Kiara terus berjalan memasuki halaman sekolah. Di dalam hatinya sangat kesal, ingin rasanya berteriak untuk menghilangkan kekesalannya. Sampai di depan pintu kelas, Kiara langsung mengetuk pintu. Guru yang di dalam sedang mengajar, langsung menyuruhnya duduk.
"Kiara. Ibu sudah di beri tahu, kamu akan terlambat masuk kelas karena menolong orang ke Rumah Sakit. Sekarang kerjakan tugasnya, tanya ke teman kamu yang lain."
"Iya Bu," jawab Kiara yang langsung mengeluarkan buku pelajarannya.
Tidak lama kemudian terdengar suara bel tanda istirahat berbunyi. Semua murid terlihat senang, mereka dengan cepat membereskan bukunya dan berlomba ke luar dari kelas setelah Guru mereka lebih dulu meninggalkan kelas.
"Silvi," panggil Kiara yang duduk disampingnya.
"Apa?" jawab Silvi yang sedang sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya. "O ya, kamu belum cerita padaku, kenapa terlambat masuk kelas?"
"Aku tadi pagi waktu berangkat ke Sekolah, di jalan melihat anak yang tertabrak," jawab Kiara.
"Terus?" tanya Silvi penasaran.
"Aku bantu sampai ke Rumah Sakit. Tidak sendirian, ada orang lain yang membantunya juga." Kiara terdiam, teringat kembali pertemuannya dengan Leo di Rumah Sakit.
"Terus?" tanya Silvi penasaran.
Lama Kiara terdiam. Silvi melihat Kiara yang hanya terdiam mematung, menyenggolnya dengan tangan. "Halo! Kiara Larasati. Masih hidup atau sudah mati?!" Silvi berteriak ditelinganya Kiara.
Kiara yang terdiam langsung kaget. "Silvi, mau bunuh aku ya. Kenapa berteriak?!"
"Syukurlah, ternyata masih hidup. Kamu di ajak ngobrol malah melamun. Terusin dong ceritanya."
"Malas. Aku jadi teringat cowok gila itu. Darahku langsung naik kalau ingat dia!" sewot Kiara.
"Hah, cowok siapa? Kamu selingkuh?!" tanya Silvi dengan suara yang agak keras.
"Silvi! kecilkan suaramu, tidak enak di dengar yang lain, disangkanya benar." Kiara menutup bibir Silvi dengan tangannya.
Silvi memegang tangan Kiara, minta di lepas dari bibirnya dengan kepala yang manggut-manggut.
"Tangan kamu bau Kiara, sembarangan pegang bibir aku." Silvi langsung membersihkan bibirnya dengan tisu yang di ambil dari tasnya.
Kiara tertawa kecil. "Tentu saja bau, kamu tahu apa yang aku pegang tadi?"
"Apa?!" tanya Silvi cepat.
"Yang bau-bau itu --- ," Kiara menggantungkan ucapannya untuk menggoda Silvi.
"Apa Kiara?!" tanya Silvi kesal.
"Ha ... ha ... ha ... Pikir sendiri, menurut kamu yang bau itu apa?" Kiara semakin bersemangat menggoda sahabatnya.
"Kiara. Dasar teman tidak berperikemanusiaan." Silvi mengacak-acak rambutnya Kiara.
Kiara tertawa terbahak-bahak melihat wajah Silvi yang merengut kesal.
"Ampun. Sudah, sudah." Kiara mencoba menghindar dari tangannya Silvi yang terus mengacak-acak rambutnya. "Kalau tidak berhenti, aku kasih yang lebih bau lagi. Mau?" ancam Kiara menahan tawanya.
"Nggak, jijik. Baunya kebangetan, apa sih itu?!" tanya Silvi merengut.
"Rahasia," Kiara jawab sambil mengedipkan matanya sebelah ke Silvi.
"Jorok, anak perawan tangannya bau terasi. Untung cantik, coba kalau jelek. Nggak laku tahu?" omel Silvi yang masih kesal. "Nih, bersihin tanganmu pakai tisu. Jorok."
"Terima kasih, sahabatku. Silviawati yang cantiknya sejagat raya anaknya Bapak Burhan," kata Kiara tersenyum lebar menggoda sahabatnya.
Di saat mereka sedang asyik bercanda, ada seseorang yang memanggil Kiara. "Kiara, ternyata kamu di sini. Tidak ke kantin?" tanya seseorang yang sudah berdiri di samping Kiara.
"Bagas. Ngagetin saja, aku kira siapa." Kiara menoleh ke samping.
"Tidak ke kantin?" tanya Bagas ulang.
"Malas, aku cape," jawab Kiara.
"Tadi pagi kamu ke mana?" Bagas menggeser kursi untuk bisa duduk di sebelah Kiara. "Aku mencari kamu."
"Aku dari Rumah Sakit, menolong orang yang tertabrak di jalan"
"Hebat, aku bangga jadi pacarmu. Sudah cantik hati kamu baik lagi, berjiwa sosial yang tinggi," puji Bagas merangkul Kiara dari samping.
Silvi yang dari tadi merasa tidak dipedulikan, akhirnya buka suara. "Ingat, di sini ada orang. Jangan sembarangan peluk-peluk anak gadis orang."
Kiara dan Bagas hanya tersenyum menanggapi ucapan Silvi.
"Besok malam, kamu ada acara tidak?" tanya Bagas ke Kiara.
"Tidak, memangnya kenapa?"
"Keluargaku di undang ke acara perusahaan, tempat Papaku bekerja. Aku ingin mengajakmu ikut."
"Orang tuamu mengijinkan tidak?" tanya Kiara melihat ke Bagas.
Bagas tersenyum. "Tentu saja. Kamu calon menantu mereka yang cantik, pasti mereka mengijinkan. Ikut ya?"
Kiara terdiam tidak menjawab. Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan.
"Kenapa diam saja?" tanya Bagas bingung.
"Aku --- ," Kiara menggantungkan ucapannya.
"Kenapa?" tanya Bagas. "Jangan takut katakan saja."
"Aku tidak punya baju untuk pergi ke acara seperti itu," jawab Kiara pelan sambil menunduk.
Silvi yang tadi cuma terdiam, tiba-tiba saja tertawa. "Ha ... ha ... ha ... aku kira masalah apa, ternyata cuma baju. Tenang Kiara, apa gunanya ada aku sebagai sahabatmu kalau tidak bisa menyelesaikan masalah sepele seperti itu."
"Nanti aku akan membelikan kamu baju. Tenang saja. Tugasmu cuma mendampingi aku di acara itu. Ikut ya?" Bagas meraih jemari tangan Kiara dan mengusapnya lembut.
"Iya, aku ikut," jawab Kiara tersenyum manis.
Silvi ikut tersenyum melihat Kiara mau ikut, dalam khayalannya dia akan make over Kiara menjadi putri tercantik sejagat raya.
"Ok, masalah sudah selesai. Aku kembali ke kelas, sebentar lagi jam istirahat habis." Bagas berdiri dari duduknya, berjalan ke luar menuju ke kelasnya.
....
Di tempat lain, di dalam ruangan yang cukup besar. Nampak orang-orang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ruangan yang di tata apik bernuansa putih dengan hiasan bunga-bunga yang cantik di setiap sudut , meja-meja yang di hias sedemikian rupa menandakan akan ada pesta di ruangan itu.
Di tengah-tengah ruangan, nampak seorang pria tampan sedang melihat-lihat. Sekali-kali dia menyuruh orang untuk membetulkan letak bunga yang di rasa kurang pas.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Ponsel yang berada disaku celananya bergetar. Dilihatnya nama yang tertera di layar. "Hallo, Leo. Aku sedang memeriksa persiapan untuk acara besok, semuanya sudah siap. Ok." Pria tersebut kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana panjangnya.
"Pak Bayu, apa ada yang kurang?" tanya seseorang dari samping.
Bayu menoleh. "Tidak. Semuanya bagus. Kurasa Presdir kita akan puas. Hasilnya tergantung besok."
"Semoga sampai acara selesai, tidak terjadi apa-apa." jawab orang tersebut.
"Ok, aku masih ada urusan di luar. Aku percayakan semuanya kepada kamu, atur dengan benar. Jangan sampai terlewat sedikit pun kekurangannya. Kalau ada masalah, segera hubungi aku," kata Bayu.
"Baik, Pak Bayu. Terima kasih. Bapak bisa mengandalkan aku," jawab orang itu.
"Aku tinggal dulu, Pak Yopi." Bayu pamit dan segera berlalu dari tempat itu.
.....
Di lingkungan Sekolah, Silvi sedang berusaha membujuk Kiara agar mau di make over olehnya untuk acara besok.
"Kiara, please. Mau ya," Silvi memohon dengan muka memelas.
"Nggak, nanti muka aku jadi mirip badut kalau kamu yang make over. Bagas yang akan membawaku ke Salon langganan Ibunya dan membelikan aku baju." Kiara terdiam sebentar. "Tetapi aku juga takut, bagaimana kalau nanti di sana aku membuat malu orang tua Bagas."
"Belum apa-apa sudah takut, bagaimana sih kamu ini. Mundur sebelum maju, kalah sebelum berperang," kata Silvi.
"Takut kan wajar, namanya juga manusia. Apalagi ini pertama kalinya buat aku," jawab Kiara. "Di sana pasti banyak orang dari kalangan atas yang hadir. Aku jadi takut, ikut atau tidak?"
Silvi terdiam memandang wajah Kiara. Ada rasa khawatir di dirinya. Memang benar, acara seperti itu baru pertama kalinya buat Kiara. Bagaimana kalau terjadi sesuatu di sana. Silvi ikut merasakan apa yang Kiara rasakan.
Jangan lupa tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter