Kok gue nggak suka, liat elu deket sama dia,
Perasaan macam apa ini?
~Selamat membaca~
Seperti biasa, pagi itu Aden sedang sibuk melayani anak-anak sekolah yang sedang membeli ciloknya. Entahlah, sejak Pandu memposting photo cilok di akun instagramnya, cilok Aden menjadi lebih laris dari biasanya.
Meskipun Pandu bukan selebgarm, tapi sebagai cowok populer di sekolah ia mempunyai banyak follower. Jadi postingan cilok Pandu kemaren dapat dilihat oleh banyak followernya yang rata-rata masih satu sekolah dengan Pandu.
"Alhamdulilah..." ucap Syukur di hati Aden, di sela-sela ia sedang sibuk melayani pembelinya. Senyumnya yang menawan selalu mengembang di bibirnya. Senyum yang selalu membuat Pandu tidak bosan menatapnya dari jarak jauh.
Sesekali Aden mengusap peluh di pelipisnya menggunakan punggung tangan. Meski merasa kualahan, tapi Aden merasa sangat senang dan tetap bersemangat. Bagaimana tidak, dagangannya laris.
Sekian menit kemudian, sekerumanan anak-anak berseragam sekolah sudah mulai terlihat sepi dari hadapan Aden. Mereka sudah memasuki halaman sekolah, karena bel masuk akan berbunyi beberapa menit lagi.
Seperti biasa juga, enam remaja paling populer di sekolah, sudah berkumpul di dekat pintu gerbang. Di dekat Aden yang sedang berjualan.
Kadang sebelum bel masuk berbunyi, keenam cowok populer itu lebih senang menghabiskan waktu mereka di post satpam. Karena menurut mereka tempat itu paling aman untuk menghisap rokok, atau sekedar nongkrong sambil bermain game.
Cuma Aldo yang tidak pernah bermain game, ia punya dunianya sendiri. Kalau Pandu dan Lukman, tergantung mood mereka.
Lalu karena merasa sudah saling kenal, dan akrab, Pandu sudah tidak ragu lagi menyapa Aden di dekat teman-temannya. Begitupun sebaliknya, Aden juga membalas sapaan Pandu dengan gayanya yang ramah.
"Den masih ada nggak?" Tanya Pandu sedikit berteriak.
"Masih," jawab Aden. Ia bisa langsung mengerti kalau Pandu pasti bertanya soal cilok. Apalagi? cuma cilok yang Aden jual. Tidak ada yang lainnya.
"Gue mau ya satu porsi," pinta Pandu yang dijawab dengan acungan jempol sama Aden. Kemudian Pandu menatap teman-temannya satu-persatu, sambil bertanya. "Pada mau nggak? Kalau mau gue traktir," imbuh Pandu menawarkan.
"Traktir? Maulah..." ujar Jonathan.
"Mau..." imbuh Alex.
"Walaupun cuma cilok, kalau ditraktir gue juga nggak nolak," lanjut Roby.
"Lo mau nggak Do?" Tanya Pandu sambil memukul pelan pundak Aldo, karena sepertinya Aldo tidak mendengar obrolan mereka. Ia sedang fokus membaca komik, sedangkan kupingnya disumpel sama headset.
Aldo yang sedang berjongkok mendongak sambil membuka headseat di sebelah telinganya, "apaan?" Tanya Aldo.
"Cilok... gue traktir mau nggak?" Ulang Pandu.
Aldo mengangguk pelan, "oh... boleh deh," jawabnya. Kemudian ia memasang headset dan kembali fokus sama komik kesayangannya.
"Dasar lu, komik mulu..." dengus Pandu yang tidak digubris sama Aldo. Ia sudah langsung asik dengan dunianya. Mendengarkan musik sambil membaca komik.
Kemudian perhatian Pandu tertuju pada Lukman yang belum memberi jawaban. Ia sedang mengerutkan kening sambil menatap Aden, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lukman masih bingung, sebenarnya apa sih, yang membuat Pandu sikapnya berbeda kalau berbicara sama Aden? Apa iya anak seperti Aden pantas ia masukan di daftar catatan pribadinya? Karena Yang Lukman lihat dari Aden, Aden sama sekali tidak seperti Tristant. Aden itu maskulin, cowok banget, dan tidak ada lembut-lembutnya sama sekali.
Jadi, apa Lukman salah tafsir terhadap Pandu? atau apa benar Pandu menyukai Aden?
Bagaimanapun Pandu adalah sahabatnya, ia tidak mau mengambil kesimpulan kalau Pandu mempunyai ketertarikan pada laki-laki. Apalagi ia tahu persis seperti apa Pandu. Tidak mungkin sekali cowok se-berandal dan se-nakal Pandu bisa menyukai sesama jenis.
Entahlah, Lukman semakin pusing dibuatnya. Karena yang Lukman lihat Pandu benar-benar berbeda saat berhadapan dengan Aden, dan Pandu juga terlihat bahagia saat sedang berintaksi dengan Aden.
Dan sebenarnya, Lukman hanya ingin apa yang dimiliki Pandu, ia harus memilikinya terlebih dahulu. Siapa yang suka sama Pandu, harus berpaling menjadi suka sama Lukman. Ia tidak perduli meski seorang itu adalah laki-laki, termasuk Tristant. Bahkan ia sampai merelakan alat vitalnya dinikmati sama Tristant, supaya nantinya Tristant lebih menyukainya, dari pada menyukai Pandu.
Karena bagi Lukman, Pandu itu terlalu beruntung, begitu banyak anak-anak yang menyukainya, dan itu membuat Lukman menjadi iri. Sehingga apapun yang membuat Pandu senang, Lukman akan berusaha mengambilnya.
"Woy...!!!"
Terikan Pandu membuat Lukman yang sedang duduk berjongkok sangat terkejut, sampai ia jatuh terjengkang karenanya. Pandu terpaksa berteriak karena entah sudah berapa kali Pandu memanggilnya, namun Lukman tidak bergeming. Dan jatuhnya Lukman membuat orang yang melihatnya tertawa terbahak-bahak.
"Silan lu Ndu, ngagetin aja," keluh Lukman sambil berusaha bangkit dari jatuhnya, dibantu sama Pandu.
"Lagian elu pagi-pagi udah nglamun aja, entar kalo kesambet, kita juga kan yang repot." Ujar Pandu setelah Lukman sudah berhasil duduk kembali. "Mau makan cilok nggak? Gue beliin." Lanjut Pandu.
"Oh iya deh, mau." Jawab Lukman.
"Den.. lima lagi ya..." perintah Pandu sambil berjalan mendekati Aden. Diikuti Jonathan, Roby dan Alex.kemudian menyusul Lukman dan Aldo juga berjalan medekati Aden.
"Ndu, gue nggak pake saos sama kecap, sambelnya banyakin ya," pinta Aldo.
"Bawel lu, ngeribetin aja," hardik Pandu.
"Nggak papa kali, gue kan nggak suka saos sama kecap," bela Aldo.
Kemudian terlihat Lukman berjalan mendekati Aden, setelah di dekat Aden Lukman mengalungkan tangannya di pundak Aden. Ujung matanya melirik ke wajah Pandu, ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi Pandu.
"Kayaknya lu udah akrab ya sama si Pandu? Berarti lu temen gue juga dong." Ujar Lukman yang hanya dibalas dengan senyum simpul. Mata Aden melirik ke arah Pandu, namun tangannya masih sibuk menyiapkan pesanan mereka.
"Woy jangan ganggu dia, nggak bisa cepet nanti jualinya," ucap Pandu sambil melihat tangan Lukman di pundak Aden.
"Upss sorry..." Lukman langsung mengangkat tangannya dari pundak Aden. "Tapi nggak papa kan Den?" Lukman bertanya sama Aden, tapi manik matanya melirik Pandu, dengan lirikan penuh selidik.
"Nggak papa," jawab Aden polos.
Pandu hanya bisa diam sambil menelan ludah, dan wajahnya berubah menjadi masam.
Tiin... tiin...!
Suara klakson mobil mengalihkan perhatian Pandu dan teman-temannya. Pun juga Aden, ia sekilas ikut menatap mobil yang sudah berhenti di dekat mereka, lalu tatapannya kembali lagi ke arah ciloknya.
Tidak lama kemudian, dari dalam mobil turun seorang wanita cantik berambut panjang memaki celana jenas ketat, sepatu senada berhak tinggi. Kaos ketat yang dipakai gadis itu membuat keindahan lekuk tubuhnya terpampang nyata.
"Hai...!" Sapa Desma sambil setengah berlari mendekati Pandu dan yang lainnya. Wajahnya terlihat berseri, dan senyumnya mengembang.
"Hai cantik..." balas Lukman dan yang lainnya secara bersamaan. "Tumben lu ke sini? Ada apa? Pasti kangen sama gue," tebak Lukman menggoda.
"Tepat, gue kangen sama elu. Tapi gue lebih kangen sama Pandu..." ujar Desma sambil mengalukan tangan di pundak Pandu. Wajahnya menatap Pandu dengan senyum yang memikat.
"Awas lu ya," dengus Lukman.
Desma hanya menjulurkan lidahnya.
"Lu ngapain sih kesini?" Tanya Pandu cuek, sambil melepaskan tangan Desma dari pundaknya. "Lu nggak kuliah?"
"Sebenarnya gue pingin ketemu sama_" Desma menggantungkan kalimatnya, sudut matanya melirik pada pedagang cilok. "Aden...!" Lanjut Desma.
Pandu sedikit tersentak mendengar pengakuan Desam, hingga ia menarik wajahnya, "Aden? Mau ngapain?" Tanya Pandu.
Desma mengaganggukkan kepalanya cepat, kemduian ia berjalan mendekati Aden sambil melipat tangannya ke belakang.
"Hai Den..." sapa Desma setelah ia berada tepat di hadapan Aden.
Aden membalas sapaanya hanya dengan tersenyum sambil menganggukan kepala.
"Pertama gue mau minta maaf sama kejadian di cafe waktu itu. Kedua gue mau terima kasih, karena lu udah nolongin gue. Ketiga semoga lu mau maafin gue."
Pandu dan teman-temannya menatap heran pada Desma. Kening mereka telihat bergelombang.
"Soal di cafe, aku udah lupa kok teh, jadi enggak perlu minta maaf. Sola nolongin, itu cuma kebetulan kok teh." Ujar Aden tulus dan sopan. Ia memanggil 'teh' karena merasa usia Desma sudah di atasnya.
Desma membuang napas berat, sambil memutar bola matanya malas, "teteh... hem, oke umur gue emang di atas kalian, secara gue udah mahasiswi semester enam. Jadi gue belum tua banget dong." Keluh Desma.
Kemudian ia mengulurkan tangannya ke arah Aden seraya berkata, "panggil gue Desma kayak yang lainnya." Pintanya.
Secara perlahan, dengan wajah yang ragu Aden menerima uluran tangan Desm, "iya... Desma," ucapnya setelah ia bersalaman dengan Desam. Senyumnya mengembang, menatap Desma yang juga tersenyum manis padanya.
Beberapa saat Desam tertegun menatap dalam-dalam wajah Aden, hatinya tiba-tiba berdesir. Ia tidak menyangka, melihat Aden di siang hari ternyata semua dapat terlihat dengan jelas.
Sungguh maha karya yang begitu sempurnah. Hidung yang mancung, bibir yang seksi, kumis tipis yang menggoda, mata yang teduh dan juga sipit. Sebuah pahatan yang luar biasa indah. Di tambah tahilalat di sudut matanya membuat Desma tidak ingin berkedip melihatnya.
Desma sama sekali tidak menyangka, remaja yang pernah ia permalukan ternyata begitu ganteng kalau dilihat dari dekat. Selain itu Aden juga mempunyai hati yang tulus, jujur, dan mempunyai jiwa penolong.
Melihat Aden dan Desma saling melempar senyum, tiba-tiba ada sesuatu yang tidak enak masuk di hati Pandu.
Kenapa Pandu tidak suka melihat itu?
Apa iya Pandu cemburu? Secepat itu kah?
Entahlah.
Yang jelas, pemandangan itu membuat Pandu merasa tidak nyaman, hingga ia berusaha mencari cara untuk menghentikan jabat tangan yang tidak kunjung lepas.
"Den ciloknya udah siap?" Ucap Pandu yang langsung membuat Aden dan Desma langsung melepas jabatannya.
"Oh iya bentar lagi..."
Aden gugup dan salah tingkah.
"Gue mau juga dong satu," pinta Desma sambil berjalan mendekati Pandu.
Aden menoleh sekilas pada Desma sambil tersenyum, "iya" ucapnya.
~♡♡♡~
Teman-teman Pandu semuanya ganteng dan keren. Yang jadi pertanyaan, sebagai pria yang mempunyai ketertarikan pada sesama jenis, apa iya Pandu sama sekali tidak mempunyai perasaan sama mereka. Karena teman-temannya itu lumayan menjadi idola di sekolahnya. Walaupun diantara mereka Pandu lebih menonjol.
Bisa dipastikan, semua laki-laki yang mempunyai ketertarikan pada sesama, pasti aka langsung jatuh hati sama mereka.
Contohnya Tristant, meski Tristant sangat mengagumi Pandu, tapi nyatanya, Tristant tidak kuasa menolak Lukman.
Tapi lain Tristant, lain juga Pandu. Perkenalan Pandu dengan teman-temannya berawal dari sebuah persahabatan. Jadi perasaan suka sama mereka mungkin bisa dikatakan sudah mati, atau mati rasa. Meskipun terlihat seperti berandal, tapi Pandu juga mempunyai jiwa kesetiakawanan yang tinggi. Pandu tidak mungkin mengotori persahabatan nya dengan rasa seperti itu. Keakraban mereka juga terkadang membuat Pandu semakin kehilangan rasa untuk menginginkan suatu hal, lebih dari sekedar teman.
Bagi Pandu, berawal dari teman, maka perasaannya juga hanya sebatas teman, tidak akan pernah berubah sampai kapan-pun.
Tapi kalau sama Aden, ia sudah suka sejak terlalu sering melihatnya dari jarak jauh. Dan selamanya Pandu akan tetap suka.
"Pandu...!" Suara dari ambang pintu kelas mengagetkan Pandu yang sedang tiduran di bangkunya. Secara refleks ia langsung mendongak untuk melihat siapa yang sudah memanggilnya.
"Kok lu masih di sini?" Ucap Jonathan sambil berjalan mendekati Pandu. Diikuti oleh Aldo, Alex, dan juga Roby di belakangnya. Ada seragam basket di bahu mereka masing-masing.
"Lukman mana?" Tanya Alex, saat ia melihat bangku di belakang Pandu kosong.
Pandu menoleh kebelakang, benar saja, Lukman tidak ada di tempat duduknya. Pandu menaikan kedua bahunya, sebagai isyarat bahwa ia juga tidak tahu kemana Lukman.
"Entah..." jawab Pandu.
Mungkin Lukman keluar kelas saat Pandu sedang tiduran sambil melamun, memikirkan senyum Aden dan Desam tadi pagi.
"Gimana sih? Hari ini kan kita ada tanding sama anak kelas dua belas. Bentar lagi mulai loh..." dengus Jonathan dengan wajah yang bete.
Selain ganteng-ganteng, ke enam cowok populer itu juga jago bermain basket. Itu sebabnya banyak sekali cewek-cewek yang mengidolakan mereka. Mereka terlihat semakin seksi dan berseri, saat tubuh mereka sudah basah karena keringat. Pemandangan yang sangat indah bagi kaum hawa.
"Masak lupa sih? Inikan udah diomongin jauh-jauh hari," imbuh Alex.
"Gue nggak lupa...!" Ketus Pandu membela diri. "Gue belum siap-siap aja."
"Yaudah yuk, kita ganti baju," ajak Jonathan.
"Eh si Lukman nggak ikut main katanya, mau di gantiin sama Fatur." Ucap Aldo sambil melihat layar HPnya. Ia baru saja menerima pesan dari Lukman, yang isinya baru saja disampaikan sama Aldo barusan.
"Kenapa katanya?" Tanya Pandu.
Aldo menaikan bahunya, "entah, gue nggak nanya."
"Yaudah nggak papa yang penting ada gantinya." Ujar Jonathan.
"Pandu...!"
Suara seorang kepala sekolah, sekaligus pemilik yayasan menahan Pandu dan teman-temannya yang akan beranjak keruang ganti.
Secara perlahan pemilik yayasan yang juga ayah Lukman itu berjalan mendekati Pandu dan yang lainnya.
"Ada apa pak?" Tanya Pandu penuh hormat. Ia memanggil 'pak' karena masih di sekolah, tapi kalau di rumah Pandu memanggilnya 'om'.
"Ibumu telfon bapak barusan, pertandingan basket hari ini sudah didengar sama ibumu, bapak dimintai tolong supaya kamu nggak boleh ikut. Dia tahu dari akun medsos anak-anak kalau kamu main hari ini."
Penjelasan kepala sekolah membuat yang lainya membuang napas gusar. Malas sekali rasanya mereka mendengar itu.
Dari sekian banyak larangan yang diberikan untuk Pandu, cuma minum alkohol saja yang Pandu turuti. Nakal, merekok, termasuk olahraga, Pandu selalu melanggarnya.
"Yah kok gitu si pak...?" Dengus Jonathan.
"Tolong kali ini kamu nurut," ujar kepala sekolah. Karena dengan berbagai macam alasan biasanya Pandu selalu berhasil untuk membangkang. "Atau kalian nggak akan bisa main basket seterusnya." Lanjut kepala sekolah mengancam.
Pandu terdiam sambil berpikir, kebetulan sekali saat ini ia sedang malas bermain, tidak semangat sama sekali. Mungkin itu juga efek dari pertemuan Aden dengan Desam. Pandu masih kepikiran.
Lalu karena ia tidak ingin bermain jelek di lapangan, akhirnya Pandu memutuskan. "Yaudah deh pak, saya nggak ikut main."
"Haaah..." Jonathan membuang napas kasar. Ia kesal sekali dibuatnya, tidak biasanya Pandu begitu tunduk. Tapi ia juga tidak punya pilihan lain selain pasrah dan menerima. Ia hanya perlu mencari pengganti Pandu, karena pengganti Lukman sudah disiapkan oleh Lukman sendiri.
"Terima kasih pengertiannya," kepala berlalu meninggalkan Pandu dan yang lainnya.
Sepertinya akan banyak siswi yang kecewa karena tidak ada Pandu dan juga Lukman beraksi di lapangan.
"Yaudah kita cari gantinya," ujar Alex.
"Kita tinggal dulu Ndu," ucap Jonathan sambil memberikan tos untuk Pandu. Di ikuti oleh Aldo, Roby, dan Alex juga memberikan tos buat Pandu.
"Semangat!" Pandu memberikan dukungan untuk sahabat-sahabatnya.
Beberapa saat kemudian Pandu sudah tinggal oleh teman-temannya. Sendirian di kelas membuat Pandu merasa bosan. Ia juga sedang tidak ingin menonton permainan basket, karena pasti akan membuat heboh yang anak-anak cewek.
Tiba-tiba saja bayangan Aden melintas di benaknya, kemudian Pandu berpikir, mengobrol dengan Aden untuk membahas soal acara arisan ibunya jauh lebih menyenangkan, dari pada harus menonton basket karena ia tidak ikut main.
Sejurus kemudian Pandu bergegas berjalan keluar dari kelasnya untuk menemui Aden, di luar sekolah.
Semoga aja Aden belum pulang, harap Pandu.
Sesampainya di gerbang sekolah, Pandu hanya berdiri mematung. Matanya menyipit, dan keningnya bergelombang, sambil menatap Aden yang ternyata masih berjulan di sana. Tentu saja Pandu merasa senang.
Tapi yang membuat kening Pandu bergelombang, ia hanya merasa heran. Ia melihat ada Lukman bersama dengan Aden.
Kenapa Lukman di sana?
Apa ini alasan Lukman tidak ikut main basekt?. Ah tidak mungkin. Pandu tidak pernah berpikiran negative sama Lukman. Karena sejauh ini, sejauh yang ia lihat, Lukman adalah sahabat terbaiknya.
Ada perasaan tidak suka saat melihat Aden terlihat begitu akrab dengan Lukman. Keduanya tidak berhenti tertawa sambil mengobrol.
Tapi Lukman memang anak yang supel dan pandai bergaul, sehingga baru beberapa jam kenal dengan Aden, Aden sudah merasa akrab, dan juga nyaman mengobrol dengan Lukman.