ดาวน์โหลดแอป
11.11% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 12: MCMM 11

บท 12: MCMM 11

Happy Reading ❤

"Gib, temanmu yang kemarin itu kayaknya baik ya orangnya." Ucap Pradhito saat mereka sedang menikmati hari Minggu yang cerah di halaman belakang. Gladys si bungsu sedang asyik berenang bolak balik.

"Iya, Pi. Dia itu orangnya bertanggung jawab banget. Dia itu sudah mulai dagang sejak SMA dan berlanjut hingga sekarang."

"Oh ya? Kenapa dia harus berdagang di usia semuda itu? Kalian aja seumur itu masih asyik hambur-hamburin duit papi, main kesana kemari." Pradhito tampak kaget mendengar penjelasan Gibran. "Apakah dia anak yatim?"

"Bukan, Pi. Ayahnya masih hidup. Yang Gibran pernah dengar orang tuanya bercerai karena ayahnya selingkuh. Saat itu Banyu melihat sendiri ayahnya bermesraan dengan selingkuhannya. Kemudian saat ayahnya mau menikahi selingkuhannya itu, ibunya menolak dan lebih memilih bercerai." Pradhito manggut-manggut mendengar penjelasan itu. "Mereka pergi meninggalkan rumah ayahnya. Sejak itulah Banyu tidak mau menerima bantuan apapun dari ayahnya."

"Oh, itu tho sebabnya di usia semuda itu dia harus bekerja. Ibunya bekerja?" Tanya Pradhito lagi.

"Ibunya guru madrasah. Selain menjadi guru dia juga berjualan kue. Itu lho, kue-kue yang sering mami pesan."

"Kasihan juga ya."

"Itu sebabnya di usia segini dia belum selesai kuliah karena dia benar-benar mengumpulkan uang buat biaya kuliah."

"Hebat. Anak muda jaman sekarang mau berjuang seperti itu. Jarang kan ada yang seperti Banyu."

"Schatz.. kalian lagi ngobrolin apa sih? Mami lihat dari tadi asyik banget kayaknya." Cecile datang membawa singkong goreng keju kesukaan keluarga mereka.

"Ini lho diajeng, kita lagi membahas temannya Gibran."

"Teman yang mana?" Tanya Cecile sambil menuangkan teh untuk suaminya.

"Itu lho mi, si Banyu," Jawab Gibran.

"Oh dia. Kayaknya anaknya baik ya, bang. Bertanggung jawab. Kue-kue buatan ibunya juga enak-enak banget. Mami dengar dia itu jualan sayur ya, bang," ucap Cecil sambil berbisik. Gibran mengangguk.

"Oh ya? Diajeng tahu dari mana?" Tanya Pradhito. "Infonya valid nggak?"

"Ih schatz, kamu nih suka nggak percaya deh kalau aku kasih info. Aku dapat info akurat dari mbok Siti. Kan dia yang biasa belanja dan pesan kue ke tukang sayur. Nah pas arisan itu aku baru tahu kalau ternyata Banyu itulah si tukang sayur." Jelas Cecile panjang lebar. "Bang, itu adikmu suruh naik. Sudah mulai panas nih mataharinya. Nanti kulitnya gosong."

"Biarin aja mi. Paling-paling jadi keling."

"Ih, kamu ini bang. Mami yang pusing kalau kulit dia sampai gosong. Dia bakal ngomel-ngomel sampai tuh kulit normal lagi."

"Deekk... sudahan berenangnya!!" Panggil Gibran. Cecile langsung memukul punggung Gibran. "Aduh, kenapa Gibran dipukul sih?"

"Kamu ngapain teriak-teriak segala kayak tarzan. Mana mungkin adik kamu dengar kalau dia lagi berenang begitu. Sana panggil dari dekat." Omel Cecile.

Tak lama Gladys sudah menghampiri mereka dengan memakai handuk menutupi pahanya. Sementara tubuh bagian atasnya hanya ditutupi swimsuit yang dia pakai.

"Dek, kok nggak pakai bathrobe?" Tegur Pradhito. "Malu dong dilihat sama pak Udin."

"Ih, biasa aja lagi, Pi. Pak Udin kan sudah biasa lihat Adek berenang sejak kecil." Sahut Gladys cuek seraya menyeruput teh milik papinya.

"Dek, itu kan teh Papi. Kamu tuang sendiri dong kalau mau minum. Tuh cangkirnya sudah Mami siapin." Tegur Cecile.

"Enakan teh punya papi, Mi. Soalnya Mami nyiapinnya pakai bumbu cinta." Balas Gladys. "Mi, singkongnya nggak ada lagi?"

"Lho, Mami pikir kamu lagi diet. Kamu kan lagi menghindari karbo. Makanya Mami nyuruh simbok gorengnya sedikit saja."

"Mami lupa ya kalau ini hari Minggu. Cheating day, Mi."

"Kamu ngapain sih pakai diet-diet segala, dek?" Tanya Pradhito heran. "Badan kamu nggak gemuk kok."

"Ah, itu kan menurut papi. Ada yang bilang kalau aku sudah overweight."

"Hmm.. pasti cowok yang bilang gitu, sehingga kamu mulai diet dan olahraga lagi." Ucap Gibran seraya menatap Gladys penuh selidik. "Hayoo.. sudah punya pacar ya? Bawa ke rumah dong, dek. Kenalin ke kita."

"Dih, apaan sih bang. Siapa juga yang punya pacar. Males tau punya pacar. Ribet."

"Ribet gimana sih, dek? Kan enak ada yang perhatian, ada yang bisa antar jemput kamu."

"Ada papi dan Mami kok yang kasih aku perhatian. Supir juga ada pak Dudung." Jawab Gladys. "Mbooook... singkong gorengnya lagi dong!!"

"Dek, kamu nih sama aja kayak abangmu. Senangnya teriak-teriak gitu. Yang sopan ah kalau mau nyuruh-nyuruh orang yang lebih tua. Sana kamu bilang baik-baik ke mbok Siti di dapur."

"Ah Mami, biasanya juga begitu. Mbok Siti itu kan harusnya sudah tahu kalau ini makanan kesukaan adek. Salah dia dong kalau gorengnya cuma sedikit. Lagian adek capek kalau harus jalan bolak-balik ke dapur."

"Adek!!" Tegur Gibran. "Mbok Siti itu orang tua lho. Masa kamu nyuruhnya teriak-teriak begitu. Lagian katanya kamu mau kurus, sana gih ke dapur minta tolong digorengin singkong."

"Ih abang mah lebay. Biasa aja kali bang. Adek juga jarang kali nyuruh-nyuruh kayak gini."

"Iya, biasanya kamu nyuruh Endah yang selalu ready di samping kamu. Makanya kamu nggak pernah teriak-teriak." Balas Gibran.

"Tuh tahu. Jadi santuy ajalah bang." Pradhito dan Cecile hanya geleng-geleng kepala mendengar perdebatan kedua anak mereka. Perdebatan yang terjadi hampir setiap hari.

"Pagi mi, pagi pi." Tak lama datanglah Ghiffari yang tampaknya sudah siap untuk pergi.

"Pagi sayang," sahut Cecile. "Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Kan ini hari minggu."

"Ada proyek bang?" Tanya Pradhito sambil memperhatikan anak sulungnya.

"Biasa, Pi. Kalau hari Minggu begini kan malah ramai orang menikah. Abang harus ngecek ke lapangan supaya acaranya nggak berantakan."

"Abang bukannya tadi malam pulangnya sudah larut ya?" Tanya Gladys.

"Dek, mana bathrobe kamu? Pakai dong." Bukannya menjawab pertanyaan adiknya, Ghiffari malah menegurnya. "Ada orang lain yang bukan mahram kamu lho disini. Lihat tuh ada pak Udin."

"Ah, abang sama saja nih sama papi. Pak Udin kan sudah biasa lihat adek berenang."

"Iya, tapi sebagai seorang muslimah kamu harus jaga aurat." Nasihat Ghiffari.

"Kalau gitu buat apa dong ada kolam renang? Apa adek harus nyuruh pak Udin jauh-jauh dulu kalau mau berenang? Ribet banget."

"Minimal setelah selesai, kamu langsung pakai bathrobe. Biar tubuh bagian atas kamu tertutup." Lanjut Ghiffari. Muka Gladys langsung manyun mendengar perkataan abangnya. Ia akhirnya memakai bathrobe yang sedari tadi dibawanya.

"Nah, begitu kan lebih baik, Dek." Ghiffari mengacungkan kedua jempolnya ke atas. "Dek, kamu nggak mau ikut abang ke proyek? Khansa ikut lho."

"Malas ah. Nanti setelah abang selesai, kalian pasti lanjut pacaran. Adek nggak mau disuruh jadi kambing congek," jawab Gladys. Yang lain tertawa mendengar jawaban Gladys.

"Bang, kamu sibuk ngurusin pernikahan orang lain. Kamu kapan mau menikah?" Tiba-tiba Cecile bertanya. "Usia kamu sudah hampir 30 tahun lho. Kamu juga sudah cukup lama pacaran sama Khansa. Nggak ada niatan melamar dia?"

Ghiffari tersenyum mendengar pertanyaan Cecile. Ia sudah sering mendengar pertanyaan itu dari maminya. "Mi, sebenarnya Ghiffari berencana bulan depan mau melamar Khansa."

"Seriusan bang?!" Tanya Gladys antusias. "Asyiiik.. sebentar lagi Khansa bakal jadi kakak iparku. Sebentar lagi bakal ada wedding ....." Tiba-tiba wajah Gladys muram.

"Kenapa dek?" Tanya Ghiffari. Sementara itu Gibran berusaha menahan tawanya. Namun saat matanya bertabrakan dengan mata Gladys, ia tak sanggup lagi menahan tawanya.

"Kamu kenapa sih Gib?" Tanya Pradhito heran.

"Itu lho, Pi. Coba papi perhatiin wajah adek langsung berubah," sahut Gibran. "Kenapa dek? Mendadak ingat harus jadi bridemaids ya?"

Yang lain langsung mengerti maksud Gibran. Mereka ingin tertawa tapi mereka tahan mengingat tabiat Gladys kalau sudah ngambek bisa membuat repot orang serumah.

"Tenang dek, nanti abang cariin pendamping yang nggak malu-maluin deh."

"Sama si Calvin saja, dek," usul Cecile. "Kalau perlu kamu jadian saja sama dia. Biar nggak bingung cari pendamping saat sahabat-sahabat kamu menikah."

"Emoh!" Tolak Gladys. "Si Calvin itu orangnya mesum, Mi. Suka sembarangan peluk-peluk gitu. Gladys nggak suka. Belum lagi matanya itu sering belanja, ngeliatin cewek-cewek dengan tatapan mesum. Ih, nggak banget deh kalau harus pasangan sama dia."

"Calvin? Anaknya Alex? Dia itu teman sekolah adek waktu SMA kan?" Tanya Pradhito. "Yang kalau kesini suka bawa mobil sport."

"Iya schatz. Calvin Darmawan anaknya Alex Darmawan." Jawab Cecile. "Mami kepikiran menjodohkan adek dengan si Calvin. Kita kan sudah kenal baik keluarganya. Alex juga sahabat kamu sejak kuliah. Sheila istrinya juga teman arisan mami."

"Please deh, Mi. Apa nggak ada bahasan lain selain mencarikan jodoh buat adek? Adek kan masih pengen berkarya, traveling, hang out sama teman-teman. Adek juga mau mengembangkan butik dan cafe. Kalau buru-buru pacaran, bisa-bisa semua rencana adek berantakan." Tolak Gladys. "Papi nggak mau lihat anak papi yang cantik ini hanya menjadi ibu rumah tangga, kan? Papi pasti pengen lihat adek berhasil."

"Kalau bisa dua-duanya kenapa nggak, dek." Sahut Pradhito. "Kamu perempuan lho. Jangan lama-lama menunda pernikahan."

"Aah... papi sama aja nih kayak mami. Ngomongnya pernikahan melulu."

"Wajar tho dek. Usia kamu sudah 24 tahun lho. Minimal usia segini, kamu sudah punya pacar." Ghiffari ikut memberikan pendapatnya. "Sahabat kamu saja sudah beberapa orang yang menikah. Sebentar lagi Khansa juga akan abang lamar. Insyaa Allah nggak sampai enam bulan lagi dia sudah menjadi Nyonya Ghiffari."

"Malesin ih kalau ngebahas soal beginian. Adek masuk dulu, ah." Gladys berdiri dan ngeloyor meninggalkan keluarganya yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

"Mami khawatir sama adek yang sampai usia segini masih senang menjomblo. Apa dia masih belum bisa move on dari siapa tuh pacar terakhirnya."

"Revano maksud Mami?" Sahut Gibran.

"Iya, si Revan atau Evan itu lho."

"Mungkin juga, Mi. Lumayan lama juga kan mereka pacaran. Dari kelas 9 sampai lulus SMA."

"Diajeng, memangnya kenapa mereka putus?" Tanya Pradhito. "Papi juga heran tiba-tiba Evan nggak pernah datang lagi."

"Evan dikirim orang tuanya ke Amerika, buat melanjutkan studinya di sana. Awalnya mereka masih LDR-an. Tapi tahu-tahu si Evan selingkuh disana dan menghamili pacar barunya."

"Oh begitu ceritanya. Papi baru tahu."

"Pi, Mi, Abang berangkat dulu ya. Takut terlambat." Pamit Ghiffari. "Oh ya Gib, kasih tau Banyu abang punya proyek buat dia. Kemarin abang ketemu dia di depan tempat bimbel punya temanmu."

"Oke bang. Nanti Gibran kasih tau Banyu."

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C12
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ