"Mas Banyu, ikan pesananku ada apa nggak," tanya teh Nia sambil melihat-lihat sayuran. "Bu Ine hari ini mau masak sop ikan. Kebetulan hari ini mertua bu Ine mau datang."
"Ada teh. Tuh, sudah saya pisahin di dalam plastik merah. Sudah dibersihin juga sesuai permintaan teh Nia," jawab Banyu sambil tersenyum.
"Mas Banyu, hari ini bawa apel Malang nggak? Kalau bawa, aku mau dong sekilo." Tanya mbak As, sambil menyentuh lengan Banyu. Mendapat perlakuan itu Banyu perlahan bergeser agak menjauh supaya mbak As tidak bisa menyentuhnya. Semua itu dilakukannya dengan halus agar pelanggannya tidak tersinggung.
"'Bawa mbak," jawab Banyu sambil buru-buru mengambilkan buah yang dimaksud. "Ini mbak. Apalagi?"
"Ini belanjaanku, Mas." Astuti menunjuk beberapa sayuran, buah dan bumbu yang dia beli. "Berapa semuanya?"
Banyu memperhatikan belanjaan Astuti dan kemudian menyebutkan jumlah yang harus dibayar. "Semuanya 54 ribu, mbak. Mau bayar cash atau transfer seperti biasa mbak?"
"Aku transfer aja, Mas." Jawab Astuti sambil mengambil ponselnya dan membuka aplikasi M-banking. "Sudah aku transfer ya 75 ribu. Sengaja aku lebihin buat kamu. Anggap saja bonus. Kalau kurang bilang aja."
"Wah itu mah kelebihan mbak transfernya. Mbak As belanja aja lagi biar pas jumlahnya 75 ribu. Insyaa Allah penghasilan saya nggak kurang walau tanpa bonus dari mbak As." Banyu menjawab sambil tersenyum. Senyuman yang mampu membuat para wanita meleleh melihatnya.
"Aku nggak butuh belanja apa-apa lagi kok mas. Aku butuhnya kamu," sahut Astuti sambil tersenyum malu-malu. Sontak semua pelanggan heboh dan riuh rendah meledek Banyu dan Astuti. Banyu hanya tersenyum kalem mendengar ucapan Astuti.
"Kalau begitu, aku akan catat ya kalau mbak As ada deposit di saya sebesar 21 ribu ya mbak." Jawab Banyu tetap dengan senyum manisnya.
"Mas Banyu, aku sudah selesai nih belanjanya, tolong dihitung ya." Ucap pelanggan lain yang langsung ditanggapi dengan cepat oleh Banyu. Selain karena kegantengannya, keramahan dan kecepatan pelayanan yang Banyu berikan menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi terkadang Banyu suka membagi-bagi kue yang dibuat oleh ibunya.
"Mas Banyu, mami Cecile pesan lemper 100, risoles mayo 100 dan browniesnya 5 loyang ya, buat Sabtu. Bisa mas? Sekarang kan baru hari Kamis." Tanya mbok Siti. "Kebetulan Sabtu sore besok di rumah mami mau ada arisan keluarga mami dan eyang Tari datang. Pasti yang datang rame banget."
"Siap mbok. Nanti saya sampaikan ke ibu pesanan mami Cecile." Banyu mencatat pesanan mami Cecile di ponselnya. Pesanan besar kayak begini nggak boleh terlewat. Berabe kalau sampai terlewat. Untunglah Sabtu besok dia tidak ada kegiatan, sehingga dia bisa membantu ibu mengerjakan pesanan mami Cecile.
"Makasih ya mas. Jangan lupa ya mas jam 3 sudah harus diantar ke rumah."
"Insyaa Allah siap, Mbok."
Setelah selesai melayani para pembeli, Banyu memberi pengumuman kepada langganannya. "Ibu-ibu dan mbak-mbak. Besok saya nggak jualan, kecuali yang sudah pesan hari ini. Untuk yang sudah pesan, besok saya antar langsung ke rumah."
"Lho mas Banyu mau kemana kok sampai nggak jualan?" Tanya teh Nia.
"Hehehe.. kebetulan besok harus ketemu dosen pembimbing, Teh."
"Lho, mas Banyu kuliah tho? Jurusan apa mas?" Tanya Astuti yang sedari tadi masih disitu walau sudah selesai belanja.
"Bisnis, Mbak As." Jawab Banyu malu-malu. Sebenarnya ia tak mau memamerkan kuliahnya. Ia tak mau dianggap sombong.
"Wah mau buka bisnis ya, mas Banyu? Waduh, calon suami idaman banget nih." Ucap Astuti sambil senyum menggoda. "Kalau sudah berhasil bisnisnya, punya rencana menikah mas?"
"Waaah.. mbak As semangat banget nanyanya," ledek bu Adi. "Mau ngelamar mas Banyu, Mbak As?"
"Kalau mas Banyunya mau..." Astuti tertawa malu-malu yang langsung diledekin oleh semua yang ada disitu.
"Wah, saya mah nggak cocok buat mbak As. Level saya jauh di bawah mbak As. Strata sosial mbak As terlalu tinggi buat saya," jawab Banyu sambil terkekeh.
"Jaman sekarang mah itu nggak penting lagi, Mas. Yang penting sama-sama cinta." Ucap Astuti berani.
"Cieeee mbak As. Gas poooll, Mbak." Ledek yang lain.
"Ibu-ibu saya permisi dulu ya. Saya masih harus ke pelanggan yang lain. Mari ibu-ibu. Assalaamu'alaikum." Banyu pun meluncur meninggalkan kerumunan para wanita yang masih sibuk menggoda Astuti.
Pada saat bersamaan Gladys lewat dengan mobilnya yang disetiri oleh pak Dudung.
"Minah, itu ada apa sih kok ibu-ibu pada kumpul begitu. Ada mbok Siti juga tuh." Tanya Gladys penasaran saat melihat kerumunan tersebut.
"Kurang tau, kak," jawab Endah yang duduk di samping Gladys. Sebagai asisten pribadi Endah memang selalu setia mendampingi kemanapun Gladys pergi. "Saya kan jarang kumpul-kumpul sama mereka. Saya malah lebih sering kumpul sama teman-teman kak Gladys."
"Hehehe... non Gladys penasaran ya?" Tanya pak Dudung. "Mereka itu habis belanja mbak. Biasa deh, belanja sambil ngerumpi."
"Astaga... buang-buang waktu saja."
"Ooh... tukang sayur yang waktu itu heboh dibahas mbok Siti dan mbak-mbak di rumah. Kata mbok Siti, tukang sayurnya ganteng, kak." Sahut Endah. "Endah sih belum pernah lihat."
"Iya benar kata kamu, Ndah. Mbok Siti bilang ibu-ibu dan mbak-mbak komplek suka bela-belain nungguin tukang sayur yang ini. Selain ganteng, kualitas barangnya bagus, dan harganya pun bersaing. Bahkan mbok Siti cerita si tukang sayur ini suka bagi-bagi kue buatan ibunya. Katanya sih tester buat promo." Jelas pak Dudung panjang lebar.
"Halaaah... seganteng-gantengnya tukang sayur, paling mukanya kayak mas-mas kampung. Dasar emak-emak lebay. Nge-fans kok sama tukang sayur." Ucap Gladys merendahkan.
Baru selesai bicara, sekali lagi mereka melewati para wanita yang mengerumuni tukang sayur. Gladys mengetahui hal itu saat melihat motor yang penuh berisi sayuran dan sejenisnya. Saat itulah Gladys melihat wajah yang sepertinya pernah dilihatnya belum lama ini. Ah, tapi mana mungkin. Paling cuma mirip saja. Mana ada tukang sayur seganteng si tukang kritik, pikirnya.
"Pak, nanti kita ke butik dulu ya. Habis itu antar saya ke rumah mas Erick." Perintah Gladys. "Nanti pas saya di butik pak Dudung antar Endah tempat kursus yang waktu itu ya."
"Baik, Non. Oh iya, saya boleh ijin sebentar nggak Non? Saya mau ke bank, mau transfer uang buat istri di kampung. Kebetulan anak saya mau beli sepeda buat ke sekolah."
"Anak pak Dudung yang pertama? Sekarang sudah kelas berapa pak? Waktu liburan di rumah, masih SD kelas 3 ya?" Walaupun manja dan jutek, tapi Gladys sangat perhatian kepada para asistennya.
Demikianlah keluarga Praditho dalam memperlakukan orang-orang yang bekerja pada mereka. Keluarga Praditho juga memperhatikan kesejahteraan keluarga para pegawainya. Bahkan anak mbok Siti yang paling besar, Citra, saat ini bekerja sebagai pegawai di perusahaan Ghiffari, setelah lulus kuliah dari akademi pariwisata. Citra bisa kuliah juga karena dibiayai oleh pak Praditho.
"Iya non, si Raffa. Sekarang dia sudah lulus SD. Alhamdulillah sekarang kelas 7 di Tsanawiyah (Madrasah setingkat SMP). Kebetulan sekolahnya agak jauh sedikit dari rumah. Daripada naik angkot, dia lebih memilih naik sepeda sebagai sarana transportasi. Lebih sehat dan pastinya lebih irit ongkos. Dia juga bisa sekalian antar dagangan umminya ke warung-warung."
"Wah hebat. Semoga sekolahnya lancar ya, Pak."
"Aamiin. Makasih non untuk doanya."
"Oh ya pak, nanti saya transfer sedikit uang buat Raffa beli sepeda. Uang pak Dudung simpan saja buat kebutuhan lain, atau buat nambahin tabungan kuliahnya Raffa."
"Masya Allah. Terima kasih, non Gladys. Raffa pasti senang banget kalau tahu dibelikan sepeda oleh non Gladys." Tak hentinya pak Dudung mengucapkan terima kasih, sehingga Gladys menjadi jengah.
"Sudah ah, Pak. Nggak usah berterima kasih terus. Yang penting Raffa senang dan studinya bisa lancar."
Di butik Gladys disambut oleh Tatiana, orang kepercayaan Gladys. Ya, pengelolaan butik memang diserahkan sepenuhnya kepada Gladys, yang kebetulan sempat kuliah desain di Perancis.
"Mbak, gimana desain yang kemarin? Sudah ada feedback dari survey reguler customer kita?" Tanya Gladys setelah masuk ke dalam ruangannya.
"Sudah, Mbak. Respondnya cukup bagus untuk kalangan anak muda sampai usia 30an. Untuk di atas usia tersebut, mereka lebih prefer desain batik yang lebih kalem warnanya. Ada beberapa masukan juga dari mereka yang menurut saya bisa dijadikan pertimbangan."
"Okay, kalau begitu mbak Tia bisa lanjut ke bagian RND untuk menyempurnakan desain yang sudah ada. Kemudian jangan lupa juga input dari customer kita coba masukan ke desain tersebut. Kalau sudah ready bisa email dulu ke saya dan pak Praditho untuk hasil akhir."
"Baik, Mbak." Tatiana mencatat hal-hal penting yang Gladys sampaikan. "Mbak, ada undangan peluncuran autumn collection dari Fresca 'N Co. Mereka salah satu desainer yang memakai produk batik kita. Kemudian besok ada undangan makan siang dari Aina Moslem Wear. Mereka juga akan meluncurkan desain terbaru mereka."
"Okay. Kamu masukkan dalam agenda kegiatan saya, kemudian kirim ke email saya," perintah Gladys. Saat bekerja Gladys terlihat sangat profesional. Hilanglah image manja yang selama ini melekat pada dirinya. Berbeda dengan kehidupan pribadinya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangannya. Masuklah seorang wanita muda membawakan minuman untuk Gladys.
"Selamat pagi, Mbak." tegur wanita muda itu dengan sopan. Gladys tersenyum melihatnya
"Pagi Hasna. Oh ya, gimana kuliah kamu? Sudah semester tiga ya?"
"Iya mbak. Oh ya, ibu saya titip kue ini buat mbak Gladys." Hasna menyerahkan kotak yang sepertinya berisi kue. "Kebetulan tante saya datang ke rumah antar kue ini."
Gladys membuka kotak kue tersebut dan terlihatlah brownies kesukaannya. "Waah, kamu tahu aja kalau saya suka kue ini. Kalau lihat tampilannya pasti enak nih. Hmm... benar-benar enak nih. Kapan-kapan saya pesan ya."
"Siap mbak. Nanti mbak bilang saja, pasti saya sampaikan orderannya."
Gladys menikmati kue tersebut sambil berpikir, tiba-tiba terlintaslah ide cemerlang di kepalanya. Gladys membuka ponselnya dan menghubungi sebuah nomor.
Gladys : "Assalaamu'alaikum. Win, elo lagi dimana? Bisa datang ke butik gue? Bisa nggak lo ajak Khansa dan Ayu ke butik gue siang ini?"
Wina : "Wa'alaikumussalaam. Siang ini ya? Aku tanya sama mas Jihad dulu ya?"
Gladys "Musti banget ya ijin sama suami lo?"
Wina : "Iya sayang. Agama kita mengajarkan kalau seorang istri hendak keluar rumah hendaklah ia meminta ijin kepada suaminya"
Gladys : "Kalau nggak diijinin?"
Wina : "Ya nggak boleh pergi. Nanti kukabarin ya bisa nggaknya aku ke tempat kamu.
Gladys : "Hehehe... makanya gue belum mau kawin. Ribet. Nggak bebas."
Wina : "Justru itu untuk kebaikan sang wanita. Aku doain kamu cepat ketemu jodoh yang bisa jagain kamu, Dys."
Gladys : "Doain yang lain saja, Win. Doa yang itu nanti-nanti aja kalau gue sudah selesai keliling dunia."
Wina : "Ada-ada aja kamu Dys."
⭐⭐⭐