Isak tangis kembali terdengar di rumah keluarga Bunarko Sugandi. Gara-gara Kimnar menghilang, May langsung kembali menangis seharian. Ibarat luka lama belum sembuh, namun harus ditambah dengan luka yang baru.
Wega terus berusaha untuk menguatkan May, namun sangat sulit bagi perempuan yang memiliki tahi lalat di bawah mata kananya itu untuk menerima semuanya dengan lapang dada.
"Apa salahku, Ga?" tanyanya di sela tangisan. "Kenapa aku harus merasakan sakit yang teramat dalam seperti ini?" Bulir-bulir air mata terus saja meluncur. "Padahal makan Sinnar aja masih basah, tapi Kimnar juga ikut menghilang."
"Sabar, May. Semoga aja ada yang bisa menemukan keberadaan Kimnar," ucapnya seraya mengusap-usap bahu May. "Kamu harus yakin kalau Kimnar sekarang sedang baik-baik saja. Mungkin Kimnar hanya pergi sebentar kaya waktu itu."
Ketika waktu sudah menujukkan pukul 5 lewat 30 menit, dengan berat hati Wega harus pulang. Ia berjanji pada May akan segera memberi kabar jika Kimnar sudah ketemu.
Setelah Kimnar dicari di area rumah dan kompleks tapi tidak juga ditemukan, Wega segera membuat story di media sosialnya tentang berita hilangnya Kimnar. Berharap ada yang berbaik hati untuk mengembalikkan Kimnar pada May.
May duduk di lantai dengan melipatkan kedua tangan di atas meja pendek yang ada di ruang tv. Matanya fokus tertuju pada layar ponsel yang menapilkan foto-foto Kimnar dan Sinnar yang ia edit menjadi video dengan durasi setengah jam.
"Sayang, makan dulu." Tika meletakkan sepiring nasi goreng dengan taburan petai di atasnya. Harusnya ini mampu menarik perhatian anaknya, mengingat May sangat suka nasi goreng campur petai.
Namun, sepertinya Tika harus menelan pil kecewa karena hal itu sama sekali tak mengusik kesedihan anaknya. May masih saja fokus mengamati foto-foto Kimnar dan Sinnar yang terus berganti tiap dua detik.
"Assalamualikum, semua!" sapa Arko yang baru pulang dengan senyum terkembang. "May, Ayah ada kabar gembira!"
Sontak saja Maya langsung menoleh ke arah ayahnya. "Wa'alaikumussalam. Kabar apa, Yah? Apa Kimnar suda ketemu?" tanyanya penuh antusias.
"Sudah," jawab Arko diiringi anggukan.
May langsung beringsut dari tempat duduknya untuk menghampiri sang ayah. "Di mana, Yah? Di mana?" Mata May celingukan mencari keberadaan kucing satu-satunya.
"Tapi ada syaratnya!"
"Apapun itu pasti May penuhi kok, asal May bisa cepat bertemu dengan Kimnar," jawabnya cepat.
"Besok kamu harus temui calon suamimu, maka Ayah akan berikan Kimnar padamu."
"Iya--- eh, apa?" pekik May tak terima. Mana mau ia bertemu dengan calon suaminya. Dirinya saja belum berkeinginan menikah. "May nggak mau," tolaknya mentah-mentah.
"Baiklah, kalau begitu Kimnar bisa Ayah kasih sama---"
"Tidak!" sela May. "Selamanya May nggak rela kalau Kimanar akan diberikan sama orang lain. Kimnar hanya untuk May. May udah sayang Kimnar!" ucapnya tegas.
"Pilihan ada ditanganmu, Mayda. Kalau kamu mau bertemu dengan Kimnar, kamu harus menuruti permintaan Ayah," ucap Arko lalu berlalu menuju kamarnya.
"Bunda ...," rengek May pada Tika, "May nggak mau menikah sama lelaki pillihan Ayah. May masih mau sendiri."
"Sayang, kamu sudah dewasa. Silahkan ambil keputusan yang menurutmu terbaik, Nak!"
Usai mengucapkan itu, Tika juga ikut pergi menyusul Arko ke kamar. Menyisakan May sendiri yang harus berani mengambil keputusan. Bagaimanapun kucing lebih penting daripada calon suaminya.
Ia berdiri lalu mengetuk pintu kamar orang tuanya. Karena tak ada jawaban, May memilih untuk langsung mengutarakan maksudnya.
"Yah, May mau ketemu sama anak teman Ayah besok."
Setelahnya May mengambil ponselnya di atas meja, lalu masuk ke kamar. Ia harus menenangkan pikirannya. Ia harus berkorban demi Kimnar. Ia tak ingin almarhum Sinnar membencinya jika sampai tahu kalau saudaranya ia abaikan.
Getar ponsel menjalar ke telapak tangan, membuat sang pemilik mengintip penyebab ponselnya bergetar.
Decakan kesal lolos dari bibirnya. "Ternyata cuma peringatan memori penuh," ucapnya sebelum netranya menemukan sesuatu yang asing. "Loh! Ini ...."
***
Mundur beberapa saat, di tempat lain. Siluet lelaki yang tengah memeluk bingkai foto itu terlihat gusar. Beberapa kali ia terdiam, namun kemudian ia mengacak-acak rambutnya frustasi, hingga kursi yang ia duduki sedikit berderit.
"Ma ... apa Galaksi harus menuruti permintaan Papa?" lirihnya dengan nada yang berat.
Ia menarik foto tersebut dari pelukannya, lalu memandangi sebuah figur cantik dengan kedua anak laki-laki yang tengah memeluknya. Jujur saja, ia amat rindu dengan sosok mama yang telah berjasa agar ia bisa lahir ke dunia.
"Kalau Mama masih ada, apa Mama juga bakal setuju kalau Galaksi menikah?" Jeda beberapa detik. "Tapi Galaksi kan masih kuliah, masa disuruh nikah sih? Kalau Galaksi gagal jadi suami yang baik gimana, dong? Walau pernikahannya dikontrak, tetap saja tanggungan anak temen Papa itu aku yang harus menanggungnya," monolognya pada sosok figur itu.
Lelah berbicara sendiri, ia kembali meletakkan foto itu di meja belajar yang ada di depannya, tepat di bawah cahaya lampu belajar yang ia nyalakan sedari tadi.
Kakinya beranjak dari kursi untuk menyalakan lampu kamar. Ketika lampu menyala, terlihatlah nuansa kamar yang seperti ruang angkasa. Susunan tata surya di galaksi Milky Way tergantung di langit-langit kamar, ditambah tempelan bintang-bintang menghias plafon, menjadikannya lebih terasa seperti di luar angkasa.
Netranya melirik jam berbentuk bulan yang dipasang di atas pintu kamar, dimana jam sudah menujukkan pukul 8 malam.
Lelaki berkulit sawo matang tersebut harus segera menentukan pilihannya dengan baik. Ia terdiam sesaat dalam posisi berdiri, memikirkan pilihan yang sudah ia tetapkan akan ia lanjutkan atau tidak.
Di sinilah ia sekarang berdiri, di depan sebuah pintu bercat cokelat, dengan ukiran rumit yang Galaksi sendiri pun tak tahu namanya. Ia menghela napas sesaat sebelum akhirnya punggung tangan yang terkepal ia ketukkan ke pintu tersebut.
Tok! Tok! Tok!
"Pa ... ini Galaksi. Boleh masuk?"
Tak ada suara yang menyahut, jelas-jelas lelaki dengan lesung pipi itu tahu kalau papanya sudah pulang. Ingin langsung masuk pun ia tak berani, apalagi semenjak kejadian semalam.
"Pa ... Galaksi pengen ngomong sama, Papa."
Hening masih menguasai.
"Iya, Galaksi mau kok dijodohin sama anak temennya Papa."
Suara langkah kaki yang buru-buru terdengar jelas dari dalam ruangan, mengingat jika rumah keluarga Watristanto memang cukup sepi.
Pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tengah berdiri tegap dengan lengkung senyum yang terpatri jelas di wajahnya. Sepersekian detik berikutnya Galaksi dibuat terkejut karena pelukan yang datang secara tiba-tiba.
"Terimakasih karena sudah mau menuruti permintaan Papamu ini, Nak," ucapnya lalu mengurai pelukan.
Galaksi hanya bisa mengangguk sembari tersenyum, sejujurnya ia tak menduga jika papanya bisa sebahagia ini hanya karena dirinya menyetujui untuk menikah dengan perempuan pilihan kepala keluarganya itu.
"Ah, sejujurnya Papa sedang sibuk. Papa harus kembali ke ruangan kerja. Nanti Papa kirim nomor calon kamu, langsung aja ajak ketemuan, ya!" Jedi menepuk pelan pundak sang anak lalu kembali masuk ke ruang kerjanya.
"Ck, maniak kerja," decak Galaksi pelan. "Tunggu ... apa tadi? Calon?" tanyanya pada diri sendiri saat ingat pesan papanya untuk mengirim pesan pada calonnya. Spontan ia bergidik ngeri.
Cahaya temaram dari 2 buah lampu tidur berbentuk planet Uranus dan Jupiter, di kedua sisi kasur, menemani sebuah cahaya dari layar ponsel lelaki yang tengah bersandar di kepala ranjang. Netranya hanya tertuju pada ruang pesan yang masih kosong dengan nama "Maydarika" di sudut kiri atas ponselnya.
Ia tak tahu harus bagaimana mengirim chat pada nomor perempuan asing itu, tapi sebuah ide brilian terbit di otaknya.
Ia mengetikkan beberapa kata untuk menjadi beberapa kalimat, ketika sudah merasa cocok, jari jempolnya langsung menekan ikon berlogo pesawat kertas.
Senyum terkembang seusainya, ia berharap apa yang ia rencanakan akan berjalan lancar.