"Oke, sekarang kita sudah kenyang. Saatnya kamu ceritakan yang sebenarnya." pinta Banyu. "Kenapa kamu memintaku untuk menjadi suamimu?"
Mampus gue, sesal Gladys dalam hati.
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
"Ehmm... aku.. eh aku...."
"Kenapa princess Gladys yang terkenal dengan mulut tajamnya mendadak gagap begini?" tanya Banyu serius. Kali ini tanpa disertai senyum.
Gladys berdehem untuk membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa gatal. Dipandangnya wajah Banyu, namun ia tak sanggup melawan tatapan mata tajam itu. Haruskah aku berkata sejujurnya. Gladys menyesap jeruk hangat yang ada dihadapannya.
"Aku masih menunggu penjelasanmu." Banyu mengingatkan.
"Karena kamu sudah menciumku." sahut Gladys pelan sambil membuang pandangnya.
"Apa?! Hanya karena ciuman singkat itu? Really?" tanya Banyu tak percaya. Gladys mengangguk. "Bagaimana bisa?"
"Kenapa nggak? You've stolen my first kiss. My precious first kiss." Tawa Banyu meledak mendengar ucapan Gladys. Tawa yang mengundang mata pengunjung lain untuk melihat ke arah mereka.
"Are you serious?" tanya Banyu tak percaya. "Hey, kamu itu bukan anak remaja yang baru lulus SMP. You're a grown woman. Usia kita nggak jauh berbeda, sayang. Masa iya di usia setua ini kamu belum pernah dicium seorang lelaki?! Aku pikir waktu itu kamu bercanda tentang hal itu."
"Kalau belum memangnya kenapa? Itu kenyataannya kok. Dan kamu sudah mengambil itu tanpa seijinku. Padahal aku memiliki impian bahwa ciuman pertamaku hanya untuk pria yang akan menjadi pasangan hidupku. Aku nggak mau calon suamiku mendapatkan bibir yang sudah pernah dicicipi pria lain."
Banyu menatap geli ke arah Gladys. Ia tak menyangka Gladys akan sepolos itu. Hey, ini jaman milenial. Mencari wanita yang masih menjaga keperawanannya saja susah. Apalagi mencari wanita yang sama sekali belum tersentuh. Oh my God. It's hard to believe but it's real.
"Kamu masih perawan? Kamu sama sekali belum pernah dicium lelaki? C'mon, jangan membuatku tertawa, Princess. It's hard to believe." ucap Banyu tak percaya.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi itu kenyataannya."
"Hanya karena alasan itu kamu memintaku menjadi suamimu? Unbelievable." Banyu menggelengkan kepalanya, masih tak percaya.
"Karena kamu sudah mencium bibirku, maka aku nggak bisa menyerahkan bibirku ke orang lain. Kamu harus bertanggung jawab." ucap Gladys.
"Hanya itu alasannya? Bukan karena kamu ketulah omonganmu sendiri bahwa sampai kapanpun takkan jatuh cinta padaku?" Gladys tak merespon perkataan Banyu. Hati dan logikanya saat ini sedang berperang.
"Ada alasan lain," Akhirnya Gladys membuka mulutnya.
"Apa?"
"Aku dipaksa menikah."
"Maksudmu?" Tanya Banyu seakan tak mempercayai pendengarannya.
"Aku disuruh menikah oleh keluargaku. Eyang Tari memberiku waktu 6 bulan untuk menemukan calon suami. Sementara itu mami hanya memberi waktu dua bulan kepadaku untuk menemukan calon pasangan hidup."
"Apa hubungannya denganku?"
"Aku nggak bisa menemukan kandidat lain. Sementara waktu yang mami berikan semakin menipis. Aku nggak mau dijodohkan dengan orang pilihan mami. Lagipula kamu telah melakukan itu kepadaku." jawab Gladys.
"Please jangan bicara seperti itu. Kamu memberi kesan seolah aku sudah memperkosamu. Bahkan tadi kamu lihat sendiri kan bagaimana reaksi ibu yang menyangka aku menghamilimu." ucap Banyu gusar.
"Please mas, bantu aku." Banyu tak menjawab.
"Maaf aku nggak bisa bantu kamu. Banyak alasan yang menjadi penghalang di antara kita. Alasan utamaku adalah aku masih mau fokus mengurus ibu dan adik-adikku. Kamu sudah melihat sendiri bagaimana kondisi keluargaku. Bahkan kamu mungkin juga sudah tahu latar belakang keluargaku."
"Kamu tetap bisa men-support keluargamu. Aku nggak akan keberatan tentang hal itu. Bahkan mungkin aku bisa ikut membantu mereka. Aku kan juga bekerja."
"Princess, aku ini hanya seorang mahasiswa yang bekerja sebagai pedagang sayur keliling. Strata sosial dan strata ekonomi kita sangat jauh berbeda. Kalaupun aku menyetujui keinginanmu, aku nggak yakin dengan orang tuamu. Kelas kita berbeda, Princess."
"Aku kecewa sama kamu, mas Banyu. Kamu menjilat ludahmu sendiri. Kamu sendiri yang bilang hal itu nggak penting. Kelas-kelas dalam kehidupan kita tidak berarti apapun di mata Allah. Yang terpenting adalah keimanan kita. Lalu kenapa sekarang kamu menjadikan itu sebagai alasan untuk menolakku?" tanya Gladys kecewa.
"Princess, dulu aku katakan itu agar kamu tidak memandang rendah diriku. Tapi lain cerita kalau itu dihubungkan dengan pernikahan di antara kita. Kita nggak bisa memungkiri kalau strata sosial dan ekonomi masih menjadi salah satu tolak ukur dalam sebuah pernikahan. Kamu tentu pernah mendengar istilahnya bibit bebet bobot."
Gladys membuang pandang. Sekuat tenaga ia berusaha tegar di depan Banyu. Dilepasnya jaket Banyu dan diberikan kepada empunya.
"Pakai lagi jaket itu, Princess. Aurat kamu...."
"Nggak usah berlagak peduli sama aku. Aku mau pulang. Oh ya, ini uang buat membayar makan malam kita."
Gladys bangkit dari duduknya dan menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada Banyu. Tentu saja Banyu terkejut dengan sikap Gladys. Segera ia mengikuti Gladys. Dengan terburu-buru ia membayar makanan mereka dengan uangnya sendiri.
"Mas, ini kembaliannya," panggil pakdhe Toro saat Banyu pergi begitu saja setelah menyerahkan uang.
"Ambil saja pakdhe," teriak Banyu sambil menyusul Gladys. Penampilan gadis itu tanpa jaketnya tentu saja mengundang siulan nakal dari para pemuda yang nongkrong di sekitar tempat itu.
"Cewek... kok sendirian? Mau kita temani nggak?"
"Gilaaa.. mulus banget. Yang terbuka aja mulus gimana yang tertutup. Bikin penasaran aja."
"Hai cantik, sini yuk main sama kita. Tinggalin aja cowoknya."
Itu hanya sebagian kecil dari godaan yang dilontarkan para pemuda itu. Bahkan ada yang berani mendekati Gladys. Banyu langsung menghalangi.
"Maaf jangan ganggu. Dia datang sama gue."
"Eh, elo Nyu. Ini cewek lo? Bilang-bilang dong bro. Cewek cantik begitu jangan lo biarin jalan sendirian. Kalau elo nggak mau menemani dia, biar gue yang kawal dia." Kata pemuda berkacamata yang ternyata mengenal Banyu.
"Lo berani dekati adiknya Gibran?" tanya Banyu.
"S**t!! Itu adiknya Gibran? Sorry gue nggak tahu bro." Pemuda itu langsung balik kanan kembali ke kelompoknya.
"Princess.... "
"Jangan panggil aku princess. Mana kunci mobilnya. Sini, biar aku yang nyetir dan antar kamu pulang."
"Jangan. Biar aku yang antar kamu sampai rumah dengan selamat. Ini amanah dari ibu yang harus aku penuhi," sahut Banyu sambil membukakan pintu untuk Gladys yang langsung masuk tanpa banyak bicara.
Sebelum menjalankan mobil, Banyu menyerahkan kembali jaketnya kepada Gladys.
"Pakai jaket ini biar kamu nggak kedinginan."
"Nggak usah sok perhatian." ucap Gladys ketus. Banyu menghela nafas perlahan, mencoba menyabarkan dirinya sendiri.
"Princess.. eh Gladys, apa kita nggak bisa menjadi teman baik? Sebagai teman baik, wajar saja kalau aku memberi perhatian. Apalagi kamu itu adik sahabatku."
"Aku nggak mau hanya menjadi teman baik!" sentak Gladys. "Aku mau kamu menjadi calon suamiku."
"Dys, apa bisa orang yang tidak saling mencintai menikah?" tanya Banyu. Ia sengaja belum menjalankan mobil.
"Kita bisa belajar saling mencintai dalam waktu beberapa bulan ke depan. Bahkan mungkin aku bisa mencintaimu dalam waktu dua bulan ke depan. Apa sih susahnya mencintai seseorang?"
"Kamu pernah mencintai seseorang?" Gladys mengangguk. "Apakah kamu bisa mencintaiku seperti kamu mencintai pria itu?"
"Kenapa nggak? Itu bisa diusahakan." jawab Gladys kekeuh. "Walaupun aku tahu itu nggak mudah."
"Buatku itu tidak mudah." ucap Banyu sambil menyalakan mesin mobil.
"Aku pasti bisa membuatmu mencintaiku," ucap Gladys yakin. "Bahkan jaman sekarang banyak kok orang yang belum saling cinta, menikah. Misalnya melalui ta'aruf."
"Lalu apa bedanya dengan dijodohkan? Kurasa sama saja." Banyu mulai menjalankan mobil.
"Aku nggak mau menikah dengan pilihan mami. Aku mau menikah dengan pria pilihanku sendiri. Buatku mencintai pria yang dipilihkan mami akan lebih sulit, dibandingkan mencintai pilihanku sendiri."
"Atau kamu mau kukenalkan dengan teman-temanku?" tanya Banyu.
"Nggak usah. Aku hanya mau kamu yang menjadi calon suamiku." Gladys tetap kekeuh dengan keinginannya.
"Hanya karena alasan kekanak-kanakan tadi?"
"Kekanak-kanakan kamu bilang? Apakah mencium atau dicium oleh lawan jenis adalah hal kekanakan?" Gladys balik bertanya. "Pokoknya aku akan buktikan bahwa aku mampu membuatmu mencintaiku."
"Walaupun aku hanya seorang tukang sayur miskin? Walaupun mungkin keluargamu akan menentangnya?" Gladys mengangguk dengan yakin.
"Apa yang akan kamu lakukan kalau aku benar-benar nggak bisa menjadi calon suamimu?"
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Di mana ada niat di situ pasti ada jalan. Yang penting usahanya."
"Kamu sadar kalau dunia kita berbeda? Kamu terbiasa dengan kemewahan, aku sebaliknya. Kamu terbiasa makan di restauran, aku di warung pinggir jalan. Kemana-mana kamu naik mobil, sementara aku hanya punya motor. Kamu terbiasa dilayani oleh pelayan, bahkan kamu memiliki pelayan pribadi. Sementara kalau kamu jadi istriku kamu harus bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri, tanpa pelayan. Apa kamu sanggup?"
"Kita bisa tinggal di rumahku. Jadi aku tak perlu mengorbankan segala kenyamanan hidupku." jawab Gladys tanpa ragu.
"Kamu salah besar princess, kalau kamu berpikir kamu tetap bisa menikmati segala kenyamanan itu bila menikah denganku." Gladys tampak terkejut. "Iya, setelah menikah aku masih akan membolehkanmu bekerja. Namun kamu harus meninggalkan segala kemewahan dan kenyamanan hidupmu dan hidup bersamaku dalam kesederhanaan. Bahkan bukan tak mungkin kita harus tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Karena hanya itu yang aku sanggup berikan kepadamu."
"Kita bisa tinggal di salah satu rumah papi. Dia punya banyak rumah kontrakan."
"Asal kamu tahu princess, aku tidak mau nebeng pada kekayaan keluarga istriku bahkan aku takkan memakai uang yang dihasilkan oleh istriku untuk menghidupi rumah tanggaku kelak. Jadi kalau kita menikah, kamu harus bisa mengelola penghasilanku untuk rumah tangga kita, serta kebutuhan ibu dan adik-adikku. Kamu sanggup?" Gladys membeku membayangkan segala kesulitan yang akan ia hadapi.
"Apakah setelah lulus nanti kamu akan tetap menjadi tukang sayur? Kamu bisa bekerja di perusahaan papi atau di salah satu hotel milik keluarga mami."
"Kamu lupa apa yang barusan aku bilang? AKU TIDAK AKAN MENEBENG PADA KEKAYAAN KELUARGA ISTRIKU. Jadi setelah lulus nanti sambil menunggu dapat pekerjaan, aku akan tetap menjadi penjual sayur keliling dan bekerja serabutan seperti saat ini."
Tak lama kemudian mobil memasuki pekarangan luas rumah keluarga Hadinoto. Setelah memarkirkan mobil, Banyu hendak keluar mobil namun dilihatnya Gladys masih terdiam di kursinya. Seolah berubah menjadi patung.
"Dys, kita sudah sampai di rumahmu," dengan hati-hati Banyu menyentuh lengan Gladys yang terbuka. Jaket miliknya masih berada di pangkuan Gladys. Ya tuhan, kenapa lengannya dingin begini? batin Banyu.
"Princess, kita sudah sampai." Kali ini Banyu sedikit menggoyangkan lengan Gladys yang langsung tersadar dari lamunannya.
"Kamu nggak papa? Badan kamu dingin." tanya Banyu setelah mereka keluar dari mobil. "Pakai jaket ini. Aku nggak mau kamu jatuh sakit. Maaf kalau kenyataan yang nanti kamu hadapi tak seindah bayanganmu."
"Oh.. eh.. te-terima kasih sudah mengantarku pulang," jawab Gladys tergagap. "Nanti kamu gimana pulangnya?"
"Aku bisa naik ojol. Malam belum terlalu larut."
"Kamu bawa saja mobilku."
"Nggak usah, princess. Ayo aku antar kamu sampai depan pintu rumahmu." Banyu melangkah mensejajari langkah Gladys.
"Sekali lagi terima kasih. Mas Banyu sudah mau mengantarku pulang. Mau masuk dulu mas?"
"Nggak usah. Keluargamu bisa heboh kalau tahu kamu diantar pulang oleh tukang sayur keliling. Sana masuk. Sudah malam."
"Jaket kamu?"
"Pakai saja. Badan kamu dingin sekali. Kamu lebih membutuhkannya. Kapan-kapan saja kembalikannya." Banyu tersenyum sambil membetulkan Jaket yang disampirkan di Badan Gladys. "Lain kali kalau pergi jangan pakai baju seperti ini lagi. Jaga aurat dan jaga kesehatanmu. Aku pulang ya."
Banyu berbalik dan hendak melangkah ke arah gerbang saat didengarnya suara Gladys memanggilnya. Banyu berbalik dan dilihatnya Gladys mengejarnya.
"Ada apa? Sana kamu masuk. Ini sudah malam."
"Makasih untuk malam ini. Aku akan buktikan aku bisa membuat kita menikah."
"Kamu siap dengan semua kesulitan yang akan kamu hadapi? Kamu siap menikah tanpa cinta? Aku nggak tahu apakah hatiku bisa mencintai lagi."
"Aku akan belajar mencintaimu dan membuatmu mencintaiku," Tiba-tiba Gladys mengecup pipi Banyu dengan cepat dan berlari kembali ke arah rumah. Meninggalkan Banyu yang terbengong-bengong tak menyangka hal itu akan terjadi.
⭐⭐⭐⭐