan. Alira pun merasakan hal tersebut. Hanya saja, Kirana tidak mau menjadi ketua kelas saat ditunjuk oleh teman-temannya.
"Gue pulang duluan boleh, Al? Ada sodara gue baru pulang dari Surabaya," kata Gea yang sudah mengalungkan tas ranselnya.
"Iya santai aja loh. Lo hati-hati ya pulangnya," jawab Alira dibalas anggukan kepala oleh Gea.
Setelah itu, Alira mulai melaksanakan tugas piketnya. Karena hari ini memang jadwal Alira untuk piket. Naasnya Alira piket bersama para pentolan kelasnya yang nakalnya minta ampun.
Alira kemudian berjalan ke depan kelasnya untuk menghapus tulisan di papan tulis. Selesai itu, Alira akan menyapu kelasnya secara keseluruhan. Jika menunggu Bondan dan yang lain sadar, tugas piketnya tidak akan selesai-selesai.
Sambil menyapu, Alira memikirkan naskah novel yang baru saja ia tulis semalam. Karena sudah selesai membuat plot dan yang lain, Alira mulai menyusun bab pertama di novel tersebut. Awalnya memang sulit karena Alira bukan anak pesantren yang tau seluk beluk kehidupan di pesantren. Tapi setelah Alira membaca beberapa buku, sedikit demi sedikit Alira mulai paham dengan apa yang seharusnya ia tulis dalam cerita tersebut.
"Alira," panggil Kirana sambil mendekati Alira.
"Ada apa, Na?" tanya Alira.
"Kalo udah kelar nyapu, lo langsung pulang aja nggak papa," kata Kirana.
"Loh, tapi belum dipel sama belum bersihin jendela," sahut Alira.
Kirana kemudian menunjuk ke arah Bondan dan ketiga temannya. "Biar mereka yang ngerjain. Kalo semuanya lo yang ngerjain, mereka cuma jadi boneka doang di sini."
Alira mengangguk paham. Ia pun segera menyelesaikan tugasnya menyapu kelas. Selesai dari tugas, Alira meraih tas ranselnya lalu berpamitan pada Kirana dan ia mulai berjalan keluar kelas.
Sesekali Alira meregangkan tubuhnya yang terasa lelah. Karena mamanya belum pulang, otomatis seluruh pekerjaan rumah dilimpahkan pada Alira. Mulai dari menyapu rumah dan halaman, memasak, mencuci piring dan baju. Semua pekerjaan itu harus Alira selesaikan sebelum ia berangkat sekolah.
"Mereka belum pulang," kata Alira sambil menatap tiga motor sport yang berada di parkiran.
"Pada betah banget main di sekolah. Enakan juga di rumah bisa sambil rebahan," ujar Alira yang kini sudah menaiki motornya.
Tidak lama setelah itu Alira menjalankan motornya keluar area sekolah. Saat bertemu dengan bapak satpam, Alira menundukkan kepalanya untuk memberi salam. Hal itu sudah biasa Alira lakukan sejak ia pertama kali sekolah. Mama Alira yang mengajarkannya pada Alira.
Melihat cuaca di luar yang begitu panas, Alira memutuskan untuk mampir ke salah satu penjual es buah langganannya. Tapi sebelum itu, Alira akan pergi ke pom bensin untuk memberikan makanan pada motor kesayangannya. Kenapa kesayangan? Karena Alira membeli motor ini dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Alira membayarnya dengan dicicil, karena waktu itu uang Alira belum cukup untuk melunasinya. Tapi sekarang, motor tersebut sudah menjadi milik Alira sepenuhnya setelah ia berhasil melunasinya tiga bulan yang lalu.
Dulu saat membeli motor ini, Alira barusaja memenangkan lomba pembuatan poster. Karena hadiah yang Alira dapatkan cukup besar, Alira meminta ijin pada mamanya untuk membeli motor. Setelah sekian lama Alira pikirkan, akan lebih irit jika ia menggunakan motor sendiri saat berangkat sekolah.
"Sampai juga di sini," Alira menghentikan motornya di depan penjual es buah. Melepas helm yang ia pakai kemudian turun dari atas motornya.
"Es buah satu, Bu" kata Alira pada penjual es buah.
"Yang biasa, kan, Neng?" tanya ibu penjual es buah.
"Yoi, Bu" jawab Alira tersenyum lebar.
Sambil menunggu es buahnya jadi, Alira duduk di salah satu kursi yang berada di bawah pohon karsen. Tepat di sebelah Alira duduk, ada satu cowok yang tampaknya tidak asing di mata Alira.
"Leo?" Alira bersuara pelan. Takut-takut jika ia salah mengenali orang.
Saat cowok tersebut menoleh, Alira bernapas lega karena ia tidak salah memanggil orang.
"Lo ngapain di sini, Yo?" tanya Alira dengan satu alis terangkat.
Leo memperlihatkan semangkuk es buah yang sedang ia santap. "Minum es buah."
Alira terlihat melongo. Benar juga ya. Datang ke penjual es buah tentu saja karena ingin membeli es buah.
"Sendirian?" tanya Leo yang sudah beralih menatap Alira.
"Iya. Lo sendiri gimana? Sendirian juga?" Alira balik bertanya.
Leo mengangguk. "Penginnya berdua, tapi yang diajak berduaan belum mau."
"Maksudnya? Lo habis ngajak cewek tapi ceweknya nggak mau? Atau gimana?" tanya Alira belum paham dengan ucapan Leo.
Mendengar pertanyaan Alira membuat Leo tersenyum. Alira benar-benar belum mengerti akan maksud ucapannya, atau hanya sebatas pura-pura tidak tahu? Apapun itu alasannya, tidak akan dibuat pusing oleh Leo.
"Nggak ada. Gue emang pengin sendirian di sini," jawab Leo.
"Jadi, gue ganggu ya kalo duduk di sini?" tanya Alira karena yang sekarang duduk di sebelah Leo hanya dirinya.
"Enggak lah. Kenapa lo tanya gitu?"
"Barusan lo sendiri yang bilang kalo mau sendirian," sahut Alira.
"Sendirian ke sininya, Al" ujar Leo menjelaskan.
"Ohh gitu," gumam Alira.
Kadang Leo suka heran dengan sikap Alira. Apa yang Alira lakukan di dunia nyata sangat jauh berbeda dengan yang Alira tuliskan di dunia khayalannya. Yang Alira tulis di ceritanya, belum tentu Alira lakukan di kehidupannya yang nyata.
Alira terlihat ahli sekali dalam hubungan asmara ketika ia sedang menulis cerita. Tapi di kehidupan nyata? Alira justru sangat menghindari akan hal semacam itu.
"Buruan dihabisin esnya. Kalo udah dingin jadi nggak enak," ucap Alira pada Leo sambil melirik mangkuk es yang tinggal menyisakan lima potong buah di dalamnya.
"Es pesenan lo belum jadi?" Leo kembali menyantap es miliknya sesuai dengan ucapan Alira.
"Punya gue dibungkus," jawab Alira.
Mereka berdua pun terdiam setelahnya. Baru setelah pesanan Alira siap, baik Alira maupun Leo sama-sama berdiri dan mendekati ibu penjual es buah.
"Maaf pake uang receh, Bu" kata Alira sambil menyerahkan lima lembar uang dua ribuan.
"Nggak papa atuh, Neng. Malah seneng sayanya," ibu penjual es tadi tempak tersenyum.
"Punya saya tadi satu, Bu" Leo menyerahkan selembar uang seratus ribu pada ibu penjual es.
"Waduh, kembaliannya belum ada, Mas. Yang kecil saja ada?" tanya ibu penjual es.
Leo menggeleng pelan. Dan Alira sudah menebak jika orang seperti Leo pasti tidak banyak memiliki uang receh.
"Ini, Bu" Alira memberikan selembar uang sepuluh ribu pada ibu penjual es.
"Lunas ya Bu punya temen saya," kata Alira sambil melirik ke arah Leo.
"Lunas, Neng. Terimakasih," ucap ibu penjual es sambil tersenyum.
"Oke, Ibu. Makasih juga buat esnya," Alira balas tersenyum kemudian berjalan ke arah motornya.
Saat Alira baru saja akan menyalakan mesin motornya, Leo menghentikannya dengan berdiri di depan motor Alira.
"Ada apa?" tanya Alira to the point.
"Soal uang tadi ….," Leo menggantungkan ucapannya.
"Udah nggak papa. Gausah dikembaliin. Anggap aja gue gantian traktir lo. Kan, tadi lo udah kasih gue bolu, terus kemarin udah kasih gue pisang goreng," papar Alira sebelum Leo menyelesaikan ucapannya.
"Udah, kan? Gue balik dulu ya. Permisi," Alira sedikit membelokkan setang motornya.
Leo yang melihatnya hanya bisa menghela napas panjang. Alira, gadis tersebut masih sama seperti saat pertama kali Leo mengenalnya. Bahkan setelah Leo berusaha mendekatinya, Alira tidak juga berubah. Masih dengan Alira yang ceria namun anti menjalin hubungan asmara.
***
09102021 (07.24 WIB)