"Mami yang sakit, Uncle. Aku baik-baik saja, hanya lelah."
Andika mengerucutkan bibirnya. melihat kelakuan Andika, Amurwa nampak sangat merasa bersalah. Ia tahu beberapa bulan ini absen mengunjungi Andika. Beberapa kali juga, Andika gagal menemuinya di rumahnya karena ia harus menemani Tuan Kusuma melakukan negosiasi dengan klien. Beberapa kali Tuan Kusuma menerima ancaman pembunuhan dan beberapa kali, Amurwa berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik.
Keberhasilan itulah yang membuat Tuan Kusuma enggan melepaskan dan membiarkan Amurwa bersantai sejenak dengan Andika. Amurwa menarik napas dalam.
"Sayang, maafkan Uncle, ya. Aku janji . . . ."
"Tidak usah janji deh, Uncle. Aku sama sekali tidak mau mendapatkan janji palsu lagi. Papi juga sering mengucapkan janji akan memberi waktu untukku dan mami tapi kenyataannya sampai enam tahun ini papi sama sekali tidak mau memenuhi janjinya."
"Kau enam tahun? Kapan kau ulang tahun, Sayang? Uncle ingin sekali memberi hadiah untuk ulang tahunmu."
Andika mencebikkan bibirnya. kesal sekali dirinya mendengar pertanyaan tak penting dari bibir laki-laki yang selalu dikaguminya.
"Bahkan hari ulang tahunku saja, Uncle sudah lupa. Biasanya kan Uncle yang menjadi orang pertama yang mengucapkannya. Meski saat itu Uncle tidak memberikan hadiah kepadaku, aku sangat bahagia karena aku masih diperhatikan. Sekarang, walaupun Uncle akan memberiku apapun, aku sama sekali tidak ingin mengungkapkan kapan ulang tahunku. Tidak akan."
Amurwa diam. ia sadar dengan kesalahan yang sudah dilakukannya. Mengabaikan Andika sama dengan menorehkan luka kepada anak laki-laki yang menaruh banyak harapan kepadanya.
"Uncle minta maaf, sayang. Uncle akan berusaha untuk menjadi diriku sendiri sebelum menjadi kepala keamanan. Aku . . . ."
"Sudahlah, Uncle. Aku tutup panggilanmu ya. Aku lelah."
Tanpa menunggu jawaban Amurwa, Andika segera mengakhiri panggilan. Ia lempar ponselnya ke sudut ranjangnya lalu turun dan melangkah menuju balkon kamarnya. Andika duduk di bangku panjang yang sengaja ia minta kepada Bryan agar ia bisa menikmati lalu lalang para bodyguard di halaman rumahnya. Ia ingin belajar banyak dari mereka yang bekerja keras hanya untuk menjaga keluarganya.
"Kau selalu bilang begitu kan? Selalu ingin seperti Amurwa yang menjadi orang kepercataan Tuan Kusuma? Mengacalah kau, agar kau tidak kebablasan mimpinya."
Suara percakapan para bodyguard sampai di telinga Andika. Andika memasang mode waspada kepada para bodyguard. Ia ingin sekali mencuri dengar apa yang mereka katakan tentang Amurwa, orang yang digadang akan menjadi ayahnya kelak.
"Kau masih ingat kan dulu dia siapa? Dia yang hanya seorang penjaga kandang kuda, bisa naik pangkat seperti sekarang, kenapa aku tidak bisa?'
"Bisa saja kalau kau merupakan keturunan raja besar di Jawa ini. kekuasaan kakeknya Amurwa bahkan sampai ke mancanegara. Baca sejarah tentang Sri Rajasa. Kau pasti akan terpana. Itu kakeknya Amurwa."
"Tetap saja kita sebagai manusia wajib berusaha, Kakang. Usaha tidak akan menghianati hasil. Kita harus banyak berlatih ilmu bela diri, kalau perlu berguru pada Tuan Amurwa agar diberi kekuatan yang sama dengan dirinya."
"Huft, kekuatan yang terhebat itu kekuatan milik Tuhan. Jangan lupakan itu."
Plak
Sebuah tamparan keras terdengar di telinga Andika. Ia terkejut, mendengar betapa kerasnya tamparan yang mendarat entah dimana.
"Auw, kau ini selalu memukulku. Mengapa tidak sekalian membunuhku saja?"
"bodoh sekali kalau aku membunuhmu. Aku akan mendapatkan masalah besar dari Tuan Kusuma. Walau kau hanya bodyguard biasa, Tuan Kusuma tidak akan membiarkan anak buahnya yang setia dibunuh. Ingat itu!"
"Aku tahu. Tapi jangan sekali-kali memukul seperti tadi. Sakit tau?"
"Aku tidak sakit."
"Kau . . . ."
"Ha ha ha"
Percakapan mereka membuat Andika sedikit membuka mata dan perasaannya kepada ayahnya. Orang yang selama ini ia anggap sebagai orang jahat yang sama sekali tidka memiliki hati, ternyata orang baik di mata anak buahnya.
"Mengapa dengan orang lain kau terlihat baik, sedang di mataku kau tetap saja papi yang menyebalkan, Pi? Kapan kau akan mengubah sudut pandangku kepadamu?"
Andika menatap ke arah lain, dimana di sana sedang bekerja para bodyguard yang sedang berlatih menembah. Beberapa kali lima orang dengan papan tembak yang berbeda menembakkan pelurunya. Jarak pandang yang cukup jauh membuat Andika harus mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya bertaut menjadi satu.
"Apakah ini rumah hanya berisi orang-orang yang berlatih bela diri tanpa ada yang berlatih adab dan budi pekerti? Betapa malangnya nasibku kalau begini. Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang keras hati dan ibu lemah lembut yang putus asa karena perlakuan Papi."
Andika menatap langit, seolah mengajukan pertanyaan kepada Tuhan mengapa dia harus dilahirkan dari keluarga yang tak normal seperti teman-temannya.
"Kalau aku boleh memilih, aku ingin seperti Willy yang lahir dari keluarga biasa dan hidup normal seperti manusia pada umumnya."
"Tapi apa mungkin aku bisa mencapai cita-citaku yang ini? aku bahkan sudah terlanjur lahir tanpa bisa menolak. Aku lahir dari bibit seorang Tuan Kusuma yang arogan dan dari seorang Ibu yang tersiksa secara batin, nyaris depresi." Andika masih bermonolog. Ia tidak menyadari bahwa dari bawah ada yang sedang tersenyum sambil memandangnya. Beberapa kali orang itu melambaikan tangannya pada Andika agar ia turun dan menemuinya namun beberapa kali ia gagal.
"Tuan Muda"
Entah panggilan yang ke berapa. Andika menoleh ke sumber suara dimana di sana sudah berdiri laki-laki yang sangat ia rindukan, sedang melambai sambil tersenyum kepadanya.
Andika segera berlari meninggalkan balkon dan mengabaikan tatapan Mamanya yang masih merebahkan tubuhnya di ranjang.
Andika terus berlari hingga ia bisa mencapai tangga. Di sana Tuan Kusuma sedang melangkah mendekatinya. Andika menghentikan langkahnya dan menunduk. ia benar-benar kesal karena kehadiran ayahnya sama sekali tidak tepat di suasana yang tidak mendukung.
"Ehm"
Andika semakin menundukkan kepalanya mendengar ayahnya mendehem. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menyapa laki-laki jahat yang selalu menyakiti dia dan mamanya.
"Apakah kau sama sekali tidak ingin memandang wajah Papi?"
'Em, bu-bukan tidak mau, Papi. A-aku, aku . . . ."
Tuan Kusuma memandang anaknya yang nampak ketakutan melihatnya. Ia melangkah mendekati anaknya dan berjongkok di hadapannya. Ia kesal sekali melihat anak laki-laki yang pemalu bahkan cenderung ketakutan kepadanya. Tangan Tuan Kusuma terjulur mencoba memegang wajah Andika yang menunduk agar mau menatapnya dengan serius, namun bukan membiarkan Tuan Kusuma, Andika justru mundur dan berlari ke ruangannya. Ia tutup pintunya dan menguncinya dari dalam. andika berlari menuju ranjang dan menutup tubuhnya yang asih bergetar karena ketakutannya melihat tindakan yang dilakukan oleh ayahnya.
"Jangan papi, jangan. Aku sama sekali tidak ingin mengulang kejadian waktu itu. Aku tidak akan memaafkanmu. Tidak akan. Aku tidak akan memaafkanmu, Papi"