"Apa syaratnya, Uncle?" Andika memandang wajah Amurwa dengan pandangan penuh permohonan. Sebagai seorang anak yang masih kecil ia seharusnya tak pernah berpikir bagaimana mengganti ayah dengan yang baru, namun Andika yang sudah berkali-kali disakiti oleh Tuan Kusuma merasa sangat terluka dan kecewa. Kekecewaannya tidak mudah untuk diobati dan disembuhkan dengan harta yang selalu ayahnya berikan kepadanya.
Berkali-kali Andika memohon kepada ayahnya agar memperhatikan dia dan mamanya, namun Tuan Kusuma seakan abai. Ia sama sekali tak pernah memenuhi keinginan anaknya dan yang lebih menyakitkan lagi adaah jawaban ayahnya yang mengatakan kalau dia bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan dirinya dan mamanya.
"Minta ijin sama mommy dan papa kamu. Kalau mereka mengijinkan, aku ijinkan kau menginap di rumahku. Tapi kalau mereka menolak, maka kau harus rela untuk tinggal di rumahmu. Uncle sebenarnya tak keberatan untuk tinggal bersamamu di rumah. Tapi tetap saja restu Tuhan ada pada restu orang tua. Uncle tidak mau kau kesulitan dalam kehidupanmu hanya gara-gara kau mengikuti emosimu, Tuan Muda."
Andika kesal karena yang muncul saat ini adalah Amurwa, jiwa yang tenang dan selalu emah lembut yang membuat hati Andika meleleh karenanya, namun Amurwa sama sekali tak pernah mau melanggar aturan dan norma kehidupan. Ia selalu berjalan lurus mengikuti arah yang benar tanpa sekalipun berniat membelokkannya.
Mendengar jawaban Amurwa, Andika mengerucutkan bibirnya seolah ia merasa bahwa syarat yang diajukan oleh Amurwa adalah syarat yang sulit. Andika memandang wajah Amurwa dengan tatapan lesu. Ingin sekali ia katakan bahwa Amurwa jahat seperti saat dia mengatakannya kepada Maminya, namun ia segera mengurungkan niatnya.
"Bagaimana? Apakah sanggup?"
"Uncle temani aku pamit pada mereka!"
Amurwa mengangguk. Ia nuntun Andika untuk melangkah mendekati Padmasari dan menjabat tangannya. Andika menatap wajah Maminya mencoba menarik perhatian. Padmasari menatap Amurwa lalu kembali menatap Andika.
"Mami, Maafkan Dika, ya."
Padmasari mengangguk. ia bahagia karena Amurwa bisa mengendalikan emosi anaknya. Ia merasa sangat lega karena tidak harus menahan rasa kesal sepanjang hari karena ternyata Dika bisa dikuasai oleh Amurwa dengan mudah.
"Boleh ya, Dika tidur di rumah Uncle?"
Mendengar permintaan kedua anaknya, Padmasari terpana. Ia barus saja lega karena Andika menjadi anak manis dengan meminta maaf, ternyata kini permintaannya benar-benar membuat ia sesak napas. Padmasari ingin menggeleng namun Amurwa menggelengkan kepalanya. Padmasari kembali menatap Andika dan menyentuh pundaknya lalu mengajaknya duduk. Ia elus pundak anaknya, mencoba memberitahu perasaannya.
"Bagaimana Mami akan tidur kalau tidak ada kamu di sisi, Mami? Kalau kau tinggalkan Mami bersama Uncle, aku dengan siapa? Selama ini bukannya kau tahu kalau kau adalah sahabat Mami? Sahabat yang selalu menemani Mami dimana pun Mami berada. Apakah kau tega meninggalkan Mami bersama Papi yang sama sekali tidak . . . ."
Padmasari tidak melanjutkan kalimatnya. Ia sesak karena ia membayangkan akan berdua dengan suami dingin yang tidak berkeinginan menyentuh dirinya. Andika menunduk. Ia merasa trenyuh dengan Maminya dan membenarkan kalau dia pergi, Maminya akan mnderita sendiri.
"Mami, aku minta maaf. Aku hanya ingin menginap saja satu malam. Tapi kalau Mami keberatan, Andika tidak apa-apa. Aku kasihan sama Mami yang sudah membesarkan Dika selama ini."
Padmasari mengangguk. dalam hati ia memang benar-benar bingung dengan situasi yang bagi orang mungkin sangat mudah, namun tidak bagi dirinya. membiarkan Anaknya dengan orang lain dan dirinya hanya berdua dengan karang es, dia merasa tak sanggup karena akan ikut membeku juga.
"Minta ijin sama Papi, kalau Papi mengijinkan maka Mami juga akan mengijinkan."
"Terima kasih ya Mi. Mami memang sellau mengerti dengan aku. Mami memang yang terbaik. Mami selalu ada untukku."
Andika mencium punggung tangan mamanya berkali-kali. Ia benar-benar bahagia mendengr persetujuan dari maminya. Dengan cepat ia bangkit dan menarik tangan Amurwa untuk melangkah meninggalkan Padmasari menuju kamar Tuan Kusuma.
Andika berlari dengan masih menarik tangan Amurwa, seolah dia sudah tidak sabar kalau dirinya ingin meninggalkan mansion orang tuanya. Melihat kebahagiaan Andika, Amurwa mengikuti langkah Andika. Ia tidak akan ikut campur dalam urusan apapun kalau memang Tuan Kusuma tidak memperlakukan keluarganya dengan buruk.
Tok tok tok
"Masuk!"
Andika memandang Amurwa yang berdiri di belakangnya. Ia benar-benar berdebar saat papanya menyuruhnya masuk. Kebahagiaan yang tadi muncul kini entah kemana, digantikan oleh rasa khawatir dia akan diperlakukan dengan kasar seperti saat sebelumnya.
Melihat Andika resah, Amurwa segera menuntun tangan Andika dan mendorong daun pintu berbahan kayu jati perlahan. tangannya mendorong tubuh Andika perlahan agar anak itu mau maju tanpa ragu-ragu.
"Uncle"
Amurwa menganggukkan kepala ketika Andika memandangnya, seolah memberi kekuatan agar anak kecil itu berani mengambil resiko atas semua tindakannya.
"Masuklah!"
Mendengar perintah Tuan Kusuma, Andika maju. Tangannya masih menggandeng tangan Amurwa lalu mendekatkan tubuhnya pada Amurwa saat dia sudah dekat dengan Tuan Kusuma.
"Papi . . . ."
"Hem"
Amurwa memandang Tuan Kusuma dengan sorot mata tajam mendengar Tuan Kusuma hanya mendehem saat Andika memanggilnya. Amurwa kesal karena sikap tak bersahabata yang ditunjukkan Tuan Kusuma membuat Andika gelisah.
"Aku mau minta ijin."
Tuan Kusuma hanya memandang Andika sesaat, membuat tubuh Andika bergetar. Amurwa masih menunggu adegan selanjutnya. ia berharap Tuan Kusuma berbesar hati untuk memahami perasaan anaknya dan membiarkan Andika pergi bersamanya di rumah dinasnya.
"Andika ingin tidur di rumah Uncle, apakah boleh?"
Tuan Kusuma mengangguk. ia sama sekali tidak memiliki pilihan selain menyetujui keinginan anaknya. Ia kesal karena Andika tumbuh menjadi laki-laki pengecut. Laki-laki penakut yang ragu untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan dirinya mengikuti Amurwa, ia berharap anaknya bisa mengikuti jejak laki-laki yang selalu setia mengawalnya.
"Terima kasih, Papi."
Tuan Kusuma mengangguk sekali lagi. Tidak ada kalimat yang bisa ia ucapkan. Entah mengapa lidahnya benar-benar kelu dan kaku. Untuk mengucapkan ya saja sangat berat dan Tuan Kusuma tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk.
"Ayo, Uncle, Papi mengijinkan aku."
Amurwa mengangguk. ia pandang Tuan Kusuma dan berpamitan kepadanya. Tuan Kusuma mengangguk lalu memandang Andika yang berbinar karena anggukan kepalanya. ada rasa sedih yang mendalam yang ia rasakan kala ia menyadari anaknya sendiri lebih memilih bersama laki-laki lain daripada bersama dengan dirinya di rumah sendiri.
Andika meninggalkan kamar pribadi Tuan Kusuma dengan langkah ringan dengan terus dalam pengawasan Tuan Kusuma yang kini menangis tanpa air mata. Ia benar-benar bahagia. Langkahnya ringan tanpa beban. Wajahnya nampak ceria berbanding terbalik dengan kejadian awal sebelum Amurwa membawanya berkeliling kompleks dengan Jeremy.
"Uncle, besok kalau Uncle pergi, ajak aku juga ya. Aku ingin sekali jalan-jalan dan keliling kota bersama Mami."
"Uncle sih mau-mau saja, tapi apakah Papi menyetujui?"
Andika menunduk. Pertanyaan Amurwa memang selalu mudah, namun jawabannya entah mengapa menjadi selalu sulit karena semua berhubungan dengan kebijakan yang dibuat oleh Ayahnya.