"Aku telah dipanggil ke dunia lain. Dan biasanya, pada saat seseorang dipanggil ke dunia lain, orang tersebut akan diberkahi semacam kemampuan spesial. Satu-satunya kemampuan yang kudapat di dalam dunia yang berbeda ini adalah--- Tu--Tunggu sebentar, kalau kuingat-kuingat lagi, bukankah aku tidak mendapatkan kemampuan apapun...?"
"Em...? Ada apa, Lort? Kepada siapa kau berbicara barusan?"
Seorang gadis memanggilku dari seberang meja tempatku duduk.
Satu-satunya hal yang kudapatkan bukanlah kemampuan spesial ataupun senjata legendaris, melainkan seorang rekan yang sangat tidak berguna.
"Tidak. Kau abaikan saja kata-kataku barusan."
Rekan yang kudapatkan untuk berpetualang bersamaku adalah seorang gadis yang merupakan putri dari raja iblis. Memang terdengar hebat, tapi sampai saat ini jujur saja aku belum menemukan letak kegunaan dari dirinya.
"Pagi-pagi sudah bersikap aneh begitu... apa kau kurang tidur?"
"Tidak... tidak, kok."
Kami sekarang berada di Kota Asick, kota untuk para petualang pemula.
Sepertinya, dunia ini memakai setting peradaban yang ada pada abad pertengahan.
Rumah-rumah yang ada di kota hampir seluruhnya dibuat dengan batu bata merah, itulah yang dapat membuatku berpikir seperti itu.
Jalanannya juga terasa seperti di eropa pada zaman abad pertengahan. Tanahnya juga sudah diaspal, meskipun terkesan lebih kasar jika dibandingkan dengan yang ada di era modern, tapi menurutku itu tidak terlalu buruk.
Mengetahui jika jalanannya sudah diaspal saja sudah mengagumkan.
Sudah satu minggu berlalu sejak kami terakhir kali mengambil quest. Uang yang kami dapatkan dari quest itu juga sebentar lagi sepertinya akan habis.
Kami harus segera mengambil quest lagi...
Masalah uang benar-benar merepotkan... aku tidak menyangka jika diriku akan sangat kesulitan saat berurusan dengan sesuatu yang melibatkan uang.
Yah, meskipun aku sebenarnya memiliki alasan tertentu mengapa ingin terburu-buru dalam mengambil quest, sih...
Aktivitas harian kami hanya menghabiskan waktu dengan bersantai di dalam Guild seolah-olah seperti tidak ada masalah hidup yang perlu dipikirkan.
Aku melihati kartu petualangku yang kuletakkan di atas meja.
Statusnya belum meningkat sama sekali sejak hari itu.
Yah, kurasa aku juga masih dalam tahap perkembangan. Itu juga hanyalah nilai, angka yang tidak akan menentukan kemampuan asli--
Rord, dia ini... lagi-lagi dia memesan susu, ya. Aku jadi penasaran mengapa dia tidak memesan minuman selain susu itu...
Meminum susu putih itu dengan lahap, Rord sampai mengeluarkan suara dari lehernya.
Kelihatannya itu enak sekali... apa rasanya benar-benar senikmat itu...? Sampai mengeluarkan suara begitu...
Setelah meneguk setengah gelas penuh susu itu, ia lalu meletakkan gelas tersebut ke meja.
"Uwaah... Enak sekali..."
Menyentuh wajahnya sendiri dengan telapak tangannya, ia lalu memasang senyuman gembira pada wajahnya yang blepotan itu.
"Apa rasanya benar-benar seenak itu?"
"Benar! Soalnya, akhir-akhir ini terasa panas. Apa kau mau juga?"
Tidak menjawab pertanyaan Rord, aku beranjak dari dudukku dan meregangkan tubuh sembari menguap untuk melepaskan otot dari peristirahatannya karena sudah terlalu lama berdiam diri.
"Em? Mau kemana kau, Lort?"
"Aku ingin melihat papan permintaan sebentar."
"Kalau begitu, tunggulah sebentar, aku akan segera menghabiskannya."
"--Tidak, kau tunggu saja di sini."
Jika dia ikut bersama denganku seperti sebelumnya, akan jadi masalah jika kami malah menerima quest yang berbahaya sama seperti saat kami menginvestigasi dungeon itu.
Yah, lagi pula sekarang aku juga memiliki prioritas baru yang sangat penting.
Aku tidak ingin dia mengacaukannya...
Aku pergi ke papan permintaan untuk mencari quest yang cocok untuk pemula seperti kami.
Setiap kali melihat papan misi, aku selalu merasa jika ada sesuatu yang aneh ( janggal? ) sedang terjadi pada diriku.
Tetapi, aku sudah mulai mengabaikannya dan menganggap jika itu merupakan hal yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Yah, meskipun aku masih merasa sedikit penasaran sih...
Di dunia ini, permintaan yang diajukan benar-benar sangat berbeda dengan game MMO yang pernah kumainkan.
Bukankah seharusnya ada quest seperti 'Mencari kucing yang hilang' atau 'Mengambil tanaman herbal' yang biasanya ada di game-game MMO manapun. Padahal quest-quest tersebut normalnya akan selalu ada untuk para pemula.
Quest yang menguntungkan, jikalau aku teliti lagi lebih lanjut, sebenarnya, hampir semua permintaan yang tertulis di sini memang sangat menguntungkan.
Jujur saja, jika mengambil quest dengan upah sebanyak itu, seharusnya kami sudah tidak akan kerepotan lagi dengan masalah uang.
Tetapi, yang jadi masalahnya itu...
— Basmi naga yang menganggu penduduk Desa Eastray.
— Menelusuri bangunan terkutuk *Persyaratan: Arch Priest.
— Aku telah dikutuk agar hanya dapat bisa menggunakan perisai, jadi latihlah daya tahanku *Persyaratan: Salah satu job tingkat atas dari Fighter.
— Ingatanku hilang, bantu aku mengingat kembali memori lamaku.
Tingkat keseimbangan yang ada di dunia ini, benar-benar tidak teratur dengan baik.
Bukankah ini adalah kota untuk para petualang pemula?
Jika bahkan para pemula harus menerima permintaan seperti ini setiap harinya, aku jadi penasaran bagaimana permintaan pada kota yang lokasinya dekat dengan Kastil Raja Iblis.
Standar pemula yang ada di dunia ini benar-benar sangat berbeda dari apa yang kutahu.
Aku sadar, jika bertahan hidup di dunia lain itu memang sulit. Tetapi, bukankah seharusnya aku diberikan semacam kemampuan khusus sebagai ganti untuk menutupi kekurangan itu...?
Berjalan ke samping untuk melihat quest-quest yang lain dengan tetap menghadap ke papan, aku pun dengan tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang.
Efek dari tabrakan itu membuatku terjatuh, tapi beruntungnya pantatku dululah yang jatuh lebih dulu mengenai lantai. Karena saking terkejutnya, aku pun secara tidak sengaja telah menutup mataku dalam prosesnya.
"Aduh... apa yang barusan itu...?"
Saat aku membuka mata, tepat di hadapanku, aku dapat melihat seorang gadis cantik sedang duduk dengan kaki yang dibuka dengan sedikit lebar, sepertinya itu tidak disengaja karena akibat dari 'tabrakan' itu.
Di wajahnya, ia terlihat memasang ekspresi marah, kelihatannya ia kesal karena sudah kutabrak... Tidak, maksudku karena telah 'saling bertabrakan' denganku.
Ekspresi marah itu ia tunjukkan dengan menyeringaiku, menggerenyotkan bibir ( mulut, muka ) hingga gigi putihnya itu dapat terlihat dari luar.
Menurunkan alis dan mengerutkan dahinya sembari memasang wajah kesal, ia yang sedang berada di lantai bersamaku lalu membuat suara dari dalam mulutnya sebagai pertanda kesal.
"Cih. Hey, kau! Kau pikir apa yang sudah kau lakukan?! Sampai berani-beraninya menabrakku seperti itu?!"
Mengatakannya dengan nada kesal, sekujur tubuhnya terlihat kaku dan ia pun mengeluarkan semacam suara geraman dan desis dari mulutnya sembari menungguku bertindak.
Mengeluarkan bunyi desis bagaikan seekor kucing yang sedang marah, ia lalu menatapku dengan tatapan yang sangat tajam.
"Kenapa kau hanya diam saja?! Sebaiknya kau punya alasan yang jelas karena telah menabrakku!"
Sepertinya, aku telah menambah masalah baru lagi...
Memerhatikan wajah kesal gadis berambut pirang itu dari dekat, sepucuk kertas pun terlihat terbang dan lalu terjatuh mengenai wajahku dengan tepat sasaran.
Kenapa keberuntungan selalu menjauh dariku sih, wahai dewa?
Aku mengambil kertas yang ada di wajahku dan melihat gadis berambut pirang itu kembali, tetapi, tidak pada wajahnya secara langsung.
Gadis itu lalu beranjak dan berdiri dengan tegap. Ia lalu memegang pinggulnya dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya ia biarkan di depan.
Kini, aku akhirnya dapat melihat sosoknya secara penuh...
Gadis yang sedang penuh dengan kemarahan itu memegang pinggulnya dengan tangan kanannya, menatap diriku yang berada di bawah. Ia memiliki rambut pirang panjang yang terlihat halus dan lembut dengan gaya rambut bak kumis yang melebar ke samping masing-masing sisi telinganya.
Tingginya tidak terlalu jauh berbeda denganku, mungkin sedikit lebih pendek dariku yang memiliki tinggi sepanjang 165cm.
Tidak seperti Rord, kurasa dia seumuran denganku, mungkin umurnya sama dengan Mbak Senya.
Matanya berwarna biru, saat aku melihat kedua matanya yang bersinar itu, satu hal yang langsung terlintas pada pikiranku adalah lautan. Warna dan bentuk mata yang indah bagaikan air laut yang penuh dengan kebebasan.
Kulitnya berwarna putih merona dan terlihat sangat mulus. Sepertinya, dengan warna kulit yang cantik itu, ia akan bisa lebih leluasa dalam memilih warna pakaian yang ingin dia pakai.
Dari posisi sekaligus sudut ini, aku dapat melihat perut dan pusarnya dengan jelas karena kancing baju yang tidak ia pasang dengan sengaja pada bagian bawah bajunya.
Yang ia pakai sebagai atasannya adalah baju berwarna biru kehijau-hijauan berkancing, dan memakai model lengan panjang. Aku tidak tahu jika itu sengaja dibuat seperti atau tidak, tetapi, lengan bajunya sepertinya terlalu panjang sehingga dapat memenuhi seluruh tangannya, meskipun mengetahui hal itu, ia tidak menggulungnya dan hanya membiarkannya saja tetap seperti itu.
Baju yang ia pakai juga memiliki kerah berwarna putih yang meluas sampai pada bagian kedua payudaranya yang berukuran 'Medium' is Premium. Di kerahnya, terdapat dasi wanita berwarna merah sama seperti aksesoris berupa pita yang ia gunakan di kepalanya.
Bawahan yang ia pakai adalah rok pendek berwarna putih dengan motif berwarna biru kehijau-hijauan pada bagian bawahnya.
Tidak hanya itu saja, ia juga memakai sepasang stocking berwarna putih yang satu set dengan garter belt yang ia gunakan. Jika dilihat seperti itu, kemungkinan besar celana dalam yang ia pakai sepertinya jugalah berwarna putih sama seperti dengan kedua stockingnya itu.
Bentuk dan tubuh posturnya terlihat sangat feminim, dan ekspresi wajahnya selalu terlihat 'Tidak senang' mungkin seperti itu.
Aku mencoba untuk bangun dan berdiri menghadapinya.
"E--Erm... aku minta... maaf...?"
Karena merasa gugup untuk menghadapinya secara langsung, aku menggaruk kepala belakangku dengan tangan kanan sembari melihat ke arah lain.
"Oi, kenapa kau melihat ke arah lain?! Tataplah mataku dengan jelas!"
Ketahuan ya...
Jujur saja, meskipun sedang marah-marah seperti ini, tapi tetap saja aku tidak bisa menatap secara langsung mata seorang gadis cantik sepertinya.
Berbeda dengan pada saat berbicara dengan Senya yang selalu bisa mencairkan suasana, berbicara pada gadis dengan sifat sepertinya membuatku gugup tak karuan karena diriku yang jarang berbicara dengan seorang perempuan sebayaku.
Menyadari diriku yang tidak menatap matanya, ia mungkin merasa sedikit kesal karena lawan bicaranya tidak menatapnya dan mencoba untuk menghindarinya.
"Oi! Sudah kubilang untuk menatap mataku kan!"
Mencoba untuk meliriknya, tiba-tiba saja gadis itu lalu memegang wajahku dan memaksaku untuk menatap matanya secara langsung.
"Sini!"
Eh. Eh. Eh. Eh! Eh?!
Dekat! Dekat! Dekat! Dekat Sekali!
Apa yang dia lakukan?!
Menyadari jika wajahku sedang disentuh oleh seorang perempuan, dengan spontan aku menyingkirkan tangannya dari wajahku.
"Mi--Minggir! Kenapa kau malah menyentuhku, sih--?"
"Oi! Kenapa kau malah protes?!"
Gadis-gadis yang ada di dunia ini memang tidak kenal malu atau bagaimana sih? Memegang wajah seorang laki-laki seenaknya saja... Apa urat malu mereka sudah putus semua...?
Lagi pula, bukankah sudah sewajarnya jika aku protes...? Emm... tidak, kalau dipikir-pikir kenapa aku malah menyingkirkan tangannya dari wajahku...? Padahal itu tadi merupakan kesempatan yang sangat bagus...
Tetapi... ternyata rasanya lembut juga...
Aku masih bisa merasakannya, sensasi pada saat wajahku disentuh oleh jari-jari kedua tangannya yang lembut itu.
Menyentuh pipiku sendiri dengan tangan untuk mengingat kembali sensasinya.
"Oi!"
"Apa lagi? Aku sudah bilang kalau aku minta maaf kan?"
"Sikap dan caramu dalam melakukannya itu tidak benar. Ulangi lagi!"
Orang ini... maunya apa, sih...?
Gadis ini, tidak ada ramah-ramahnya sama sekali...
"Kenapa harus kuulangi lagi? Yang penting itu adalah fakta jika aku sudah melakukannya kan?"
"Kau ini memang buruk sekali ya... aku tidak menerimanya! Aku tidak akan menerima sikap burukmu itu! Hmph!"
Orang ini... sepertinya dia adalah karakter dengan sifat 'Himedere' yang sering kudengar itu.
Menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya dan merasa diri mereka layaknya seperti seorang tuan putri kerajaan. Mereka yang selalu merasa harus dihormati oleh orang lain...
Jika keinginan seorang Himedere seperti dirinya tidak dipenuhi, mereka akan marah. Mereka bahkan juga memilih-milih untuk orang yang akan mereka ajak bicara.
Meminta maaf dengan benar mungkin akan menyelesaikan masalah ini dengan cepat, tetapi, akan lebih baik jika dia harus sadar diri akan sikapnya yang menganggu orang-orang di sekitarnya itu.
"Minta maaflah! Dengan benar! Maka pada saat itu jugalah, aku akan benar-benar memaafkanmu."
"..."
"Apa? Kenapa kau hanya diam saja? Apa mungkin kau sudah menyadari kesalahanmu?"
Mengabaikan si Himedere itu dan berbalik ke belakang, aku melangkahkan kakiku untuk menjauh dengan memegang sepucuk kertas di tangan kananku.
Menyadari diriku yang hendak pergi dan mengabaikan situasi, gadis berambut pirang itu lalu dengan cepat memegang bahu kiriku dengan tangan kanannya untuk menghentikanku.
"Hey, tunggu dulu!"
Aku diam sebentar sembari menatap wajahnya yang seolah-olah menunjukkan jika ia sedang tidak senang.
"Kenapa kau menghentikanku? Lepaskan."
"Aku tidak suka ini. Kenapa kau malah pergi begitu saja tanpa menyelesaikan masalah yang harus kau hadapi?"
Tanpa menyelasaikan masalah...?
"Sudah kubilang lepaskan, bukan?"
"Jawablah pertanyaanku dulu!"
Oi, oi, jangan berteriak begitu dong.
Gara-gara dirimu, kita jadi dilihatin begini kan...
Dikarenakan percakapan yang kami lakukan secara terus-menerus mengeluarkan suara yang keras, itupun membuat pandangan orang-orang yang berada di sini perlahan demi perlahan mulai tertuju pada kami berdua.
"Kenapa-kenapa?"
"Apa ada perkelahian?"
"Siapa yang sedang bersama si 'Cahaya' itu?"
"Hey, bukankah dia itu si 'penculik anak kecil'?
Gemuruh dan pembicaraan orang-orang yang berada di dalam guild terhadap kami berdua tidak bisa dihentikan.
Hey, bukankah yang terakhir itu sudah jelas tertuju untukku? Lagi pula, siapa sih orang yang bertanggung jawab untuk menyebarkan rumor seperti itu terhadapku...?
Gawat. Semakin lama ini terus berlanjut, tatapan orang-orang selalu bertambah tiap detiknya.
Dan juga... gadis sialan ini, sepertinya dia dengan sengaja melakukannya untuk memojokkanku.
Memasang wajah kesal seolah-olah hanya dirikulah yang salah dalam situasi ini... bukankah dia benar-benar licik...?
Dilihat dari manapun juga, di saat seorang pemula dan seorang gadis cantik sedang berseteru, bukankah tentu saja orang-orang di sekitar akan mendukung gadis cantik itu?
Ini diskriminasi namanya!
Situasi ini tidak bisa dibiarkan untuk berlanjut lebih lama lagi.
Aku mengambil napas yang dalam dan berkata: "Beradu argumen dengan orang bodoh hanya akan membuang-buang waktu, maka dari itulah aku tidak sudi untuk melakukannya. Kalau begitu, dadah, sampai jumpa lagi, dan kuharap kita tidak akan berjumpa lagi."
Aku menyingkirkan tangannya dari bahuku.
"He--Hey, tunggu! Ada apa dengan jawabanmu itu?! Aku sangat tidak menyukainya!"
Mengabaikan untuk mendengar perkataan dia yang lain, aku berjalan dan pergi menemui Barten di loket staf.
"Dilihat dari wajahmu yang memasang wajah 'tidak senang' itu... ada apa, Lort? Apa kau terlibat masalah lagi?"
"Kau mengatakannya seolah-olah aku ini sudah sering dapat masalah ya..."
"Habisnya, memang benar begitu kan?"
"Ya, terus terang saja, kau benar sih..."
"Yah, tentu saja aku benar. Kali ini apa?"
Menanyakan masalah yang baru saja dan sedang terjadi padaku, ia meletakkan sikunya ke meja dan menyentuh wajahnya dengan telapak tangannya. Sepertinya dia bersedia untuk mendengarkanku...
"Seorang 'Himedere' yang tidak sengaja kutabrak marah-marah padaku meskipun aku telah mencoba untuk meminta maaf padanya. Yah, yang benar itu seharusnya 'saling bertabrakan' sih."
"Oi! Sedang apa kau di sana?! Masalah kita belum selesai!"
Berbicara padaku dibalik layar, aku mengabaikannya dan terus lanjut berbicara dengan Barten.
Barten melihat ke arah belakangku dan menyadari sesuatu.
"Oh, Lucia ya... wajar saja jika kau terlibat masalah dengannya yang memiliki sifat lumayan berbalikan dengan perempuan berambut biru itu..."
Jadi namanya Lucia ya... yah, wajar saja jika dia memiliki sifat seperti itu...
"Em? Apa kau mengenalnya, Barten?"
"Yah, begitulah. Dia cukup terkenal di sini. Apa kau tidak tahu...? Dia disebut dengan 'Cahaya' yang merupakan kebalikan dari gadis berambut biru yang terakhir kali bersamamu itu."
'Cahaya'? 'Berambut biru'? Apa mungkin maksudnya Mbak Senya? Jadi dia orang yang terkenal... terlebih lagi perempuan pula... Sepertinya aku benar-benar terlibat dalam masalah yang seharusnya tidak kualami.
"Rambut biru... apa yang kau maksud itu Senya?"
"Ya, ya, benar. Lucia adalah sang Successor of Light dan Senya juga memiliki title yang setara dengannya."
" 'Successor of Light'? Apa itu? Semacam gelar pahlawan?"
"Yah, kira-kira begitu..."
Jadi Senya merupakan salah satu pahlawan juga... tidak heran jika dia sangat kuat. Dan gadis ini, Lucia, aku malah terlibat masalah dengannya...
"Jangan abaikan aku, hey!"
Apa yang harus kukatakan pada Mbak Senya nanti jika aku telah membuat masalah dengan salah satu temannya...?
Eh? Tunggu. Temannya?
"Kali ini dia bersama dengan siapa?"
" 'Kali ini'? Emm... kurasa dia sedang sendirian saja... kenapa kau menanyakannya?"
" 'Sendirian'? Tumben sekali... gadis kecil yang malang..."
Apa yang dia maksud? Dan juga 'Gadis kecil'? Perhatikanlah dirimu sendiri juga, Barten.
"Oi! Kenapa kau tidak mendengarkanku?! Kau ini pengecut ya?!"
Perkataan demi perkataan ia lontarkan padaku, tapi aku hanya mengabaikannya dan tetap lanjut berbicara dengan Barten.
"---Ah, iya. Terima kasih ya, Barten. Aku berhutang padamu untuk yang satu ini."
"Ya, sama-sama. Jika kau merasa sudah tidak bisa lagi, jangan ragu-ragu untuk membatalkannya ya...!"
Barten itu, mengatakannya seolah-olah aku sudah pasti akan gagal saja...
"Jangan memicu 'flag' begitu dong!"
Aku menemui Rord yang sedang duduk di kursi kosong di sana, sepertinya dia tidak mengetahui perseteruan antara diriku dengan gadis pirang bernama Lucia itu.
"Oh? Kau sudah kembali, Lort?"
"Ya, ayo pergi."
"Apa kau sudah menemukan quest-nya?"
"Ya begitulah, makanya ayo. Akan buruk nantinya jika kita tetap berada di sini lebih lama lagi."
"Em? Kenapa?"
"Akan kujelaskan nanti, untuk sekarang, ayo berdirilah."
Rord pun beranjak dari duduknya dan kami pun pergi menuju ke pintu untuk keluar.
"Hey, Lort. Ini hanya perasaanku saja, atau memang jika dari tadi orang-orang guild memang melihat ke arah kita...?"
"Ya, itu hanya perasaanmu saja."
"Oh, begitu."
Aku keluar dari guild dan menutup pintu Guild yang terbuka lebar itu, di detik-detik terakhir, aku bisa mendengar suaranya...
"He--Hey, kau..! Hadapilah aku secara langsung! Kau mau kabur ya!? Sudah kuduga jika kau ini ternyata memang benar-benar seorang pe---"
Aku tidak terlalu dapat mendengar kata yang terakhir, tapi aku yakin jika dia berkata bahwa diriku adalah seseorang yang 'pemberani'.
"Em? Apa kau mendengar sesuatu, Lort?"
"Mungkin kau hanya salah dengar saja..."
"Benarkah...? Tapi rasanya suara itu seperti berasal dari dalam guild... sepertinya, akhir-akhir ini aku sering 'diganggu', ya... belakangan ini aku juga merasa lebih panas. Apa mungkin jika aku telah terkena kutukan, ya?"
"Kutukan...? Bukankah bisa saja itu dikarenakan kau terlalu sering bergadang akhir-akhir ini, Rord?"
"Emm... kalau dipikir-pikir benar juga..."
"Ya, itu benar. Kau harus menjaga waktu tidurmu dengan baik, lo. Dengan begitu, maka kesehatanmu akan semakin membaik, tentu saja termasuk pendengaranmu."