Perjuangan dan pengorbanan tidak pernah mengkhianati hasil..
Semua indah pada waktunya
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Dys, elo sudah siap belum?" Khansa mengetuk kamar Gladys. Biasanya dia langsung masuk, tapi kali ini dia tidak berani karena ada Banyu di dalam kamar.
Ya sejak drama di rumah sakit sehari sebelumnya, kini Gladys dan Banyu sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Dan keesokan harinya mereka ke KUA untuk menandatangani berbagai berkas. Semalam, Banyu sudah sekamar dengan Gladys. Pulang dari rumah sakit mereka belum tidur sekamar karena Gladys masih ngambek akibat drama satu babak itu.
"Mas, aku buka pintu menemui Khansa dulu ya. Kalau nggak ditemui dia nggak akan berhenti mengetuk pintu," Gladys menyingkirkan tangan Banyu yang memeluk pinggangnya.
"Jangan lama-lama ya sayang. Nanti aku kangen," jawab Banyu dengan mata tertutup.
"Ih, lebay banget sih." Gladys bergegas turun dari ranjang. Sebelum membuka pintu ia menyambar bathrobe yang ada di atas sofa.
"Apaan sih, Sa? Masih juga jam segini," ucap Gladys setengah berbisik. Dilihatnya Khansa sudah rapi.
"Elo lupa hari ini acara resepsi lo dengan Banyu?"
"Resepsi apaan? Gue aja baru dua hari yang lalu nyampe sini. Mana sempat gue ngurusin ini itu," sahut Gladys bingung.
"Suami lo itu selama dua minggu disini sudah sibuk menyiapkan berbagai hal untuk acara resepsi kalian. Sekarang sudah jam 9 pagi. Sudah mulai tinggi tuh mataharinya. Elo kan harus ke Salon buat perawatan. Buruan mandi ya. Jam 10 kita berangkat."
Setengah nggak mudeng, Gladys kembali ke tempat tidur. Ia masih mencoba mencerna ucapan Khansa. Gladys memandangi Banyu yang masih pulas tertidur. Ia masih ingat bagaimana kemarin rasanya ingin mati saja saat mendengar kondisi Banyu yang dikabarkan parah. Dulu ia pikir hidupnya akan baik-baik saja tanpa pria ini. Namun saat mendengar Banyu hampir mati, nyawanya seolah ikut terbang. Untunglah itu semua hanya sandiwara yang disiapkan untuk mempersatukan mereka.
Perlahan Gladys menelusuri garis wajah Banyu dengan ujung jarinya. Diperhatikannya lengan kekar Banyu yang semalaman memeluknya. Wajah Gladys memanas saat mengingat kejadian tadi malam. Saat ia menyadari harus berbagi tempat tidur dengan pria yang kini menjadi suaminya. SUAMI. Ah, satu kata yang memiliki banyak makna. Kata yang menggambarkan sosok pria yang mencintainya. Kata yang menggambarkan sosok pria yang akan melindungi seumur hidupnya. Pria yang dicintainya selama beberapa tahun terakhir ini.
Flashback on
"Sekarang kita benar-benar sudah resmi menjadi suami istri secara agama dan hukum. Dan sudah sah dengan adanya buku ini," ucap Banyu sambil memeluk Gladys dari belakang. Tangan kanannya memegang dua buah buku nikah.
Gladys diam tak bereaksi dengan ucapan Banyu. Bukan karena ia tak suka, bukan karena ia tak bahagia namun sebenarnya ia bingung harus bersikap bagaimana. Mereka hanya berdua di dalam kamarnya yang telah diubah menjadi kamar pengantin yang sangat indah. Harum maskulin dari tubuh Banyu mengalahkan wewangian aroma terapi yang sengaja dipasang di kamarnya. Belum lagi nafas hangat Banyu yang menerpa lehernya. Kecupan-kecupan kecil yang mendarat di leher jenjangnya membuat bulu kuduknya meremang. Antara takut, excited, gugup, gemetar, semua menjadi satu.
"Sayang, kamu kenapa?" Banyu memutar tubuh Gladys yang terasa kaku dalam pelukannya. Sejak masuk kamar dan ia membuka jilbab istrinya, Gladys tak bersuara sama sekali. Bahkan desah nafasnya pun tak terdengar. Padahal sedari tadi Banyu sengaja menciumi lehernya. Banyu mengangkat dagu Gladys agar mata Gladys menatapnya. Masyaa Allah, wajah cantik yang selama ini hadir dalam mimpinya, kini nyata ada di hadapannya. Tubuh mungil yang membuatnya selalu ingin memeluk dan melindunginya, kini ada dalam dekapannya. Menempel sempurna dengan tubuhnya. Entah bagaimana tubuh mungil itu terasa pas dalam pelukannya.
"Kamu menyesal menikah denganku?" Gladys menatap mata Banyu. Kini ia bisa melihat binar-binar cinta di mata pria itu. Pria yang telah menjadi suaminya. Gladys merasa malu karena mata itu memandangnya dengan intens, bahkan sedikit mesum.🤭
"Princess, katakan padaku apakah kamu menyesali pernikahan ini?" Sekali lagi Banyu bertanya.
"Enngh.. nggak mas. Aku sama sekali nggak menyesali pernikahan kita. Walaupun kamu harus membuat drama satu babak yang membuatku ingin mati. Aku sangat bahagia sekarang kita sudah halal." Saat itu juga Gladys mengutuk dirinya sendiri karena menggunakan kata itu. Ya ampun, apa yang Banyu pikirkan saat mendengar kata halal keluar dari mulutku. Jangan-jangan ia berpikir aku ini mesum. Gladys langsung menutup mulutnya dan memandang Banyu dengan perasaan malu.
"Halal. Hmm.. pemilihan kata yang menarik," goda Banyu.
"Kurasa itu artinya aku memiliki kuasa sepenuhnya terhadap bibir ini." Banyu mengecup ringan bibir Gladys.
"Aku memiliki kuasa penuh untuk leher jenjang ini yang sering membuatku pusing hanya dengan memandangnya tanpa bisa mengecupnya." Banyu mengecup leher Gladys. Kali ini Banyu menghisap dan meninggalkan tanda di leher mulus itu. Lalu kecupannya pindah ke bahu Gladys yang masih tertutup gamis. Sambil melakukan itu tangan Banyu bergerilya membuka risleting baju Gladys.
Saat itu Gladys mengetahui bukan hanya dirinya yang gugup. Tangan Banyu terasa bergetar saat membuka risleting bajunya dan kemudian tangan itu mengelus punggung Gladys yang telah terbuka.
"Dengan kata halal itu berarti aku memiliki hak untuk meraba dan mencium setiap jengkal tubuh ini." Kini Banyu menurunkan gamis yang dipakai oleh Gladys sehingga kini tubuh polos istrinya hanya tertutup bh dan celana dalam saja. Banyu mengangkat tubuh Gladys ala bridal dan meletakkannya dengan lembut di atas ranjang besar yang ada di kamar itu.
Di atas ranjang, tubuh Gladys bergetar hebat saking gugupnya padahal Banyu hanya memandangi dirinya dari kepala sampai ujung kaki tanpa menyentuhnya. Banyu mengetahui hal tersebut. Ia tersenyum menenangkan Gladys.
"Kamu kenapa? Tubuhmu gemetar. Kamu kedinginan?" Gladys menggeleng sambil tangannya menutupi dada dan bagian intimnya. Padahal bagian tersebut masih tertutup.
"Gugup?" Gladys mengangguk ragu. Lalu ia menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala. Gladys mendengar Banyu terkekeh. Gladys sangat malu. Tubuhku pasti jelek dan Banyu pasti menganggapku aneh.
Banyu menyibakkan selimut yang menutup wajah Gladys. Perlahan ditelusurinya garis wajah Gladys dengan ujung jemarinya. Lalu ia mulai menciuminya. Kening, pipi, dagu, mata, dan hidung. Sengaja Banyu tak mencium bibir Gladys, karena ia tahu bila ia melakukan itu maka ia takkan bisa menahan diri. Padahal ia tahu di bawah sana ada yang memberontak meminta jatah. Tapi biarlah untuk malam ini ia akan menahan diri karena ia tahu malam ini Gladys belum siap.
"Nggak papa kok kalau gugup. Bukan cuma kamu yang gugup. Aku juga sama. Nih lihat tanganku gemetar." Banyu memperlihatkan tangannya yang gemetar. "Bagaimana nggak gemetar kalau baru kali ini berhadapan sedekat dengan wanita yang cantiknya melebihi bidadari. Setengah naked pula."
"Aaah... mas Banyu bikin aku malu aja niiih." Gladys kembali menutup wajahnya dengan selimut. Banyu tergelak melihat tingkah istrinya. Ya Allah, akhirnya aku bisa menyebut dia istriku, batin Banyu.
"Dek Adis," panggil Banyu mesra. Bulu kuduk Gladys meremang karena suara Banyu yang terdengar seksi di telinganya.
"Iya mas Banyu?" jawab Gladys tak kalah mesra. Sontak keduanya tertawa ngakak karena merasa aneh dengan hal tersebut.
"Princess, mulai malam ini aku akan menjadi imam dalam shalatmu dan dalam hidupmu." bisik Banyu setelah tawa mereka mereda.
"Iya mas. Aku sudah nggak sabar menjadi makmummu. Setelah kita bertemu kembali dan hatiku mulai terbuka, walau memiliki keraguan aku selalu berdoa kepada Allah agar kamu bisa menjadi imam dalam hidupku. Aku ingin kita shalat malam bersama. Aku ingin diajari mengaji olehmu."
"Masyaa Allah, semoga ini semua bukan sekedar mimpi. Kalau memang ini mimpi, aku nggak mau terbangun untuk selamanya."
"Iissh jangan gitu. Kalau nggak bangun-bangun itu artinya kamu meninggal dong. Ini bukan mimpi. Aku pun berpikiran sama denganmu. Namun saat bibir kita bertaut, kulit kita bersentuhan dan aku dapat mencium harum maskulinmu, serta aku bisa tidur bersandar di dadamu seperti ini menyadarkanku bahwa ini semua real. Apalagi saat kurasakan ada yang bangun di bawah sana," goda Gladys sambil terkikik.
"Kok tahu?"
"Terasa pas kamu tadi membuka gamisku."
"Bagaimana dia tidak terbangun saat bidadari setengah telanjang ada di hadapanku. Bahkan dulu saat di Bali, mencium harum rambutmu saja mampu membuatku bergejolak. Apalagi sekarang," jawab Banyu seraya mengetatkan pelukannya.
"Tapi aku bisa mengerti kalau kamu memang belum siap, maka aku nggak akan memaksamu untuk melayaniku. Untuk malam ini biarkan kita tidur seperti ini, dengan kulit saling menempel dan berpelukan. Sudah lama aku membayangkan lenganku dipakai sebagai bantal oleh istriku tercinta."
"Siapa yang kamu bayangkan saat itu? Aku atau dia?" Pertanyaan jebakan, batin Banyu. Jawaban apapun yang kuberikan aku pasti salah, lebih baik aku diam. Tapi Gladys pasti akan terus menuntut jawaban. Harus pandai-pandai memilih jawaban nih.
"Tergantung, kamu menanyakan periode yang mana. Kalau periode sebelum kita bertemu ya aku membayangkan dia. Tapi setelah kita bertemu dan aku menciummu, maka sejak itu cuma kamu yang hadir dalam mimpi-mimpi liarku. Bahkan saat kuberpikir aku hanya mencintai dia dan menyuruhmu berhenti mengejarku, bayangan dirimu tetap hadir. Apalagi keluargaku tak henti-hentinya selalu menyebut namamu bagaikan mantra yang menyihirku sehingga aku tak bisa melupakanmu."
"Jawaban yang cerdas dan bijaksana. But I like it," puji Gladys sambil memberikan kecupan di bibir Banyu. Kali ini Banyu menahan tengkuk Gladys. Mereka berciuman seolah besok mereka tak bisa melakukan itu lagi. Mereka tumpahkan semua kerinduan selama ini ke dalam ciuman yang lembut dan terasa manis.
Flashback off
"Sudah puas menatap suamimu yang ganteng ini?" tanya Banyu dengan mata masih setengah tertutup. Ditariknya tubuh Gladys hingga jatuh ke atas dadanya. Kali ini Gladys tak menolak. Ia malah bergelung dalam pelukan Banyu. Ia tempelkan telinganya di dada Banyu dan ia dengarkan degup jantung yang membuatnya tenang.
"Mas, tadi Khansa bilang hari ini resepsi pernikahan kita?"
"Hmm... iya sayang." Banyu membuka matanya dan mencium pucuk kepala Gladys. Ia peluk erat tubuh istrinya.
"Mas, aku kan nggak minta diadakan resepsi. Menikah denganmu saja sudah merupakan anugrah terindah yang Allah berikan untukku. Aku nggak mau menyusahkanmu."
"Sst.. nggak ada yang menyusahkan kok. Kamu tahu sayang, ayah meninggalkan sejumlah dana yang hanya boleh kupalai untuk resepsi pernikahan dengan dirimu. Ya, hanya dengan dirimu. Kalau aku menikah dengan wanita lain, dana itu tak boleh kupakai."
"Om Pram? Darimana ia bisa seyakin itu mengenai kita?" Tanya Gladys dengan suara tercekat. Hatinya sangat sedih karena Pramudya tak bisa melihatnya menikah dengan Banyu.
"Mulai sekarang sebut dia ayah. Kalau ayah masih ada, beliau pasti bahagia sekali melihat kita akhirnya menikah. Dua bulan sebelum beliau meninggal, beliau melamar ibu dan mengajaknya rujuk. Alhamdulillah ibu menerima lamaran beliau. Jadi dua bulan terakhir dalam hidupnya ibu mendampingi ayah. Itulah saat kulihat ayah sangat bahagia. Menemukan kembali cinta sejatinya."
"Lalu bagaimana dengan kita? Apa kata ayah mengenai kita? Aku menyesal tak bisa mendampingi beliau di saat-saat terakhir hidupnya. Jangan-jangan kamu menikahiku karena takut dengan ancaman ayah."
"Hahaha.. ya nggak dong sayang. Ayahlah yang membukakan mataku betapa bodohnya aku karena melepaskan cinta sejatiku. Sebulan sebelum beliau meninggal, beliau memberitahu bahwa ia mencadangkan sejumlah uang untuk pernikahan kita. Bila kita tidak menikah, maka uang itu harus disumbangkan ke anak yatim. Beliau sangat sayang padamu. Beliau memintaku memperjuangkan dirimu. Ayah hanya menginginkanmu sebagai menantunya."
"Jadi ya setelah aku mendapat restu dari papi mami, aku langsung menyiapkan segalanya dibantu oleh bang Ghif dan mami. Kamu tahu sayang, mami sangat bahagia karena disertakan dalam persiapan resepsi kita. Beliau setuju dengan konsep pernikahan yang diajukan oleh bang Ghif. Katanya ini konsep yang sangat kamu inginkan untuk resepsi. Pernikahan yang sederhana, intim dan syahdu."
Gladys menatap Banyu tak percaya. "Nggak mungkin mami menurut begitu saja tanpa memaksakan kehendaknya, mas."
"Kamu melupakan kharisma seorang Banyu? Tukang sayur kesayangan ibu-ibu. Jangankan mami, eyang Tari saja kepincut sama aku. Kamu tahu sayang, menurut cerita mami, eyang Tari lebih setuju kamu menikah denganku." Banyu menyombongkan diri. Gladys dengan gemas mencubit pinggang Banyu.
"Iya eyang pernah bilang begitu saat aku menyiapkan pernikahanku dengan Lukas. Eyang kelihatan kecewa saat itu, namun ia pun tak menentang pilihanku."
"Berkat doa mereka semua kini mimpi kita menjadi kenyataan ya sayang. Aku sangat bahagia saat ini."
"Aku juga mas. I love you." Kalimat terakhir diucapkan oleh Gladys seraya menyembunyikan wajahnya di dada Banyu karena malu.
"I love you more honey."
⭐⭐⭐⭐