Happy Reading ❤
"Mas, jangan lupa hari ini aku mau periksa kandungan."
"Kok hari ini? Jadwal periksa kan masih seminggu lagi."
"Ada yang harus kukonsultasikan pada dokter Ayu."
"Ada masalah, sayang?"
"Nggak tau nih mas, tapi beberapa hari terakhir ini anak-anak nggak seaktif biasanya. Apa karena kesempitan di dalam situ?"
"Kamu sudah telpon dokter Ayu?"
"Sudah, semalam aku langsung telpon dia dan bikin janji temu dengannya. Aku disuruh datang jam 4 sore. Kamu bisa?"
"Jam setengah empat aku mungkin baru selesai meeting dengan klien. Kalau tidak kena macet, mungkin sekitar jam 4-an aku baru bisa sampai di rumah sakit."
"Nanti aku bawa mobil saja. Kita bertemu di sana. Kebetulan aku nanti juga mau ke butik sebentar."
"Jangan! Aku akan minta Restu untuk reschedule pertemuan besok."
"Tapi ini kan klien penting, mas."
"Kamu dan anak-anak lebih penting untukku."
"Tapi mas, dalam bisnis kamu harus ....."
"Tidak ada yang mengharuskanku lebih mengutamakan pekerjaan. Apakah kamu takut bisnisku gagal dan kita hidup susah?"
"Dari sejak pertama aku melamarmu, aku nggak pernah takut hidup susah selama aku menjalaninya bersamamu, mas."
⭐⭐⭐⭐
"Lho, mami ngapain kemari?" tanya Gladys heran saat melihat maminya memasuki ruang kantornya. "Mami sama siapa?"
"Sama Dudung. Tadi Khansa bilang kamu mau periksa kandungan. Setahu mami belum jadwalnya kan. Ada apa sayang? Ada masalah dengan kandunganmu?" Cecile balik bertanya dengan wajah cemas.
"Belum tau nih, mi. Tapi Adis merasa mereka tidak seaktif biasanya."
"Kehamilanmu sudah masuk bulan ke 7 atau 8 ya? Bayi-bayi kalian pasti kesempitan di dalam sana," Cecile tertawa berusaha menghilangkan kecemasan anaknya.
"Semoga hanya karena itu. Mami tunggu sebentar ya, Adis selesaikan tanda tangan dokumen ini dulu. Kita tunggu mas Banyu datang. Setelah itu kita berangkat."
⭐⭐⭐⭐
"Maaf bu Gladys, sepertinya kita harus mengambil tindakan cesar. Saya khawatir terjadi sesuatu pada salah satu anak kalian." Ucapan dokter Ayu bagaikan godam yang menghantam kepala Gladys.
"Maksud dokter apa?" Gladys mencengkeram erat tangan Banyu. "Ini kan belum waktunya melahirkan. Apakah ada yang yang tidak beres pada anak-anak kami?"
"Maaf pak, bu... dengan berat hati saya harus menyampaikan bahwa salah satu dari anak kalian.... telah meninggal dunia." Banyu dan Gladys terdiam mendengar ucapan dokter Ayu. "Itu sebabnya pergerakan janin tidak seaktif biasanya. Kami khawatir kalau tidak segera dilakukan cesar untuk mengeluarkan janin yang sudah meninggal itu bisa membahayakan saudaranya."
"NGGAK!! NGGAK MUNGKIN ANAKKU MENINGGAL! TIGA HARI YANG LALU SAYA MASIH BISA MERASAKAN PERGERAKAN MEREKA! DOKTER PASTI SALAH!"
"Tenang bu Gladys. Tahan emosi anda. Hasil pemeriksaan dengan USG memperlihatkan jantung salah satu anak kalian sudah tidak berdetak dan kembarannya pun mulai melemah. Kalau tidak segera dilakukan cesar, saya khawatir kembarannya pun tidak dapat kami selamatkan."
"Dok, tolong lakukan apapun yang dianggap perlu untuk menyelamatkan anak kami. Tolong dok," pinta Banyu dengan suara bergetar. "Saya akan tanda tangani surat persetujuannya. Tapi tolong selamatkan anak kami."
"Baiklah pak, kami akan melakukan sebisa kami untuk menyelamatkan anak kalian. Semoga saja ada OR yang available. Sementara ini bu Gladys langsung masuk ruang perawatan dulu untuk persiapan operasi ya."
"Mi, ini nggak mungkin. Ini pasti mimpi," Gladys meracau sambil menangis dalam pelukan Cecile, yang juga tampak terpukul. "Apa salah Gladys sehingga Allah menjatuhi hukuman seperti ini? Apakah Allah nggak sayang sama Adis?"
"Istighfar sayang, istighfar. Jangan pernah memiliki pemikiran seperti itu. Allah sangat baik sama kalian. DIA tidak mengambil kedua anakmu sekaligus. Walaupun DIA mengambil salah satu dari si kembar, tapi mami yakin seyakin yakinnya kalau itu semua demi kebaikan kalian." Cecile berusaha menenangkan putri kesayangannya walau dalam hatinya ia merasa hancur.
Sejam kemudian Gladys sudah berada di dalam ruang perawatan. Dokter memutuskan dua jam lagi untuk melakukan operasi. Banyu duduk memeluk Gladys yang terus menangis dalam pelukannya. Aminah dan Cecile duduk berdampingan saling menguatkan. Sementara Khansa, Ghiffari, Gibran dan Vania menanti di depan kamar. Mereka tidak sanggup melihat Gladys yang terus menerus menangis. Sementara itu Praditho tak bisa hadir karena sedang berada di Italia. Menurut kabar, Praditho langsung menyewa jet pribadi untuk pulang ke Indonesia.
"Mas, maafkan aku." Gladys terus meracau sambil menangis. "Maafkan karena aku nggak bisa menjaga anak kita."
"Sshh... sudah sayang. Tak ada yang perlu disesali. Ini semua kehendak Allah."
"Tapi mas, kalau saja aku lebih cepat memeriksakan kehamilanku saat itu, pasti ..."
"Sudahlah sayang, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Banyu memeluk erat Gladys.
"Nak Adis banyak-banyaklah istighfar dan minta kepada Allah agar anak kalian yang satu lagi dapat diselamatkan dan operasinya berjalan lancar."
"Mas, aku mau wudhu. Aku mau shalat dulu sebelum operasi dilakukan." Banyu menuruti keinginan Gladys dan mengangkatnya ke kamar mandi untuk berwudhu.
⭐⭐⭐⭐
Suasana di depan kamar operasi terasa tegang. Mereka semua berkumpul menunggu operasi dilaksanakan. Menurut perkiraan dokter operasi memakan waktu satu hingga satu setengah jam. Operasi baru berjalan satu jam. Namun satu jam itu terasa lama bagi mereka. Ghiffari dan Gibran berjalan mondar mandir. Aminah, Cecile dan Khansa duduk di kursi yang tersedia. Sementara Vania kembali bertugas.
Tak lama terlihat Lukas datang tergopoh-gopoh. Sepertinya ia juga baru selesai praktik.
"Ghif, gimana Gladys?" tanya Lukas penuh kecemasan. "Mana Banyu? Kenapa dia tidak terlihat disini?"
"Banyu lebih memilih berada di musholla sebelah sana. Sepertinya ia membutuhkan waktu sendiri."
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Entahlah. Menurut cerita mami, Gladys memeriksakan diri di luar jadwal periksa karena merasa bayi-bayinya tak seaktif biasanya. Ternyata salah satu anaknya telah meninggal dunia."
"Ya Allah, kasihan sekali Gladys." Wajah Lukas tampak terluka seolah dialah yang kehilangan anak. Hingga kini rasa cintanya pada Gladys masih belum hilang sepenuhnya. Namun ia kini mencoba merubah perasaannya terhadap Gladys menjadi cinta kakak kepada adiknya. "Kuharap ia kuat menghadapi semua ini."
"Insyaa Allah dia kuat. Gladys wanita kuat. Ia pasti merasa hancur, namun aku yakin dia akan kuat menghadapinya. Insyaa Allah kami berdua mampu melewati masalah ini," ucap Banyu yang baru kembali dari musholla. Matanya terlihat merah. Sepertinya ia habis menangis.
"Yang sabar ya Nyu," Lukas mengulurkan tangan menyalami Banyu. Ia menggenggam erat tangan Banyu, seolah ingin memberi kekuatan.
"Insyaa Allah. Makasih bro."
Tak lama dokter Ayu keluar dari ruang operasi. Wajahnya tampak lelah namun ia tetap tersenyum. Banyu segera mendekat.
"Pak Banyu? Alhamdulillah kami sudah berhasil mengeluarkan bayi-bayi bu Gladys. Seperti yang ditunjukkan oleh USG, salah satu anak bapak meninggal. Untungnya kami masih bisa menyelamatkan yang satu lagi. Namun kondisinya cukup lemah. Sementara ini kondisi bu Gladys saat ini cukup stabil. Sebentar lagi bayinya akan dibawa keluar oleh suster. Nanti bapak silahkan mengikuti suster."
"Terima kasih dok karena sudah menyelamatkan anak dan istri saya."
"Ini semua kuasa Allah pak. Baiklah saya masuk kembali untuk mempersiapkan nyonya Gladys kembali ke ruang observasi."
Sepeninggal dokter Ayu, kaki Banyu mendadak lemas. Untunglah ia berdiri di dekat tembok. Ia langsung bersandar di tembok. Gibran langsung mendekati Banyu dan memeluk erat sahabat sekaligus adik iparnya ini. Kali ini pertahanan Banyu jebol. Ia tak sanggup lagi menahan tangisnya.
Sementara itu Aminah dan Cecile duduk dalam diam dengan tangan saling menggenggam.
"Selamat ya bro, sekarang kalian sudah menjadi orang tua," Lukas menepuk-nepuk punggung Banyu yang masih menangis di dalam pelukan Gibran.
Tak lama kemudian, suster keluar membawa bayi di dalam inkubator. Semua langsung mendekati ingin melihat bayi tersebut. Sekali lagi air mata Banyu menetes melihat anak lelakinya yang baru saja hadir ke dunia. Kali ini air mata kebahagiaan yang membasahi pipinya. Yang lain pun terlihat lega melihat bayi tersebut.
Sebelum suster membawa bayinya Banyu mendekat ke inkubator, dan persis di telinga kanan ia meng-azankan anaknya lalu membacakan iqomah di telinga kirinya. Setelah itu dengan ditemani Gibran, ia mengikuti suster untuk membersihkan bayinya.
Saat Banyu tak ada tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka dan tampaklah dokter Ayu keluar dari dalam ruang operasi dengan wajah cemas.
"Kenapa dok?" tanya Ghiffari. Sementara itu Aminah dan Cecile ikutan menjadi cemas melihat wajah dokter Ayu yang langsung mendekati dokter Lukas.
"Maaf dok, ada sedikit masalah. Dokter bisa ikut ke dalam?" tanya dokter Ayu pada Lukas.
Tanpa banyak tanya Lukas langsung mengikuti dokter Ayu. Sementara yang lain semakin cemas. Kenapa Lukas harus ikut masuk? Apa yang terjadi.
"Nak Ghiffari, apa yang terjadi? Tadi dokter Ayu bilang apa?" tanya Aminah khawatir.
"Saya juga kurang tahu bu. Saya cuma mendengar dokter Ayu bilang ada sedikit masalah, makanya...." Belum selesai Ghiffari bicara, Cecile telah ambruk. Untunglah ada Khansa yang sempat menahan dirinya sehingga Cecile tak jatuh ke lantai.
⭐⭐⭐⭐
Gladys terbangun dari tidurnya. Badannya terasa ringan. Ia melihat sekelilingnya. Dinding kamar yang serba putih mengelilinginya. Kenapa sepi? Mana Banyu, mami dan ibu? Apakah mereka semua tidak menemaniku? Bukankah tadi ada bang Gibran dan bang Ghif beserta istri mereka. Apakah mereka semua pulang untuk beristirahat?
Tiba-tiba Gladys mendengar suara tangis bayi. Ia mencari-cari asal tangisan tersebut, hingga akhirnya ia melihat sebuah tempat tidur bayi di pojok kamar. Gladys mencoba bangkit. Awalnya ia merasa kakinya seolah menapak awang-awang. Ia terus mencoba hingga akhirnya ia bisa menjejakkan kakinya di lantai kamar yang terasa dingin. Dengan langkah tertatih Gladys menghampiri tempat tidur tersebut. Perlahan ia membuka selimut namun ia tak melihat sosok bayi sama sekali. Ia angkat selimut itu tetapi tetap ia tak menemukan apapun. Sementara itu tangisan bayi terus terdengar.
Gladys melihat sekelilingnya seraya ia mencoba mendengarkan lagi dengan seksama. Matanya tertumbuk pada sebuah pintu. Suara tangisan itu berasal dari sana. Gladys semakin penasaran. Ia mencoba melangkah mendekati pintu itu. Saat tiba di depannya, hati Gladys diliputi keraguan. Ada apakah di balik pintu tersebut? Benarkah ia akan menemukan sosok bayi yang dari tadi menangis? Saat Gladys mengulurkan tangan hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba gagang tersebut bergerak seolah dari arah berlawanan ada yang ingin membuka pintu tersebut. Gladys diam terpaku. Ia menahan nafas saat pintu itu perlahan terbuka. Sesaat ia tak bisa melihat apa yang ada di balik pintu karena adanya cahaya putih yang menyilaukan mata. Gladys mencoba mengerjapkan matanya dan dia melihat dua sosok yang melangkah memasuki ruangan. Apakah itu ibu dan mami? tanya Gladys.
Setelah beberapa saat matanya dapat beradaptasi dengan cahaya tersebut, Gladys dapat melihat sosok-sosok tersebut. Itu adalah... eyang Tari? om Pram? Lho, kenapa mereka? Mereka kan sudah.... Apakah itu artinya aku sudah.... Nggak! Nggak mungkin! Gladys mendadak panik. Nafasnya terasa sesak, tubuhnya terasa dingin, kakinya terasa lemas.
Gladys berusaha mencari pegangan dan akhirnya ia berhasil duduk di atas ranjang rumah sakit. Disitu Gladys terduduk sambil memegang dada kirinya. Ia merasakan sakit yang hebat di dadanya. Sakit yang belum pernah ia alami. Ya Allah, apakah ini artinya waktuku telah habis? Apakah ini artinya aku tak bisa bertemu dengan mas Banyu dan anak-anakku? Tunggu dulu, apa itu yang berada dalam dekapan eyang Tari? Apakah itu bayi? Apakah itu bayi yang sedari tadi ia dengar tangisannya? Mungkinkah ini saatnya aku berkumpul dengan mereka? Bersama Eyang Tari, om Pram dan anakku? Lalu bagaimana dengan mas Banyu dan anakku yang satu lagi? Ya Allah, aku ingin bertemu mereka. Setidaknya berikan aku kesempatan memeluk mereka untuk terakhir kalinya. Dada Gladys terasa sakit saat ia memikirkan hal tersebut.
⭐⭐⭐⭐