Happy Reading ❤
"Dys, kamu dimana?" tanya Cecile melalui telpon. Saat ini Cecile sudah berada di ruang VIP restauran yang ada di hotel keluarga. Keluarga Lukas sudah datang 15 menit sebelum keluarga Hadinoto - Van Schuman datang.
"Adis masih di butik, Mi. Tadi ada customer VIP yang datang mau melihat motif terbaru yang kita luncurkan. Gladys shalat isya dulu, baru nanti ke sana."
"Jangan lama-lama ya. Lukas dan keluarganya sudah menunggu dari tadi."
"Lagian ngapain sih ngajak ketemuan pas hari kerja. Jalanan jam segini kan juga padat, Mi."
"Sudah buruan jangan ngomong melulu, nanti tambah lama sampainya."
"Gimana jeng Cecile?" tanya Meisya, ibunda Lukas. "Nak Gladys jadi kesini kan?"
"Jadi dong jeng. Tadi waktu dia mau berangkat, tiba-tiba ada customer VIP yang datang ke butik. Jeng tau kan, kalau bagi pedagang seperti kami pelanggan adalah raja."
"Kenapa nggak diserahkan ke asistennya saja, tante?" tanya Lukas yang malam itu mengenakan kemeja warna biru langit yang lengannya digulung hingga siku dan rambut yang tersisir rapi.
"Gladys itu seperti papinya. Kalau sudah urusan customer, apalagi VIP pasti akan dia layani sendiri."
"Ini bukan alasan Gladys menolak dijodohkan dengan Lukas kan? Pura-pura sibuk dengan pekerjaan supaya mengulur waktu dan akhirnya batal datang ke pertemuan ini." tukas Meisya dengan suara sedikit ketus.
"Sabar dong sayang," Bram, ayah Lukas, berusaha membujuk istrinya. "Aku pernah bertemu dengan Gladys saat peluncuran produk baru perusahaan kita. Dan memang dia orangnya penuh passion dalam urusan pekerjaan. Sangat berdedikasi dan bertanggung jawab."
"Perempuan itu nggak usah terlalu ngoyo dalam bekerja. Cukup duduk manis di rumah, urus rumah, rawat diri dan menanti suami pulang." Meisya masih saja mengomel panjang pendek. Sementara itu Lukas berkali-kali melihat ke jam tangannya. Semua itu tak luput dari pengamat eyang Tari yang duduk di kepala meja.
"Nak Lukas ada janji yang lebih mendesak mungkin?" tegur eyang lembut.
"Ah, nggak eyang. Mungkin karena saya dokter yang selalu tepat waktu. Kebiasaan melihat waktu."
"Tapi perempuan itu biasa ngaret lho. Apalagi kalau sudah berurusan dengam pakaian dan make up. Bisa berkali-kali mereka tukar pakaian walau akhirnya pakaian yang dipakai adalah pilihan pertamanya." Semua tertawa mendengar ucapan Eyang Tari.
"Maaf eyang saya kurang suka menghadapi orang yang suka ngaret."
"Iya lho jeng. Saya juga nggak suka dengan orang yang suka ngaret. Maklumlah saya dibesarkan di keluarga TNI yang selalu disiplin oleh waktu."
"Ah, kamu sama saja dengan wanita kebanyakan, suka ngaret juga. Apalagi kalau mau ketemuan dengan teman-teman sosialitamu. Yang datang paling telat adalah yang paling dihormati," celetuk Bram disambut tawa oleh yang lain.
Saat itulah, tampak Gladys tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Penampilannya tidak serapi biasanya. Setelah mencium tangan eyang Tari, Cecile dan Praditho, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Lukas. Lagi-lagi Lukas melihat ke jam tangannya.
"Kamu terlambat lebih dari setengah jam," tegur Lukas ketus. "Kalau dalam operasi ada anggota tim seperti kamu, berapa banyak pasien yang meninggal di meja operasi."
"Sorry, aku mendadak ada...."
"Nggak usah dijelaskan. Untung saja kamu masih secantik dulu. Kalau saya nggak tau siapa yang akan saya temui, mungkin sejak tadi saya sudah pulang." ucap Lukas ketus.
"Gimana mau dijadiin menantu kalau nggak ada unggah ungguhnya, pa. Mana berantakan banget penampilannya," bisik Meisya dengan suara yang tidak bisa dibilang pelan karena semua yang ada di ruangan tersebut mendengar ucapannya.
"Maaf tante tadi saya kesini naik ojol supaya om, tante, dan mas Lukas tidak terlalu lama menunggu. Saya belum cuci tangan dan pasti bau asap. Saya pamit ke toilet sebentar untuk merapikan diri."
Tak lama Gladys muncul dengan dandanan yang rapi dan wangi. Ia mendekati kedua orang tua Lukas dan mencium tangan mereka. Lukas terpana melihat kecantikan Gladys.
"Hmm, baiklah kamu pantas jadi calon istri anak saya, dokter Lukas Prawira Spesialis Jantung. Bagaimana kalau bulan depan kita nikahkan mereka. Biar semua saya yang atur. Kalian tinggal terima beres. Untuk gedung bolehlah di hotel ini. Tapi konsep dan sisanya biar saya yang urus."
Gladys terkejut mendengar hal tersebut. Ia masih belum bisa mengambil keputusan untuk menerima Lukas atau tidak. Ia memandang eyang Tari memohon bantuan.
"Jeng Meisya, nggak usah terburu-buru. Mereka kan baru bertemu dan belum saling mengenal. Kalaupun mereka berjodoh, biar saja anak-anak muda ini yang menentukan akan seperti apa pesta pernikahan mereka."
Meisya tak suka ada orang yang memotong ucapannya yang
menggebu-gebu ini. Namun karena menghormati eyang Tari yang memang dituakan dalam keluarga, dengan terpaksa Meisya menahan keinginannya untuk menyetir pembicaraan.
Diam-diam Gladys melirik eyang Tari dan mengucapkan terima kasih melalui matanya. Eyang Tari tersenyum tipis.
"Nak Lukas nggak keberatan mengantar Gladys pulang kan? Nggak usah buru-buru. Silakan kalian ke coffee shop buat ngobrol. Om dan Tante mau antar Eyang pulang." ucap Cecile saat mereka selesai makan malam. "Mas Bram nggak keberatan kan kalau malam ini menyetir mobil? Atau malam ini kalian mau menginap disini?"
"Terima kasih jeng Cecile, tapi biar malam ini kami....."
"Waah makasih lho jeng Cecile atas tawarannya. Pap, malam ini kita menginap disini saja ya. Mama mau merasakan fasilitas spa-nya. Teman-teman mama bilang, pelayanan spa disini super mantap lho. Lumayan pap, mama bisa pamer ke teman-teman. Jeng, kami bisa mencoba pelayanan spa-nya kan? Gratis kan?" todong Meisya bersemangat. Eyang Tari hanya tersenyum melihat hal tersebut.
"Iya, Jeng Meisya boleh merasakan fasilitas spa dengan gratis." jawab Cecile.
"Mam, malu dong masa minta gratisan. Kita kan sudah diberi kamar gratis. Masa masih minta fasilitas spa gratis. Kayak kita nggak mampu bayar saja." omel Bramantyo sambil menahan malu. "Biar untuk spa-nya kami akan bayar Jeng."
"Eh si papap gimana sih. Dikasih gratis kok malah mau bayar. Itu namanya menyinggung perasaan keluarga Van Schuman. Lagipula kita kan bakalan menjadi besan. Anak kita juga akan menjadi bagian dari keluarga Van Schuman. Menggratiskan sesekali nggak bakal bikin keluarga Van Schuman bangkrut. Iya kan Jeng? Benar nggak Eyang?" Cecile dan Eyang Tari tersenyum sambil mengangguk-angguk.
"Silahkan menikmati keramahan hotel Van Schuman. Seperti kata jeng Meisya, hotel kami insyaa allah takkan bangkrut hanya karena menggratiskan kalian. Mohon maaf eyang tidak bisa menemani kalian lebih lama. Maklum tubuh orang tua sudah harus banyak istirahat. Eyang pamit pulang ya. Kebetulan cucu eyang, Geraldine sudah menunggu di lobby. Silakan kalau kalian masih mau ngobrol."
"Mam, Pap, Lukas dan Gladys akan mengantar Eyang sampai lobby. Setelah itu Lukas akan mengantar Gladys pulang. Kebetulan besok Lukas juga ada operasi pagi."
"Kak Gladys, eyang!" panggil seorang wanita muda mengenakan dress ketat selutut berwarna merah menyala sambil melambaikan tangan kepada mereka.
"Itu Geraldine, anak om Robert." jelas Gladys pada Lukas. "Ge, elo sendirian? Nggak sama Aldo? Elo habis darimana?
"Kak Adis kalau nanya satu-satu dong. Eh, siapa nih kak?" tanya Geraldine saat melihat Lukas. Lalu ia mendekati Gladys dan berbisik. "Gebetan baru ya kak?"
"Kenalkan ini mas Lukas. Dia teman SMA bang Ghiffari. Kami baru selesai makan malam."
"Kenalin, gue Geraldine. Usiaku 20 tahun. Gue sepupu kak Gladys." Dengan berani Geraldine mendekati Lukas san mengulurkan tangannya.
"Lukas. Lebih tepatnya dokter Lukas." sambut Lukas sambil mengulurkan tangannya.
"Wah, pak dokter rupanya. Kebetulan dong. Aku saat ini kuliah di fakultas kedokteran, semester 5."
"Wah, sudah setengah jalan ya. Nanti kalau mau ko-as kamu boleh menghubungiku. Apalagi kita bakal menjadi ipar." sahut Lukas.
"Ipar? Maksudnya?"
"Ge mau jemput eyang atau masih mau ngobrol?" Potong eyang Tari. "Eyang sudah capek nih. Kalau Ge masih mau ngobrol, biar eyang minta antar salah satu driver hotel."
"Wah, eyang ganggu aja nih orang lagi asyik ngobrol." Geraldine tetap fokus kepada Lukas. Tampak sekali ia masih ingin ngobrol dengan Lukas.
"Ge, kok ngomongnya gitu ke eyang? Sana buruan antar eyang pulang!" ucap Gladys agak keras. "Atau kalau kamu nggak mau, biar kakak dan mas Lukas yang antar Eyang."
"Iya.. iya... Ge akan antar eyang pulang. Mas Lukas.. eh dokter Lukas, boleh kan sekali-sekali Ge telpon? Ge pengen nanya-nanya soal ilmu kedokteran. Di keluarga kami nggak ada yang terjun ke bidang ini. Semuanya bisnis. Ge jadi berasa sendirian."
"Ge, masih mau ngobrol atau gimana nih?" tanya Gladys tak sabaran.
Akhirnya dengan bersungut-sungut Geraldine mengantar eyang Tari pulang.
"Sepupu kamu lucu." puji Lukas sepeninggal Geraldine dan eyang Tari.
"Kamu jangan tertipu dengan sikapnya sementara kalian baru sekali bertemu. Dia itu pandai memanipulatif keadaan."
"Bagaimana dengan kamu? Hal buruk apa yang aku perlu tahu?" tanya Lukas saat mereka berjalan ke tempat parkir. "Aku merasa ada yang kamu sembunyikan dari orang tuamu. Boleh aku tahu apa itu?"
"Hal buruk apa? Hmm.. sepertinya semua hal yang ada di diriku buruk. Setidaknya itulah penilaian orang-orang terhadapku. Aku hanyalah putri bungsu keluarga Hadinoto - Van Schuman yang terkenal manja dan berperangai buruk." jawab Gladys sambil tertawa ringan. "Tak ada hal baik yang dapat kubanggakan dari diriku."
"Tapi seingatku dulu kamu itu salah satu cewek idaman kakak kelas. Waktu kamu SMP kelas 7 kamu termasuk siswi junior yang paling cantik di sekolah kita. Semua cowok SMP dan SMA mengejar dirimu."
"Apakah termasuk kamu?" tanya Gladys.
"Iya." Bukannya membukakan pintu mobil, Lukas meletakkan kedua tangannya di atap mobil sehingga Gladys terperangkap. "Dari dulu aku sudah naksir kamu, tapi aku nggak berani menyatakan perasaanku karena begitu banyak pria yang mendekatimu. Aku nggak suka bersaing dengan orang banyak."
"Apakah itu sebabnya kamu suka ikut bang Ghif menjemputku saat pulang bimbel?" tanya Gladys penasaran. Lukas mengangguk sambil memamerkan smirk yang mampu membuat para wanita bertekuk lutut.
"Sejak itu aku terobsesi untuk memilikimu. Aku sudah berkali-kali menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Namun aku selalu membandingkan para wanita itu dengan dirimu. Hingga saat ini aku belum bertemu dengan wanita yang setara denganmu."
"Jangan bercanda, ah mas." Gladys mulai gelisah menghadapi Lukas.
"Aku nggak bercanda, Dys. Salah satu keinginanku adalah menikah denganmu dan pastinya mencicipi bibirmu ini." Tangan Lukas mengelus lembut bibir Gladys yang setengah terbuka karena terkejut. "Saat tante Cecile menghubungi mamaku, aku langsung mengiyakan tawaran untuk dijodohkan denganmu."
"Tapi kita belum saling mengenal, mas."
"Buatmu mungkin belum. Tapi aku sangat mengenal dirimu." Lukas bersikap semakin posesif sehingga membuat bulu kuduk Gladys meremang. Debaran jantungnya mulai tak beraturan. Namun debaran ini berbeda dengan saat Banyu menyentuh ringan tangannya. Atau saat Banyu memeluknya.
"Ehem.. mas, ayo kita pulang. Mami dan papi pasti bingung kalau aku belum sampai rumah." ucap Gladys gugup. Bukannya menuruti ucapan Gladys, Lukas malah menatap intens mata Gladys. Perlahan pandangan matanya turun ke bibir Gladys yang malam itu dipulas lipstik warna nude. Warna yang justru membuat bibirnya terlihat natural namun juga menggoda.
"Boleh aku menciummu?" bisik Lukas mesra. Bau mint segar menguar saat Lukas berbisik.
Gladys tak tahu harus bereaksi seperti apa. Kalau sampai Lukas menciumnya maka ini kali kedua ia merasakan dicium oleh lawan jenis. Namun ia benar-benar tak tau bagaimana harus bereaksi. Ciuman pertama yang dicuri oleh Banyu terjadi begitu cepat dan tiba-tiba.
"Dys, kita bukan anak kecil lagi. Kita sudah sama-sama dewasa. Perlu kamu tahu, baru kali ini aku meminta ijin untuk mencium seorang wanita." bisik Lukas kini salah satu tangannya diletakkan di pinggang ramping Gladys sementara tangannya yang lain membelai lembut pipi halus Gladys.
"Can I kiss you?" Kembali Lukas meminta ijin. Dys, dia pria gentle. Mana ada pria yang meminta ijin untuk mencium, bisik hatinya. Tapi kalau aku mengijinkan dia menciumku, itu sama saja aku mengkhianati Banyu. Saat pikirannya sibuk berdebat, tanpa sadar Gladys menutup matanya. Hal ini dianggap Lukas sebagai ijin. Maka dengan lembut, bibirnya mendarat di bibir Gladys. Ciuman yang tiba-tiba namun terasa lembut. Gladys hanya diam tanpa membalas ciuman Lukas. Bibirnya dikatupkan rapat-rapat.
Tangan Lukas yang memegang pinggang Gladys, menarik lembut tubuh Gladys sehingga menempel sempurna. Sebelah tangannya menahan tengkuk Gladys. Kini bibirnya mencium semakin dalam. Perlahan digigitnya bibir bawah Gladys sehingga mau tak mau sedikit membuka bibirnya. Namun Gladys masih belum membalas ciuman Lukas. Pikirannya masih sibuk berdebat. Hingga akhirnya Lukas melepaskan tautan bibir mereka.
"Kenapa kamu hanya diam saja dan tak membalas ciumanku?" tanya Lukas tanpa melepaskan tangannya dari pinggang Gladys. Yang ditanya hanya menunduk dengan dada berdebar. Apa ini yang kurasakan? Debaran jantung yang kurasakan sangat berbeda dengan saat Banyu menciumku. Ciuman singkat namun mampu membuat jantungku ingin melompat keluar dari dada. Apakah karena itu adalah ciuman pertamaku? tanya hatinya.
"Bibirmu manis. Rasanya seperti yang selama ini kubayangkan. Mulai hari ini sepertinya bibirmu akan menjadi canduku. Sepertinya aku tak kan pernah puas menciumnya," bisik Lukas mesra sambil membelai lembut bibir Gladys yang baru saja diciumnya.
"Antarkan aku pulang. Besok pagi mas Lukas ada jadwal operasi kan? Lebih cepat mengantarku pulang, semakin cepas mas Lukas bisa beristirahat."
"Baiklah aku akan mengantarkanmu pulang. Lain kali kita atur waktu untuk berkencan dengan lebih intim. Aku ingin mengenal lebih jauh calon istriku yang cantik ini." Gladys hanya tersenyum tanpa menyahuti ucapan Lukas. Entah mengapa tak ada getaran saat Lukas menyebut kata dengan lima huruf itu. Berbeda dengan saat Banyu menyebutnya, walau dengan nada meledek, batin Gladys.
⭐⭐⭐⭐