Lita mengedarkan tatapannya ke sekeliling jalanan hijau yang banyak dipenuhi dengan pohon-pohon. Rasa penasarannya semakin terpacu saat Elanda membawa mobilnya untuk berbelok memasuki sebuah gerbang kayu yang dibuka oleh seorang satpam.
Suara mobil melaju halus membuat Lita merasakan ketenangan, netranya dimanjakan dengan banyak pohon hijau dan jalanan batu yang di tertata rapih dan rata. Jalanan ini memberi nuansa baru bagi Lita seolah ia memasuki dunia yang berbeda di mana ia biasanya hanya melihat bangunan tinggi pencakar langit, dengan jalanan yang ramai dipenuhi kemacetan dan suara kendaraan atau suara klakson menyebalkan di sana sini. Namun sekarang di kanan kiri ia hanya melihat pepohonan dan jalanan kosong di mana hanya ada mobil Elanda.
"Ini hotelnya, Pak?" Tanya Lita menebak saat ia melewati sebuah tugu dari batu atau beton, Lita tidak tahu tepatnya, sih. Di tugu itu tertulis nama hotel ditambah tulisan spa dan resort.
Elanda menoleh, "Ya, kita nginep di sini malam ini. Resort ini punya pemandangan bagus. Kata kamu, kamu lagi pusing, kan? Tempat ini bakal cocok buat kamu yang lagi butuh tempat yang menenangkan." Sahut Elanda seraya menganggukkan kepala ke arah seorang petugas parkir yang membantu mereka untuk memarkirkan mobil di area parkir.
Saat sang bos sedang sibuk memarkirkan mobilnya, Lita bersiul pelan karena melihat area parkiran yang cukup ramai. Sepertinya hotel ini memang cukup ramai. Ah pasti juga efek karena ini hari Jumat, dan besok adalah weekend. Ia sudah sering melihat berita bahwa di hari Jumat, Sabtu dan Minggu jalanan di kota yang terkenal dengan kebun teh ini pasti selalu macet.
"Ayo turun."
Lita tersentak dari lamunannya saat ia mendengar suara Elanda mengajaknya untuk keluar dari mobil. Karena melamun ia jadi tidak memperhatikan bahwa Elanda sudah selesai memarkirkan mobilnya.
"E-eh iya, Pak." Sahut Lita lalu segera membawa tangannya menuju pintu mobil namun saat ia melihat pintu mobil, Lita terdiam dengan tatapan bingung karena ia masih berkutat dengan masalah yang sama--tidak bisa membuka pintu mobil.
Lita menggigit bibir. Tangannya yang semula sudah terangkat, kini terdiam mengambang di udara. Lita menghela napas merasa malu karena ia berpikir ia pasti terlihat begitu katrok di hadapan Elanda. Sementara dari ujung ekor netranya, Kita sedang melihat Elanda yang sedang mengambil tas nya, sepertinya pria itu sedang memilah barang mana yang sebaiknya ia bawa dan barang mana yang sebaiknya tidak.
"Nanti kamu enggak usah bawa laptop atau peralatan kerja lain." Ujar Elanda namun Lita tak menjawabnya dan hanya meresponnya dengan katupan bibir. Meskipun Elanda memintanya untuk jangan membawa laptop, tapi Lita tetap ingin membawa karena ia harus menguasai materi yang nanti akan ia presentasikan proposal kerja sama di hadapan Dirga.
"Bawa barang yang penting aja, ah ya, kita belum ada baju sih. Tapi saya ngerasa agak sedikit capek. Kita istirahat dulu baru nanti beli keperluan lain, ya?" Ujar Elanda yang dijawab Lita dengan anggukan. Tentu saja Elanda akan lelah ia membawa kendaraan dari Jakarta ke sini. Pasti cukup melelahkan, ditambah sebelumnya pria itu kekurangan tidur.
"Siap, Pak." Sahut Lita dengan nada pelan karena sesungguhnya ia masih tidak percaya bahwa Elanda benar-benar mengajaknya berlibur padahal ucapannya tentang liburan itu hanya celetukan iseng.
"Oke, kalau udah, ayo kita ke resepsionis buat check-in." Ajak Elanda diangguki Lita dengan kaku. Gadis itu malah terlihat menggigit bibir bawahnya, ia kebingungan tapi ia tidak bisa mengutarakan kebingungannya.
Lita kembali melirik pintu mobil dan membawa tangannya untuk menyentuh gagang pintu, tapi sayangnya tetap saja ia tidak tahu cara membuka pintu mobil ini. Apakah pintu ini dibuka ke arah atas seperti mobil Lamborghini pada umumnya?
"P-pak--" Lita semula berniat bertanya pada Elanda bagaimana cara membuka pintu mobil ini, namun saat ia menoleh, ia mendapati bahwa Elanda sudah membawa tubuhnya mendekat pada Lita dan hendak membukakan pintu itu untuk Lita.
"E-eh," Lita menahan napas karena wajah Elanda berada di jarak yang begitu sangat dekat, Lita yakin jika ia tadi kelepasan menoleh, wajahnya akan beradu kuat dengan wajah tegas Elanda, untungnya ia menoleh perlahan sehingga ia tidak menabrak wajah Elanda dan malah berakhir dengan menatap netra cokelat hazel dari Elanda.
Begitu pun Lita, Elanda juga menatap iris cokelat Lita yang terlihat seolah berbinar. Entah efek cahaya matahari sore atau memang netra gadis itu selalu berkilauan seperti permata. Elanda tidak pernah memperhatikan karena selama ini ia hanya bisa Melihat perawakan Lita yang duduk di balik layar komputernya, atau bergosip di balik dekat meja kantor.
Tatapan keduanya untuk sesaat beradu dan saling terpaku satu sama lain. Elanda dapat melihat bahwa Lita membawa tangannya di atas dadanya, gadis itu pasti terkejut karena mendapati wajah Elanda begitu dekat padanya. Tatapan itu baru putus, saat Elanda bersuara dan kembali menarik tubuhnya untuk duduk kembali pada kursinya.
"Buka pintunya kaya buka Lambo biasa. Ke atas." Ungkap Elanda lalu membawa kembali tubuhnya untuk mundur. Sementara Lita untuk sesaat lupa bagaimana caranya bernapas dengan jantung yang juga rasanya berhenti berdetak.
"O-oh begitu, ya. Oke, Pak. Saya akan ingat." Ucap Lita sedikit terbata lalu membawa kepalanya untuk menunduk. Sementara Elanda memilih melangkah keluar lebih dahulu.
"Hah ... Gila. Hampir aja rasanya jantung mau copot." Keluh Lita saat akhirnya Elanda sudah keluar dari mobil. Lita terdiam seraya memegangi jantungnya yang terus bertalu tidak karuan. Ia tidak bisa memfokuskan dirinya dan terus terbayang bagaimana tadi tatapan Elanda yang membiusnya. Pria itu begitu mempesonanya.
"Hush! Apaan sih, astaga." Lita menepuk pipinya saat merasakan rona panas menyerang.
Cklek
Suara pintu terbuka padahal Lita belum membukanya membuat Lita nyaris meloncat dari tempatnya duduk.
"Lita? Kamu betah banget di mobil lambo saya, sampai enggak mau turun?" Tanya Elanda dengan nada meledek.
"Astaga, Bapak ngagetin saya."
"Habis kamu enggak mau keluar-keluar. Kalau kamu mau nginep di sini juga enggak papa tapi jangan salahin saya kalau ada hal horor--"
"Saya turun ini, Pak!" Lita membawa tas laptopnya yang berada di kaki, lalu dengan cepat ia menyusul Elanda yang dua langkah lebih depan darinya. Keduanya lalu melangkah ke arah meja resepsionis.
"Biar saya aja yang pesan kamar. Kamu kalau pegal duduk aja." Tawar Elanda, namun Lita terlihat tidak setuju.
"Biar saya aja yang pesan kamar, tadi Bapak katanya capek, kan?" Tawar Lita. Namun membuat Elanda seketika tersenyum jahil.
"Ya udah kamu yang pesan, tapi kamu juga yang bayar, ya? Saya mau kamar--"
"Saya yakin kalau Bapak tahu saya ini rakyat jelata. Bapak sendiri kan yang bilang kalau Bapak enggak akan buat saya tekor karena Bapak tahu nominal gaji saya!" Rajuk Lita membuat Elanda tersenyum tipis.
"Nah, maka dari itu biar saya yang pesan--"
"Eh jangan begitu dong Pak! Masa saya sedari tadi cuma duduk sementara Bapak kan udah nyupir mobil--" Selak Lita masih bersikukuh.
"Halo selamat datang di Lawu Resort and Spa. Ada yang bisa saya bantu, Pak, Bu?" Sapa salah seorang pria yang menggunakan seragam hotel, sepertinya ia adalah Greeter hotel. Dan ia mungkin menghampiri ke arah Lita dan Elanda karena dua orang ini tidak kunjung melangkah ke arah meja resepsionis.
"Ah, ya, saya mau pesan kamar. Resepsionisnya di sana, ya?" Tanya Lita menunjuk ke meja resepsionis, diangguki oleh Greeter itu.
"Untuk dua orang, ya? Bapak ibu, pasangan?Kebetulan kami sedang ada promo untuk pasangan. Mari saya antar ke resepsionis."
"E-eh pasangan?!"