"Abang jahat," bisik Gladys sedih.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Bro, gimana agenda lo hari ini? Mau ikut kita jalan-jalan nggak? Anak-anak pada ngajak snorkling."
"Gue skip, Yud. Ada janji sama orang."
"Cewek ya?" tebak Yudi. Banyu hanya tersenyum. "Benar tebakan gue?"
"Kepo banget sih lo."
"Gimana nggak kepo kalau dari bangun tidur, muka lo cerah banget. Pulang dari pantai tambah cerah. Lo habis ketemu cewek bule ya? Janjian sama cewek bule?"
"Gue nggak demen yang import, Yud. Lokal aja nggak ada yang mau sama gue apalagi import. Hahahaha..."
"Merendah banget sih. Padahal di luaran sana gue yakin banyak yang banget yang mengharapkan elo jadi pasangan mereka."
"Nggak ada bro. Mana ada yang mau sama cowok miskin kayak gue. Hehehe.. gue cukup sadar dirilah." ucap Banyu merendah.
"Nggak percaya gue. Biar miskin, kalau ganteng kayak elo pasti banyak kok yang mau miara. Apalagi elo sarjana.
"Emangnya gue kucing. Sia**n lo Yud!"
"Coba aja lo deketin tuh tante-tante tajir pemilik katering rekanan kita. Gue yakin dia nggak bakal nolak elo. Apalagi gue tau banget tuh tante sudah janda. Cantik, bohay, tajir. Beeuuh... sikat bro!!" Banyu hanya tergelak melihat Yudi yang semangat menjodohkannya dengan pemilik katering rekanan WO Ghiffari. "Hidup lo pasti nyaman banget. Tinggal duduk manis, siap mengawal dia kemanapun dan pastinya siap melayani dia."
"Sin***g lo Yud. Elo aja yang deketin tuh tante."
"Linda mau gue kemanain? Bisa dimasukin penjara oleh bokapnya Linda kalau gue ingkar janji."
"Kok gitu? Hmm.. gue tau nih. Linda hamil ya?" tebak Banyu. Yudi mengangguk sambil nyengir.
"An**r... beneran?! Padahal gue cuma nebak-nebak doang. Kacau lo Yud. Gue pikir elo orang benar. Nggak taunya...."
"Mana gue tahan pacaran sama cewek seksi kayak Linda. Dia juga mau."
"Tapi lo cinta dia kan?"
"Iyalah. Kalau nggak cinta nggak bakalan gue kawinin, eh nikahin. Dia bukan cuma one night stand, bro. Beda sama cewek lain yang pernah gue ajak tidur." ucap Yudi santai.
"Gilaa... baj***an lo Yud! Buruan taubat lo! Gue nggak tau harus komentar apa soal ini."
"Cukup doain semoga gue jadi orang yang benar setelah menikah dengan Linda," ucap Yudi.
"Nggak usah nunggu nikah sama Linda untuk jadi orang baik, Yud. Mulai dari detik ini elo harus berubah menjadi orang baik."
"Siap pak ustadz. Gue cabut dulu ya. Anak-anak sudah nungguin gue."
"Jangan lupa barang-barang dibawa semua. Sekalian check out. Nanti pulangnya langsung ke hotelnya bang Ghiffari."
"Siap bro. Oh ya, kalau ada barang gue yang ketinggalan, simpenin ya. Oh ya, gue nyimpen ko***m di laci kamar mandi. Barangkali elo butuh. Hehehehe..." ledek Yudi sambil berlari menghindari sambitan sandal Banyu.
"Ka***t lo Yud!! Jangan samain gue sama elo ya!" teriak Banyu sambil tertawa mengiringi kepergian Yudi.
Banyu baru saja selesai shalat dzuhur saat bel pintu kamar hotelnya berbunyi. Banyu buru-buru merapikan sajadahnya dan membuka pintu kamar. Pasti itu supir yang dikirim Gladys.
"Tunggu sebentar ya p... Lho, kamu Dys?" Banyu terkejut melihat Gladys berdiri di depan kamarnya dengan menggunakan dress panjang tanpa lengan.
"Halo mas," sapa Gladys yang juga terpana melihat Banyu masih mengenakan sarung dan peci. Sesuatu yang baru pertama kali dilihatnya. "Maaf, aku nggak tahu kalau kamu sedang shalat."
"Ah nggak. Aku baru selesai shalat kok. Oh ya, kamu sama siapa kesini? Nggak jadi kirim supir?"
"Aku bawa supir kok. Dia menunggu di parkiran." jawab Gladys. "Hmm.. boleh aku masuk?"
"Kamu nggak takut berduaan sama aku di dalam kamar?" tanya Banyu.
"Ya nggaklah mas. Aku tahu kamu nggak akan berbuat yang aneh-aneh," jawab Gladys sambil tertawa.
"Ya sudah, masuk saja. Aku beresin tas sebentar ya. Tinggal masukin sajadah dan sarung ke tas ransel. Yang lain sudah beres. Kamu mau aku bikinin teh?"
"Biar aku saja yang bikin, mas."
"Memangnya bisa?" tanya Banyu sangsi.
"Bisalah. Kan aku pernah lihat dek Bila membuatkan ibu teh manis," jawab Gladys yakin.
"Ya sudah. Itu teh, gelas, gula dan tekonya di atas meja. Bikin 2 cangkir ya. Aku mau telpon resepsionis dulu untuk melaporkan check out rombongan. Kebetulan seluruh kru sudah berangkat jalan-jalan dari jam 8 tadi."
Tak lama Banyu melihat dua buah cangkir berisi air di atas meja. Sementara itu Gladys sedang ke kamar mandi. Banyu memperhatikan kedua cangkir tersebut. Kayaknya ada yang aneh, tapi apa ya? batin Banyu. Tak lama ia tergelak.
"Ada apa sih, mas? Ada yang lucu? Oh ya mas, ini punya kamu?" tanya Gladys dengan curiga saat keluar dari kamar mandi. Tangan kirinya membawa sesuatu. Banyu menghentikan tawanya dan betapa terkejutnya saat melihat Gladys memegang kotak ko***m.
"Kamu dapat dari mana?" Banyu balik bertanya. OMG itu kan ko***m punya Yudi. Ah, tuh anak ngapain sih bawa-bawa kayak begituan ke Bali. Padahal bulan depan sudah mau nikah sama Linda.
"Dari laci di kamar mandi. Ini punya kamu?" desak Gladys lagi. "Ngapain kamu simpan barang beginian di kamar hotel? Kamu tidur sama siapa? Aku nggak nyangka ternyata kamu sebejat ini, mas. Pantas saja bang Ghif nyuruh kamu menjauhiku. Ternyata kamu cowok br****ek!!"
"Hey.. hey.. hey... dengarkan dulu penjelasanku Princess." bujuk Banyu.
"Jangan panggil aku, princess lagi. Cowok br****ek kayak kamu nggak cocok menjadi calon suamiku. Ternyata di balik penampilanmu yang alim, kamu nggak jauh beda dengan cowok-cowok lain di luaran sana. Kelakuan kamu sama saja dengan Revan!!" omel Gladys panjang pendek dengan air mata berderai.
Banyu mendekati Gladys hendak memeluknya namun di dorong oleh Gladys sehingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang. Wah, ternyata tubuh mungil ini menyimpan kekuatan saat ia marah, pikir Banyu.
"Ngapain dekat-dekat?! Mau modus ya?! Jangan samakan aku dengan cewek-cewek liar yang kamu ajak tidur. Asal kamu tahu, aku bukan penganut free sex!" Gladys masih mengomel sambil menangis. Ia tak menyangka pria yang dipilihnya menjadi calon suami ternyata mengecewakannya.
Banyu kembali mendekati Gladys. Kali ini ia sudah siap seandainya Gladys kembali mendorongnya. Bahkan ia siap seandainya Gladys menumpahkan kekesalan dengan memukulinya.
"Jangan dekati aku! Pantas saja kamu membolehkanku masuk ke kamar ini. Ternyata kamu punya rencana jahat. Jangan-jangan saat aku di kamar mandi tadi, minumannya kamu masukkan sesuatu."
Tanpa mempedulikan omelan Gladys, Banyu menarik tubuh mungil Gladys ke dalam pelukannya. Hati Banyu lebih sakit melihat Gladys menangis daripada mendengar tuduhan Gladys terhadap dirinya. Tentu saja Gladys menolak pelukan Banyu. Namun kali ini tenaga Banyu lebih kuat. Karena kesal Gladys memukuli tubuh Banyu. Si pemilik tubuh membiarkan tangan-tangan mungil itu memukulinya. Hingga akhirnya tangan Gladys terkulai di dada Banyu dan si empunya tangan menangis dalam pelukan Banyu.
Dengan tubuh keduanya saling menempel, Banyu dapat mencium aroma manis parfum yang Gladys pakai. Aroma yang membuat perasaan Banyu tenang namun juga sedikit menggugah naluri kelelakiannya. Dengan berani Banyu mencium puncak kepala Gladys. Lagi-lagi wangi rambut Gladys menyentuh indera penciumannya. Entah mengapa sejak kemarin malam hatinya sangat merindu gadis galak ini. Apakah karena suasana romantis Bali mulai mempengaruhinya.
"Please mas, jangan bersikap manis padaku kalau kamu nggak bisa menerimaku," bisik Gladys yang masih terisak sambil bersandar nyaman di pelukan Banyu.
"Sudah selesai marahnya?" bisik Banyu. Kini tangannya menyentuh dagu Gladys untuk mengangkat wajah gadis galak ini. Satu tangannya masih di pinggang Gladys. Wajah Gladys menatap. Banyu dapat melihat sisa-sisa air mata di pipi Gladys. Dengan jemarinya Banyu menghapus sisa air mata itu. "Please, jangan menangis lagi. Kamu boleh marah, memakiku, atau bahkan memukulku. Tubuh dan hatiku kuat menerimanya. Namun hatiku tak kuat saat melihat air mata membasahi pipimu."
"Kamu yang membuatku menangis," bisik Gladys.
"Kenapa marah? Kenapa menangis? Karena ini?" Banyu mengambil kotak ko***m yang ada di tangan Gladys.
"Iya. Aku kecewa sama kamu mas. Ibu dan adik-adik juga pasti kecewa kalau melihat hal ini."
"Kenapa harus kecewa? Hanya sekotak k****m seharusnya tak membuat mereka, apalagi kamu, kecewa. Toh ini hanya sebuah alat kontrasepsi."
"Kok seenaknya aja bilang ini hanya alat kontrasepsi."
"Lho, apakah aku salah? Ini memang alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan kan? Masa sudah sebesar ini nggak ngerti, sih?" ledek Banyu sambil menjawil ujung hidung Gladys. Keduanya masih belum mengurai pelukan mereka. Keduanya tampak nyaman dengan posisi mereka saat ini.
"Buat apa kamu menyimpannya? Buat tidur sama perempuan lain? Buat main cewek? Apakah kamu sengaja berlagak alim padahal sebenarnya kamu nggak lebih dari seorang cowok bre....."
Gladys tak mampu menyelesaikan ucapannya karena keburu dibungkam oleh bibir Banyu. Kali ini bukan ciuman singkat yang Banyu berikan, namun ciuman lembut tanpa menuntut. Ciuman yang kembali menimbulkan gelenyar aneh di tubuh keduanya. Entah setan apa yang menyenggol keduanya, kali ini Gladys tidak menampar pipi Banyu. Ia membiarkan Banyu menciumnya, bahkan ia membalas ciuman itu walau dengan ragu. Harap diingat ini adalah kali ketiga bibirnya merasakan sentuhan bibir pria lain. Tangan Gladys mencengkeram kaos Banyu.
"Maaf," Hanya itu kata yang mampu Banyu ucapkan saat mereka melepaskan tautan bibir mereka. Muka keduanya memerah karena gairah dan juga malu.
"Kenapa kamu menciumku?" tanya Gladys sambil menundukkan wajahnya. Ia terlalu sibuk menenangkan debaran jantungnya yang selalu berkhianat disaat-saat seperti ini.
"Biar kamu berhenti mengomel. Dan karena aku ingin kembali mencicipi bibir yang mampu membuatku gelisah selama berhari-hari." bisik Banyu sambil mencium puncak kepala Gladys. "Kamu jangan sering-sering pakai minyak wangi ini."
"Kenapa?" tanya Gladys tak mengerti.
"Aku nggak mau ada pria lain yang memiliki pikiran nakal saat mencium harum parfummu ini. Kamu juga jangan sering-sering keramas."
"Kenapa? Biar nggak ada cowok lain yang mendekatiku?" tebak Gladys.
"Bukan itu alasannya, tapi ini demi kebaikan kita, lebih tepatnya demi kebaikan diriku sendiri," jawab Banyu. "Aku senang memelukmu. Harum rambutmu membuatku bergairah dan ingin menciummu lagi."
"Iih... mesum banget deh. Kenapa sih cowok selalu saja mesum? Nyebelin tau." omel Gladys sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Banyu. Namun Banyu tak mau melepaskannya. "Mas, lepasin dong."
"Nanti. Aku masih ingin memelukmu bukan karena melihatmu menangis atau marah atau bersedih. Aku hanya ingin memelukmu tanpa suatu alasan khusus."
"Mas, jangan mempermainkan hatiku kalau kamu tak menginginkan. Aku tak mau menumbuhkan harapan palsu di hatiku."
"Princess, maafkan aku karena pernah menolakmu. Maafkan aku karena pernah menjauh darimu."
"Nggak usah minta maaf. Aku tahu kamu melakukan itu karena disuruh oleh bang Ghif. Walau aku juga tau kamu melakukan itu karena kamu tak memiliki perasaan apapun kepadaku."
"Apakah tawaranmu untuk menjalani hubungan ini masih berlaku?"
"Maksudmu?"
"Biarkan aku mencoba belajar mencintaimu, Princess."
"Kenapa? Apakah karena ada lelaki lain yang siap mendampingiku?" Banyu mengangguk.
"Itu hanya salah satu alasan, Princess. Alasan lain karena bang Ghif tidak menolak bila aku menjadi pendampingmu."
"Bang Gib juga sama." Gladys tersenyum. "Mas, aku ingin menjalaninya bersamamu, tapi aku takut hatiku kecewa lagi. Apalagi sepertinya kamu belum bisa melupakan Senja."
"Dys, bantu aku untuk melupakannya dan mencoba berdamai dengan masa laluku."
"Termasuk berdamai dengan om Pram?"
"Darimana kamu tahu tentang lelaki itu?" tanya Banyu dingin.
"Mas, om Pram membutuhkanmu."
"Jangan sebut nama itu di depanku."
"Mas, dia ayahmu."
"Aku sudah nggak punya ayah." jawab Banyu dingin.
"Mas..."
"Princess, aku benar-benar tak ingin membahas hal ini. Biarkan hari ini kunikmati bersamamu." Gladys terdiam. Mungkin belum waktunya, batin Gladys.
"Oh ya, urusan ko***m belum selesai," Gladys berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kamu belum menjelaskan itu punya siapa? Aku nggak mau punya calon suami yang suka tidur dengan sembarang orang."
"Kalau buat tidur sama kamu gimana?" ledek Banyu.
"Iih.. mas Banyu mesum amat sih. Sama kayak bang Ghif nih." Gladys langsung membuang pandangnya ke arah jendela. Wajahnya memerah karena malu.
"Hahaha... ya nggak dong Princess. Itu bukan punyaku. Itu punya Yudi, teman sekamarku. Dia memang mesum. Nggak tau ngapain dia bawa-bawa itu. Padahal bulan depan dia akan menikah."
"Beneran? Mas Banyu nggak bohong?" tanya Gladys tak percaya. Banyu mengangguk meyakinkan Gladys.
"Wajahmu kayak Nabila kalau sangsi terhadap perkataanku atau Aidan. Kamu beneran sudah 24 tahun? Beneran sudah siap nikah?" ledek Banyu.
"Ih, mas Banyu apaan sih." Gladys pura-pura ngambek. "Oh ya, yuk kita berangkat."
"Tehnya nggak diminum dulu Dys?" Banyu menahan tawa saat mengatakan hal itu.
"Oh iya, aku lupa. Diminum yuk mas." Gladys mengernyitkan wajahnya saat meminum teh tersebut. "Ini apaan sih? Kok aneh banget. Kenapa warnanya masih kayak air putih gini. Ini gulanya kok nggak larut?"
"Kok nanya aku? Kan kamu yang buat. Kamu beneran bisa bikin teh?" Gladys mengangguk dengan ragu.
"Aku pernah lihat dek Bila bikin buat ibu. Tapi kenapa buatanku hasilnya beda dengan buatan dia ya?"
"Hmm.. kayaknya aku harus menimbang ulang keputusanku untuk melanjutkan hubungan ini."
"Kok gitu?" Wajah Gladys langsung menggelap. Banyu langsung tergelak melihatnya. "Tuh kan, mas Banyu meledek lagi."
"Princess, kayaknya kamu harus belajar lagi bagaimana membuat teh manis hangat buat calon suamimu ini."
"Ya ampuuun.. aku baru ingat sekarang. Aidan pernah kasih tahu kalau mau bikin teh atau kopi harus pakai air panas biar teh dan kopinya matang dan larut. Hehehe.. tadi aku pakai air mineral dari botol. Nggak dipanasin lagi." Wajah Gladys kembali memerah karena malu. "Nggak jadi pamer bisa bikin teh deh."
"Hmm... apakah kamu layak menjadi calon istriku?" ledek Banyu.
"Mas Banyu nyebeliiiin."
⭐⭐⭐⭐