~selamat membaca~
Hari yang ditunggu-tunggu sama para siswa di sekolah yayasan milik ayahnya Lukman, akhirnya datang juga. Yaitu hari dimana akan diadakan pertandingan perpisahan antara kelas dua belas melawan team bintang sekolah. Meskipun sekolah sengaja diliburkan, tapi tetap saja, sebagian besar murid-murid tetap datang ke sekolah. Mereka tidak mau melewatkan kesempatan, melihat para bintang sekolah, bertanding dengan para mantan bintang sekolah.
Suasana lapangan basket sudah dibanjiri para murid-murid sekarang. Mereka sudah sangat tidak sabar menunggu pertandingan dimulai.
Para bintang sekolah minus Pandu, sudah siap dengan seragam basketnya masing-masing. Meskipun Aldo hanya sebagai pemain cadangan, ia juga sudah memakai serangamnya sendiri.
Tidak ada yang tidak ganteng, Aden, Lukman dan semuanya terlihat sangat seksi dengan memakai kaos basket tanpa lengan.
Sebenarnya banyak diantara mereka para penonton yang tidak suka dengan basket. Mereka cuma ingin melihat tubuh para bintang yang dibasahi oleh keringat.
Seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya, bahwa pertandingan perpisahan itu akan diliput oleh wartawan dari media cetak, atau tabloid dan majalah remaja.
Saat ini kedua team basket yang akan bertanding, sedang di foto-foto oleh wartawan. Ayahnya Lukman sebagai pemilik yayasan juga ikut hadir meramaikan acara pertandingan tersebut.
Setelah melakukan sesi foto-foto, kedua wartawan dari media cetak yang berbeda, sedang melakukan wawancara kepada masing-masing team.
Selesai dengan urusan wawancara, Aden dan teman-temannya nya berkumpul di tepi lapangan untuk melakukan pemanasan sebelum pertandingan dimulai.
"Semangat Den," ucap Lukman sambil melakukan pemanasan pasif, untuk merenggangkan otot-otot dan persendiannya. "Walapun bukan kompetisi, tapi harus serius."
Sejak pertama datang ke sekolah sampai pertandingan akan dimulai, wajah Aden terlihat tidak bersemangat. Sebagai sahabat, Lukman memperhatikan raut wajah Aden yang terlihat lesu.
"Hari ini kan jadwal Pandu chek up, Pandu juga pernah bilang, katanya kalo hasil pendonor ginjal itu bebas dari rokok, Pandu bisa langsung operasi," jelas Aden, ia juga sedang melakukan pemanasan kecil, menggoyangkan telapak kaki, sambil berkacak pinggang. "Aku kepikiran, mudah-mudahan Pandu mau terapi." Ujar Aden.
Lukman dan Aldo menghentikan aktifitas pemanasannya. Keduanya menatap teduh wajah Aden. Mereka bisa melihat jika Aden benar-benar khawatir.
"Apalagi kemaren-kemaren Pandu enggak sekolah, dia masih rutin minum obat enggak ya?" Lanjut Aden.
Aldo dan Lukman menghela napas secara bersamaan. Sebagai sahabat tentu saja mereka juga kepikiran sama keadaan Pandu.
"Udah nggak usah khawatir, nanti selesai tandingan kita temui Pandu." Usul Aldo sambil menepuk pelan pundak Aden.
"Iya, nanti kita bantu jelasin sama Pandu." Imbuh Lukman.
Aden tersenyum simpul sambil menatap Aldo dan Lukman secara bergantian. "Makasih ya," ucap Aden.
Aldo, Lukman dan yang lainnya memang sudah tidak marah atau kecewa lagi sama Aden. Saat beberapa hari Pandu tidak masuk sekolah, Aden terpaksa harus menceritakan tentang semuanya kepada mereka. Mulai dari ia diselamatakan dari jeratan tante Inggrid, sampai ia kemudian bekerjasama dengan ibu Veronica untuk menjadi pacar bohongannya Pandu, hingga akhirnya ia benar-benar sayang kepada Pandu. Termasuk soal Nina juga ia ceritakan. Bahkan Aden berani bersumpah jika dirinya benar-benar tidak menyukai Nina. Tentang ciuman itu, Aden sedang tidak fokus, sehingga Aden tidak sempat menghindar.
Aden bercerita dengan sungguh-sungguh, wajahnya juga terlihat sangat tulus. Bahkan Aden sempat menitikan air mata saat itu. Sehingga Lukman dan yang lainnya sangat yakin dengan kata-kata Aden.
"Yaudah pokoknya semangat ya, buktiin kalo anak kelas dua belas nggak bisa ngalahin kita." Ucap Aldo.
Aden hanya tersenyum simpul, tapi tetap saja hatinya masih belum tenang. Ia benar-benar gelisah.
"Kak...!"
"Bentar ya," Lukman meninggalkan Aldo dan Aden, ia berjalan ke arah kursi panjang di tepi lapangan dimana sudah ada Tristant yang memanggilnya barusan. Ada Jonathan yang baru saja selesai pemanasan sedang duduk satu kursi bersama Tristant.
Sedangkan Aden dan Aldo melanjutkan melakukan pemanasan. Sementara Roby dan Alex, mereka sedang naris, eksis di depan para penonton cewek-cewek.
"Apaan?" Tanya Lukman setelah ia sudah berdiri tepat di hadapan Tristant yang sedang duduk.
"Tuh... minum," titah Tristant sambil menunjuk sebotol air mineral yang ia taruh di kursi. Di tengah-tengah antara ia dan Jonathan.
Lukman mendengkus sambil memutar bola matanya, lalu ia membungkuk mendekatkan wajahnya di telinga Tristant seraya berkata, "kenapa lu nggak mau nganter ke gue kayak yang di film-film itu?"
"Lu udah gila ya kak? Biar apa coba? Biar semua pada curiga kalo kita sepasang kekasih? Gitu?" Ujar Tristant.
Lukman terdiam, memikirkan kata-kata Tristant barusan, ternyata Tristant ada benarnya juga. Pikir Lukman. Kemudian ia tersenyum nyengir memamerkan deretan giginya yang putih terawat. "Oh iya ya..." ucapnya.
Sementara Jonathan hanya diam saja melihat tingkah sahabatnya itu. Entah apa yang ia pikirkan.
Lukman mengambil botol berisi air mineral yang diperuntukan untuk dirinya dari Tristant. Memutar tutup botol lalu meneguk nya di hadapan Tristant.
Melihat pacarnya yang seksi saat sedang minum. Bola mata Tristant tidak berkedip, ia juga ikutan meneguk, tapi bukan air minum, melainkan ludahnya sendiri. Entahlah, meski sudah tidak terhitung lagi Tristant memeluk dan menikmati tubuh Lukman, tapi ia selalu tidak tahan kalau sedang berdekatan dengan Lukman. Libidonya selalu naik, selalu menginginkan lagi, lagi dan lagi. Apalagi saat itu Lukman benar-benar terlihat sangat seksi memakai seragam basketnya.
"Kak..." panggil Tristant.
"Hem," jawab Lukman sambil menutup botol yang baru saja ia gunakan untuk minum. "Apa?"
"Ntar malem... nginep tempat gue ya?" Jawab Tristant.
Mata Lukman menyipit, menatap Tristant dengan tatapan penuh selidik. "Heem... lu pingin yah," goda Lukman.
"Idih... apaan sih? Dasar mesum, nyokap yang nyuruh lu main. Katanya dia mau masak resep terbaru, lu disuruh nyobain katanya," elak Tristant. Tapi ia juga tidak sepenuh nya berbohong sih, ibunya Tristant memang senang kalau Lukman main kerumah nya. Lukman pandai menghibur dan mengambil hati orang tua Tristant.
Meski Lukman dan Tristant berbicara dengan pelan, namun obrolan mereka dapat terdengar oleh indra pendengaran Jonathan. Namun Jo hanya diam, menarik ujung bibirnya lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Aldo dan juga Aden.
"Yuk Luk," ajak Jonathan.
Lukman menoleh sekilas ke arah Jonathan yang sudah berjalan mendahuluinya, lalu ia kembali menatap Tristant di depannya, "Yaudah bilangin ke mama, nanti malam pangeran tampan mau makan masakannya sang ratu," ucapnya. "Tapi ntar lu ikut gue ama anak-anak ya ke rumah Pandu."
"Oke, semangat kak, awas kalo enggak menang," ancam Tristant.
"Sip!" Ucap Lukman sambil mengacungkan jempolnya ke arah Tristant. Kemudian ia berjalan cepat mengimbangi Jonathan yang sudah berjalan lebih dahulu, meninggalkan Tristant yang sedang tersenyum simpul sambil menatap punggungnya.
"Woy....! Bukanya pemanasan malah chating mulu."
Aldo tersentak saat Lukman mengagetkannya sambil menepuk pundaknya. Ia buru-buru memasukan kembali HPnya kedalam tas yang ia taruh bawah.
"Mentang-mentang cadangan, santai banget. Chat ama siapa sih?" Tanya Lukman.
"Kepo," jawab Aldo singkat setelah ia menyimpan HPnya di dalam tas. Kemudian ia berdiri lagi dan melakukan pemanasan bersama teman-temannya.
"Curiga gue," selidik Lukman setelah Aldo sudah berdiri di dekatnya.
"Curiga apa?"
"Lu chat ama siapa sih? Gue kan penasaran." Ucap Lukman.
"Sama gebetan gue lah," jawab Aldo santai.
Setelah puas menatap pacarnya yang sedang melakukan pemanasan, Tristant mengambil HP di saku celana jeansnya. Seperti biasa, ia selalu memeriksa semua akun sosial media miliknya. Tiba-tiba saja ia teringat sama aplikasi khusu gay yang belum sempat ia hapus dan disembunyikan di file prinadinya. Merasa penasaran Tristant membuka akun miliknya.
Setelah membuka akunnya Tristant menggelengkan kepalanya heran. Baru beberapa hari ia tidak membuka akun di aplikasi khusus gaynya, ternyata sudah ada ratusan DM yang masuk. Tristant hanya menskip, tanpa ada niat membaca, apalagi membalasnya. Namun ada satu akun yang menarik perhatiannya, membuat ia penasaran ingin membuka DM dari akun yang bernama Mr.O.
Tristant benar-benar penasaran sama pemilik akun tersebut. Soalnya itu satu-satunya aku yang jarak lokasinya selalu dekat dengan nya jika ia sedang berada di sekolah.
Layar HP Tristan.
Mr.O
Lima hari yang lalu.
Kapan kita ketemu?
Ntar lu nyesel nolak gue.
Tiga hari yang lalu.
Woy bales...
Sombong amat sih.
Dua hari yang lalu.
Hai..
Lagi apa?
Kemaren.
Bibir lu imut..
Gue pingin ngerasain.
Lima belas jam yang lalu.
Bales doong...
Besok ketemuan yuk.
Lima menit yang lalu.
Kamu cute banget sih.
What?! Lu tau gue?
Tristant mengedarkan pandangannya di sekitaran tempat duduk penonton, setelah ia membalas pesan dari orang misterius tersebut. Ia benar-benar terkejut saat pemilik akun Mr.O tersebut mengatakan dirinya cute. Itu artinya pemilik akun tersebut sudah mengetahui siapa dirinya. Tiba-tiba saja Tristant menjadi gelisah.
~♡♡♡~
Priiit....!!!
Suara peluit yang dibunyikan sama wasit menandakan bahwa pertandingan basket akan segera dimulai. Kedua team langsung berkumpul di tengah lapangan dan mulai membentuk formasi.
Para penonton mulai fokus dan antusias melihat pertandingan basket tersebut. Suara tepuk tangan pun tidak berhenti terdengar sambil menarikan nama idola mereka masing-masing.
Sebenarnya banyak penonton yang merasa kecewa karena tidak melihat Pandu ikut dalam pertandingan tersebut. Namun kehadiran Aden sedikit bisa mengobati rasa kecewa mereka. Toh mereka masih bisa melihat teman-teman Pandu yang gantengnya bisa bikin orang kehabisan ludahnya karena terus-terusan ditelan.
Wasit yang memimpin jalannya bertandingan sudah berdiri di tengah-tengah, diantara kedua team dengan membawa bola basket. Beberapa detik kemudian bola basket dilempar ke atas oleh wasit tersebut, menandakan bahwa pertandingan basket antara kelas sebelas dan dua belas sudah dimulai.
Aksi saling lempar dan saling tangkap bola basket berlangsung selama beberapa menit. Masing-masing anggota team terlihat sangat gesit, enerjik dan juga lincah. Hingga akhirnya, setelah aksi lempar bola berlangsung, Lukman berhasil memasukan bola ke ring basket lawan.
Terlihat Tristant sangat bersemangat memberikan tepuk tangan untuk pacarannya.
Pertandingan sudah berlangsung selama beberapa menit, awalnya team Lukman memang berhasil menang skor 15-10. Namun di menit berikutnya team lawan berhasil mengejar hingga team Lukman kalah telak dengan skor 40-25.
Lukman dan yang lainnya terlihat sangat kecewa lantaran permainan dari Aden yang kurang bagus. Wajah berkeringat mereka menatap kesal kepada Aden yang masih saja terlihat tidak bersemangat.
Priiiit...!!!
Babak pertama yang sudah berlangsung beberapa menit selesai dimainkan. Para pemain langsung berkumpul di tepi lapangan untuk beristirahat.
"Parah...!" Ketus Alex seraya mendudukan dirinya di kursi. Tempat istirahat. Alex menoleh ke arah Aden yang sedang duduk di sebelahnya. "Lu maninnya jelek banget sih Den. Perasaan waktu latihan lu jago, kenapa sekarang melempem?"
"Maaf..." Aden hanya menjawab singkat. Ia tidak mau banyak ber-alasan karena ia sadar permainan nya memang tidak bagus. Aden masih kepikiran sama keadaan Pandu.
Alex mendengkus kesal sambil mengambil botol berisi air mineral, lalu meneguk nya.
Dihadapan Aden ada Lukman, ia sedang meringis karena kelelahan sambil membersihkan keringat di bagian tengkuk dan lehernya menggunakan handuk. "Fokus Den, pendukung kita pada kecewa tuh. Udah jangan terlalu mikirin Pandu, gue yakin dia baik-baik aja."
Alex memutar bola matanya malas saat kupingnya mendengar kata-kata Lukman. Astaga! Jadi karena kepikiran sama Pandu? Alex benar-benar heran dengan cara berpikir Aden. Cinta macam apa itu? Jelas-jelas mereka sesama pria. Ia berdecak heran, kemudian ia kembali menoleh ke arah Aden, menepuk punggungnya pelan seraya berkata, "profesional Den, pokoknya gue nggak mau liat lu mainnya jelek lagi. Kita harus menang! Jangan bikin malu, walapun ini bukan kompetisi tapi kekekalahan kita bakal beredar di majalah. Malu kan? Udah pokoknya sementara singkirin dulu deh Pandu dari otak elu, entar kalo udah beres tanding gue ikut bujuk Pandu deh." Ujar Alex, semarah apapun Alex, tapi tetap, ia masih solid kalau untuk urusan teman.
"Iya maaf," ucap Aden. "Kalo Aldo masuk gimana?" Usulnya.
"Nggak... nggak.... nggak...!" Serga Roby secepat kilat. "Bisa makin parah kalo Aldo yang main."
Aldo hanya diam sambil menarik ujung bibirnya. Ia malas menanggapi Roby, lagi pula Roby benar, Aldo tidak lebih bagus bermainnya. Yah, lantaran sebenarnya Aldo memang tidak terlalu hoby bermain basket. Ia hanya mencoba mengimbangi teman-temannya saja.
"Udah Aden aja nggak papa," ucap Aldo.
"Iya udah Aden aja," Lukman sebagai kapten basket mengimbuhi.
Aden dan yang lainnya pun mengangguk setuju.
Waktu istirahat tersisah beberapa menit lagi. Mereka memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk membahas perubahan formasi atau tehnik bermain yang sering diajarkan Pandu, sambil membersihkan tubuh mereka dari keringat menggunakan handuk kecil.
Priiiit....!!!
Seorang wasit kembali membunyikan peluitnya. Menandakan waktu istirahat sudah selesai. Kedua team kembali memasuki lapangan basket, dan langsung membentuk formasi. Sudah ada wasit yang berdiri ditengah-tengah antara kedua team. Wasit itu sudah siap akan melemparkan bola guna memulai kembali pertandingan.
"Tunggu!"
Wasit batal melemparkan bola keatas, lantaran mendengar suara seorang remaja yang sedang berjalan masuk ke dalam lapanagan.
Semua pasang mata langsung menatap heran kepada remaja yang sudah memakai celana seragam basket. Wajahnya tidak terlihat karena remaja itu berjalan merunduk dan kepalanya ditutup menggunakan tudung yang menyatu dengan jaket hoodie yang ia kenakan.
Tidak hanya kedua team yang menatap heran ke arah remaja tersebut. Para penonton di luar lapangan juga ikut menatap heran ke arah remaja itu.
"Gue ikut main," ucap Pandu setelah ia membuka tudung yang menutupi kepalanya.
Suara teriakan diiringi dengan tepuk tangan langsung terdengar bergemuruh saat mereka menyadari jika remaja yang sudah menghentikan pertandingan adalah Pandu.
Pandu melepaskan jaket hoodie, lalu melemparkannya ke tepi lapangan.
"Pandu... Pandu... Pandu...!"
Para penonton langsung meneriakan nama Pandu setelah Pandu melepaskan jaket hoodienya. Mereka terlihat sangat antusias dan lebih semangat. Akhirnya, idola mereka ikut main juga dilapangan.
Namun tidak dengan Aden dan teman-temannya. Mereka terkejut, dan heran dengan kehadiran Pandu yang tibat-tiba.
Wajah tegang Aden tidak berkedip melihat Pandu yang sedang berjalan mendekati lapangan.
"Biarin gue yang main gantiin dia." Ucap Pandu setelah ia berada di dekat Lukman. Ia menunjuk Aden dengan wajahnya. Maksudnya ia yang akan menggantikan posisi Aden bermain basket.
"Tapi Ndu, lu kan_"
"Gue nggak papa," Pandu memotong kata-kata Lukman.
"Nggak bisa Ndu, gue nggak mau lu kenapa-kenapa," Lukman berusaha membujuk Pandu. Wajahnya juga terlihat khawatir.
Terlihat Aden dan yang lainnya berjalan mendekati Lukman dan juga Pandu.
"Ndu..." Panggil Aden. Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harusnya chek-up ya?"
Pandu hanya melirik sekilas ke arah Aden, mencoba mengabaikannya, kemudian ia kembali fokus menatap Lukman. "Plis biarin gue ikut main."
"Gue nggak setuju Ndu kalo lu ikut main. Inget kondisi elu." Ujar Alex.
"Iya Ndu... gue juga nggak setuju." Roby mengimbuhi.
"Lu denger kan Ndu, temen-temen nggak ada yang setuju." Ucap Lukman.
Sementara diluar lapangan para penonton tidak henti-hentinya meneriakan nama Pandu sambil memberikan tepuk tangan.
"Kalian percaya ama gue, gue nggak akan apa-apa," Pandu memasang wajah ceria, berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa ia baik-baik saja. "Tadi gue juga udah bilang sama dokter gue. Katanya enggak apa kalo gue ikut main basket." Imbuh Pandu berbohong.
"Tapi Ndu_"
"Gue nggak papa!" Tegas Pandu memotong ucapan Aden. "Gue gantiin elu."
"Pandu... Pandu... Pandu...!"
Suara Pandu masih diteriakkan oleh para penggemarnya. Membuat wajah Lukman dan yang lainya makin terlihat panik.
"Gimana ini?"
Lukman dan yang lainnya menoleh ke arah wasit yang sedang menunggu keputusan mereka.
"Udah jangan buang-buang waktu...!" Protes salah seorang anggota team lawan.
Pandu memukul pundak Lukman pelan, "kita harus menang," Pandu menatap penuh keyakinan pada teman-temannya, "Gue pastiin gue nggak papa,"
"Lu serius?" Tanya Lukman dengan wajah yang tidak yakin.
Mengabaikan rasa nyeri disekujur tubuh, Pandu tersenyum nyengir sambil menganggukan kepalanya. "Nggak usah pada drama deh, udah kayak cerita di sinetron aja. Lebay kalian." Sebisa mungkin Pandu meyakinkan teman-temannya bahwa ia tidak apa-apa.
"WOY.....!!! Gimana ini?" Salah seorang anggota team lawan kembali protes.
Mereka sudah tidak sabar lantaran sudah terlalu lama menunggu. Ditambah dengan teriakan para penonton yang tidak henti-hentinya menyebut nama Pandu, membuat Lukman dan yang lainnya tidak bisa berpikir jernih.
"Yaudah deh kalo lu nggak papa," ucap Lukman ragu-ragu.
"Luk.... jangan," protes Aden. Wajahnya terlihat sangat khawatir.
"Udah gue bilang gue nggak papa!" Yakin Pandu.
Lukman menoleh ke arah Aden, "Den... lu mundur ya."
"Tapi," ucap Aden.
"Kayaknya Pandu nggak papa," ucap Lukman. Sebenarnya ia merasa ragu-ragu, namun karena Pandu selalu memasang wajah ceria, sehingga ia sedikit lebih yakin dengan Pandu.
"Pokoknya kita harus menang," ucap Pandu.
Akhirnya meski dengan berat hati, Lukman dan teman-temannya mengijinkan Pandu ikut bermain bersama mereka. Semantara, Aden dengan wajah yang cemas, terpaksa ia harus mundur digantikan oleh Pandu.
Kemudian, dengan langkah yang lunglai, Aden berjalan ke arah kursi di tepi lapangan, lalu mendudukkan dirinya di sana.
Beberapa detik kemudian, kedua team mulai membentuk formasi, mengelilingi wasit yang akan melempar bola ke atas. Beberapa detik kemudian bola yang dilempar oleh wasit diperebutkan oleh kedua team. Menandakan jika pertandingan basket babak kedua dimulai.
Pertandingan berlansung sangat sengit, kedua team mempunyai kekuatan yang seimbang. Sama-sama lincah gesit dan enerjik.
Tapi ternyata meskipun entah sudah berapa lama Pandu tidak melakukan latihan, ia masih terlihat sangat mahir. Ia berkali-berkali melakukan shoot dan berhasil memasukan bola basket ke dalam ring lawan. Hingga ia berhasil mengejar ketertinggalan skor di babak pertama. Dukungan dari para penonton membuat ia makin bersemangat, hingga ia melupakan rasa sakit dibagian pinggangnya. Rasa nyeri dan mual yang datang tiba-tiba juga ia abaikan.
Pandu berhasil membuktikan bahwa ia baik-baik saja. Para penonton dan teman-teman terlihat sangat senang dan makin bersemangat.
Namun rasa senang itu tidak dirasakan oleh Aden yang sedang duduk, sambil menatap Pandu dengan tatapan penuh dengan kekhawatiran. Hatinya tiba-tiba saja merasa sangat cemas, dan gelisah.
"Hei...!"
Suara seroang anak cewek mengalihkan perhatian Aden. Ia menoleh ke arah sumber suara itu, dan melihat Nina sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Gue boleh duduk di sini nggak?"
Aden hanya melihat sekilas ke arah Nina. Mencoba mengabaikannya lalu kembali fokus melihat pertandingan yang sedang berlangusng.
Meskipun belum mendapat ijin dari Aden, Nina tetap saja tidak perduli. Ia nekat mendudukan dirinya di samping Aden.
Nina memutar kepalanya 90 derajat, menoleh ke arah Aden yang tidak mempedulikannya. "Gue liat tadi lu mainnya enggak fokus. Padahal waktu gue liat elu latihan bagus banget lho. Bahkan banyak anak cewek yang muji elu. Mereka pada yakin kalo lu bisa gantiin Pandu."
"Maaf," ucap Aden singkat tanpa melihat ke arah Nina.
Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Nina hembuskan secara perlahan. Sebenarnya ia merasa kesal dengan sikap Aden yang cuek. Tapi ia mencoba untuk bersabar.
"Untung Pandu dateng ya, kalo enggak, kayaknya team lu bakal kalah deh. Pandu emang hebat, liat aja mainnya bagus banget." Puji Nina. Ia juga melihat aksi Pandu ditengah lapangan.
"Iya dia hebat," jawab Aden seadanya.
"Lu juga hebat kok, cum gue tau lu masih kepikiran sama pacar lu yang lagi marah itu kan?" Tebak Nina penuh percaya diri. "Kalo lu lagi enggak marahan sama pacar lu, gue yakin banget lu bakalan bisa ngalahin anak kelas 12."
Aden sama sekali tidak mempedulikan Nina, ia tidak mau ada salah paham lagi. Oleh sebab itu ia lebih memilih diam, fokus menyaksikan pertandingan.
Sikap Aden yang diam membuat Nina mendengkus kesal, sebagai cewek yang merasa cantik, ia seperti tidak ada harganya dihadapan Aden.
"Makanya gue kesini, gue tau lu itu butuh gue buat ngehibur elu." Nina tidak putus asa, ia berusaha sesabar mungkin untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Makasih Nin, tapi maaf aku enggak butuh siapa-siapa buat ngibur aku." Aden berbicara pelan, tapi wajahnya terlihat sangat serius. Kesal dengan sikap Nina, Aden lebih memilih melanjutkan menonton pertandingan. Kemudian ia kembali fokus melihat Pandu yang baru saja memasukan bola ke ring basket.
Sementara Nina terdiam mulutnya terkunci setelah mendengar pernyataan Aden barusan, sepertinya ia harus menambah porsi sabarnya untuk mendapatkan laki-laki seperti Aden. Nina butuh Aden, karena ia merasa cuma Aden cowok polos, yang akan bisa menyelamatkan dirinya.
Nina menoleh kembali ke arah Aden, bibir tipisnya tersenyum simpul melihat butir-butir keringat di bagian pelipis dan wajah Aden. Lengan Aden juga terlihat mengkilap, keringatnya masih terus mengalir. Tapi Anehnya tubuh dan wajah berkeringat Aden membuat Nina semakin tidak bosen, matanya tidak mau berkedip menatap pemandangan indah itu.
Melihat keringat di bagian wajah Aden, Nina berinisiatif untuk membersihkannya. Ia mengambil tisue di dalam tasnya, lalu tanpa meminta ijin dengan lembut Nina membersihkan keringat dibagian kening dan pelipis Aden. Anggap saja itu sala satu usaha, sebagai bentuk perhatian dari Nina untuk mendapatkan Aden.
Apa yang dilakukan sama Nina tentu saja membuat Aden tersentak, ia langsung menjauhkan wajahnya untuk menghindari tangan Nina yang masih memegang tisue.
"Kamu apa-apaan Nin?" Protes Aden.
"Gue cuma mau bersihin keringet elu," jawab Nina sambil berusaha menempelkan tisue yang sedang ia pegang ke wajah Aden.
"Nggak usah...!" Aden terpaksa harus ketus sama Nina. Ia sudah capek menghadapi Nina.
"Nggak papa kali, cuma bersihin doang. Bukan nyium, gue seneng kok bisa kasih perhatian sama elu." Nina tidak putus asa, tangan mungilnya masih berusaha meraih wajah Aden.
"Kamu kenapa sih Nin? ngganggu terus." Kesal Aden sambil memegang telapak tangan Nina, untuk menyingkirkannya dari wajahnya.
"Gue nggak ganggu, cuma mau bantu elu." Balas Nina.
Adegan antara Aden dan Nina tentu saja dapat tertangkap oleh indra penglihatan Pandu. Sebenarnya emosinya sudah di ubun-ubun sejak ia melihat Nina dan Aden duduk berduaan. Namun kali ini emosinya semakin memuncak saat melihat adegan perhatian yang diberikan oleh Nina untuk Aden. Hal itu tentu saja membuat Pandu kehilangan fokus dan tidak berkonsentrasi.
Pandu lengah saat sedang melakukan dribling, dan pada saat ia akan melempar bola ke arah ring basket lawan, seorang anggota team lawan memanfaat itu dengan mendorong bagian pinggang Pandu. Team lawan sengaja melakukan itu lantaran kesal sama Pandu yang selalu berhasil mencetak skor.
Dorongan yang sangat, membuat tubuh Pandu yang sedang nyeri semakin terasa sakit, hingga ia tumbang dan berakhir pingsan di lapangan.
"Pandu...!"
Lukman dan teman-temannya nya serempak meneriakan nama Pandu. Dengan wajah panik, mereka berjalan cepat mendekati Pandu yang sudah terkapar di lantai.
Deg!
Teriakan Lukman dan teman-temannya dapat terdengar oleh Aden. Ia langsung berdiri dari duduknya, kemudian berlari ke arah lapangan meninggalkan Nina.
Suasana di dalam gedung lapangan basket mendadak hening. Rasa panik tergambar jelas di raut wajah para penonton. Sebagian besar dari mereka ada yang berlari mendekati lapangan. Mereka ingin memastikan apa yang terjadi dengan Pandu.
Aden menjatuhkan lututnya saat ia berada di dekat Pandu yang masih terkapar.
"Ndu... Pandu...!" Ucap Aden sambil menepuk-nepuk pelan kedua pipi Pandu menggunakan telapak tangan. Wajahnya semakin terlihat panik dan cemas.
Tidak hanya Aden, Lukman dan teman-temannya juga tidak kalah paniknya. Mereka juga ikut menggerak-gerakan tubuh Pandu supaya tersadar.
"Pandu bangun Pandu..." ucap Aden kembali. Namun sayang tidak ada reaksi apapun dari Pandu.
Beberapa saat kemudian sudah banyak orang yang mengelilingi Pandu.
"Panggil petugas kesehatan." Usul Aldo.
"Buruan bawa ke UKS," titah salah seorang penonton.
"Rumah sakit!" Teriak Aden, "bawa kerumah sakit," ulang Aden sambil berusaha membopong tubuh Pandu.
"Yaudah bawa ke rumah sakit," ucap Aldo.
"Mobil kamu mana Do?" Tanya Aden setelah ia berhasil mengangkat tubuh Pandu.
"Diparkiran, ayok buruan," Aldo dan Aden yang sedang membopong Pandu, berjalan cepat menuju mobil milik Aldo, kemudian di ikuti sama Jonathan mengikuti dari belakang.
Sedangkan para penonton menatap cemas Pandu yang sedang dibopong sama Aden.
Sementara itu, terlihat Lukman, Alex, dan juga roby berjalan mendekati anak kelas dua belas yang sudah mendorong Pandu hingga terjatuh.
"Apa-apaan lu ha?!" Umpat Alex sambil mendorong kuat dada kakak kelasnya. Wajahnya terlihat sangat marah.
"Maksudnya apa lu pake acara dorong-dorong segala?!" Imbuh Lukman, ia juga mendorong tubuh anak kelas dua belas itu. Wajahnya tidak kalah marahnya dari Alex.
"Lu sengaja kan?!" Kali ini giliran Roby yang mengumpat, jemarinya sudah mengepal, bersiap memberikan hadiah kepada anak kelas dua belas itu.
"G-gue nggak sengaja," wajah anak kelas 12 itu terlihat gugup dan ketakutan. "Lagian jatuh dalam pertandingan kan wajar." Bela anak itu.
"WAJAR PALA LU PEANG?!!" Bentak Lukman ia kesal dengan pembelaan anak itu. Bisa-bisanya ia merasa seperti tidak bersalah, bagaimana Lukman tidak marah coba? apalagi ia tahu persis bagaimana kondisi Pandu. "LU SENGAJA MONYET!!" Umpat Lukman sambil menarik kaos yang dikenakan anak kelas dua belas.
"Kak kenapa masih di sini?!" Tegur Tristant yang tiba-tiba saja menghampiri mereka. "Buruan ikut antar kak Pandu ke rumah sakit." Wajah imut Tristant juga terlihat sangat panik.
Secara tidak langsung Tristant sudah menyelamatkan anak kelas dua belas itu dari maut. Seandainya Tristant tidak mengingatkan keadaan Pandu, pasti Lukman dan yang lainnya sudah membuat anak kelas dua belas itu babak belur.
Lukman terdiam, lalu ia mendorong tubuh anak kelas 12 seraya berkata, "kalo sampe temen gue kenapa-napa! Gue cari lu!" Ancam Lukman sebelum akhirnya ia meninggalkan anak kelas dua belas. Sedangkan Tristant mengekor di belakangnya.
Bugh...!! Roby memberikan pukulan di perut anak kelas 12 sebelum ia mengejar Lukman.
Plak...!! Anak kelas dua belas itu mendapatkan bonus tamparan pedas dari Alex.
Roby dan Alex jalan beriringan mengejar Lukman dan Tristant yang sudah sedikit jauh.
~♡♡♡~
Aden duduk dengan menundukkan kepala nya di ruang tunggu, di depan ruangan UGD dimana ada Pandu sedang dirawat di dalam sana. Sementara Lukman dan yang lainnya berdiri sambil menyandarkan tubuh mereka di tembok rumah sakit. Mereka masih mengenakan seragam basketnya masing-masing. Tidak ada yang tidak cemas, semua nampak gelisah menunggu kabar dari dokter Darma sedang merawat Pandu. Sudah lebih dari tiga jam mereka berada disitu, namun dr.Darma masih belum memberikan kabar.
Semenatara ibu Veronica tidak berhenti mondar-mondari. Sebagai ibu ia benar-benar khawatir dengan keadaan putranya.
"Duduk dulu mi, tenang... berdoa buat keselamatan anak kita," ucap pak Arlan. Ia sedang duduk berdekatan dengan Aden. Pak Arlan juga sangat khawatir, namun ia berusaha untuk sabar.
"Gimana aku bisa tenang coba pi? mami khawatir." Keluh ibu Veronica air matanya sudah mengalir sejak tadi. Ibu Veronica berdiri di depan suaminya, ia menggunakan telapak tangannya untuk menutupi mulutnya yang sedang menangis. "Mami nggak mau Pandu kenapa-napa." Ucap ibu Veronica ditengah isakkannya.
Pak Arlan berdiri dari duduknya, tangan kekarnya menarik punggung ibu Veronica kedalam pelukkannya, sebagai suami ia bisa merasakan kesedihan yang tengah dirasakan istri nya. Telapak tangannya dengan lembut mengusap-ngusap lengan ibu Veronica.
"Papi tau, papi juga cemas. Tapi kita harus sabar mi, percaya saja Darma dokter hebat. Dia pasti bisa menyelamatkan Pandu." Ucap pak Arlan selembut mungkin. "Yuk duduk..." bujuknya.
Bujukan pak Arlan membuat ibu Veronica luluh. Akhirnya ia menuruti kata-kata suaminya, duduk di kursi dibantu oleh suaminya.
Beberapa saat kemudian, terlihat Anis dan suaminya berjalan tergopoh-gopoh mendekati mereka. Terlebih dahulu Anis menyapa ibu Veronica dan pak Arlan, sebelum akhirnya ia mendudukan dirinya di kursi di dekat Aden.
Sementara Dadang berjalan mendekati Lukman dan yang lainnya. Ia ikut menyandarkan tubuhnya di tembok.
"Gimana si Pandu?" Tanya Anis sambil merangkul pundak adiknya.
Tanpa menoleh ke arah Anis, adan menggelengkan kepalanya, tanda jika ia belum tahu. Air matanya juga sudah tidak mau dibendung lagi.
Bola mata Anis menatap teduh wajah Aden, ia bisa melihat jika adiknya benar-benar merasa sedih. Telapak tangannya yang halus mengusap lembut puncak kepala Aden seraya berkata. "Kamu jangan khawatir, teteh yakin Pandu bakal baik-baik aja." Anis menatap tas ransel yang ia bawa dari rumah kontarakannya, lalu ia letakkan di lantai. "Itu teteh bawain kamu salin, sama perlengkapan mandi," sebelumnya Aden memang berpesan kepada Anis. Aden ingin menjaga Pandu di rumah sakit.
Aden masih belum membuka suaranya, ia masih belum berkata apapun hatinya masih sangat gelisah. Menggunakan telapak tangan, Aden menyeka air matanya, lalu menuturkan kepalanya di pundak Anis.
Glek!!
Suara pintu yang dibuka dokter Darma membuat semuanya tersentak. Mereka langsung menatap ke arah pintu dimana dokter Darma sudah berdiri di sana.
Aden langsung beranjak dari duduknya, ia berjalan cepat menghampiri dokter Darma, diikuti oleh ibu Veronica, pak Arlan dan juga Anis.
Begitupun dengan Lukman dan yang lain, mereka sudah tidak sabar mendengar kabar yang akan disampaikan sama dokter Darma.