"Laila? Kenapa hanya dia?" tanya Eva yang muncul di balik pintu. Ia sangat kecewa karena sampai saat ini ia masih belum dianggap menantu oleh Seruni.
"Eva?" Seruni kaget karena Eva sudah berdiri dua meter dari tempat ia duduk. Ia juga telah mengatakan pada Laila bahwa hanya Laila yang menjadi menantunya.
"Kak Eva?" Laila juga tidak tahu harus berbuat apa.
"Kalian memang tidak pernah mengakuiku, hah?" Eva berbalik dan berlari ke kamarnya. Ia mulai meneteskan air matanya dan mengunci pintu dari dalam kamar. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun.
"Ma," panggil Laila. "Apa tidak kita kejar mbak Eva? Jelaskan padanya kalau dia juga menantu Mama," harap Laila. Ia tidak tega melihat Eva bersedih. Bagaimanapun juga, Eva juga suami dari Hilman.
"Biarkan saja, Laila. Nanti mama yang jelaskan semuanya. Kamu tenang saja," sahut Seruni yang nampak tenang. Ia memang tidak menganggap Eva. Walaupun menganggap, itu karena Hilman yang memintanya.
"Ya Allah, Ma. Kan kasihan mbak Eva-nya. Dia juga suami dari mas Hilman juga, kan?" ujar Laila.
"Apa kamu nggak apa-apa, kalau berbagi suami, Laila?" tanya Seruni. Sebagai seorang wanita, jika itu dia, Seruni tidak akan rela. Seruni tidak terlalu memperdulikan Eva karena ia lebih ke Laila.
"Aku tidak apa-apa, Ma. Mungkin mbak Eva yang merasa sakit hati." Laila tidak tahu perasaannya sendiri. Ia tidak merasakan sakit di hatinya.
"Apakah kamu belum mencintai Hilman, Nduk?" tanya Seruni.
Laila menggelengkan kepalanya. Ia belum tahu perasaannya. Ia baru mengenal Hilman belum lama. Lagipula selama dua minggu setelah lamaran, ia tidak pernah bertemu Hilman lagi. Mereka baru dipertemukan saat acara pernikahan.
"Mungkin kamu belum mencintainya. Mungkin suatu hari nanti, kalian akan saling mencintai satu sama lain," ujar Seruni.
"Aamiin," sahut Laila mengamini.
***
Sementara Eva menangis di kamarnya. Ia sangat kecewa dan marah kepada mertuanya. Namun yang paling tidak suka adalah kehadiran Laila, yang mengganggu dan mengacaukan semuanya.
"Aku benci semua orang. Aku juga benci Laila! Mengapa dia merebut semuanya? Mengapa dia merebut suamiku? Dia juga merebut kasih sayang mertuaku? Kenapa? Hehh ... aku memang wanita kotor. Aku tidak pantas untuk keluarga mereka yang suci itu. Hiks ...."
Saat ini Eva dalam keadaan tengkurap. Ia menangis sesenggukan dan memeluk dirinya sendiri. Ia memalingkan badannya dalam posisi menyamping. Ia masih terus sesenggukan dalam tangisannya.
Emosinya meninggi ketika mengingat ucapan Seruni yang tadi ia ucapkan. Memang sudah semestinya ia tidak berada di tengah-tengah keluarga ini. Ia hanya percaya pada Hilman yang dicintainya.
"Kalau bukan karena mas Hilman, aku sudah tidak mau lagi di sini. Mengapa kamu tidak datang ke sini, mas Hilman?" racaunya. Ia merenungi nasibnya yang harus hidup dalam penderitan.
Dulunya Eva merupakan wanita kotor. Ia bekerja setiap malam melayani banyak lelaki hidung belang hanya demi menyambung hidup dan mencari banyak uang untuk ibunya. Setelah kematian ibunya, ia tidak ada tujuan hidup lagi. Bahkan ia pernah sempat ingin bunuh diri.
"Ibu ... kenapa anakmu seperti ini? Dari kecil, aku sudah menderita karena ayah yang selalu jahat sama kita. Ibu ... aku kangen sama ibu, huhuhuu ... anakmu ingin bertemu denganmu, ibu."
Eva melihat tali korden yang terpasang di jendela kaca kamar itu. Jika ia menyambungkan tali-tali itu, bisa digunakan untuk bunuh diri.
"Apa aku harus menyusulmu, ibu? Aku sungguh tidak kuat lagi. Tidak ada yang menganggap aku ada, ibu." Eva sesenggukan dalam tangisnya.
Ia hanya perlu berani untuk melakukannya. Namun ia melihat cincin pernikahannya dengan Hilman. Kalau ia memilih untuk bunuh diri, bagaimana dengan Hilman? Ia sangat mencintai suaminya.
"Apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di sisimu, Sayang. Maka jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku," ucapan Hilman terngiang di kepalanya. Mengingat itu, hatinya semakin pilu. Bagaimana jika ia memutuskan untuk bunuh diri? Bagaimana jika Hilman bersedih?
Eva perlu berpikir terkait keputusannya itu. 'Apakah aku bisa meninggalkan mas Hilman? Tetapi bagaimana nanti jika ia bersedih setelah kematianku? Tapi kan ada Laila,' batin Eva bertanya.
Sekali lagi ia dihadapkan dua pilihan sulit. Jika ia mati, Hilman masih memiliki Laila sebagai istrinya. Tetapi ia juga tidak rela jika ia harus kehilangan Hilman. Ia juga masih mengingat janjinya untuk tidak meninggalkan Hilman.
Setelah kematian ibunya, hanya ada Hilman yang selalu ada untuknya. Lelaki itu pun berbeda dari lelaki kebanyakan yang hanya membutuhkannya untuk menuntaskan hawa nafsunya. Hilman berbeda karena tidak memanfaatkan kesempatan itu sewaktu dulu. Baru setelah menikahinya, Hilman baru berani menyentuhnya.
"Jika bukan karena mas Hilman, mungkin aku sudah menyusul ibu. Oh, maafkan aku, mas Hilman. Aku tidak akan bunuh diri karena hal ini!" putus Eva. Ia sudah bertekad untuk mempertahankan statusnya sebagai istri dari Hilman.
Eva menguatkan hatinya untuk mencoba lagi. Setidaknya ia masih memiliki seseorang yang peduli padanya. Walau hanya satu orang yaitu suaminya sendiri, ia harus membuktikan bahwa dirinya bisa. Ia sudah mendapatkan banyak luka di hatinya. Hanya karena tidak diakui sebagai menantu, ia tidak patah semangat.
"Aku harus bisa! Ayo Eva! Hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan hati kedua orang tua mas Hilman. Hehehe ... Hahaha! Betapa begonya aku kalau kalah dari Laila itu."
Eva bangkit dari tempat tidurnya. Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan air matanya. Ia harus membuktikan pada dua mertuanya kalau ia pantas menjadi menantu yang baik.
"Laila ..." ucap Eva lirih. Ia mengingat wajah Laila yang memang lebih cantik darinya. Walaupun ia dandan seperti apa, tetap saja ia kalah dari Laila yang bahkan tidak pernah memakai make-up di wajahnya.
Setelah membersihkan wajahnya, ia mengambil handuk kecil untuk mengeringkannya. Ia kembali ke kamar untuk mengganti make-upnya. Ia menghiasi wajahnya yang masih polos dengan aneka hiasan wajah itu.
"Laila? Siapa dia berani melawanku? Akan ku buktikan pada mereka, aku lebih dari Laila. Gadis sepertinya, memang bisa apa? Seorang gadis desa yang bodoh itu, palingan hanya bisa mengandalkan orang lain, heh!"
Ia tersenyum sambil menerapkan perias wajah berupa bedak yang pastinya berharga mahal. Adapula pemerah bibir dan pewarna bulu mata. Membuat tampilan Eva semakin cantik.
"Apakah Laila bisa berdandan, hah? Gadis desa, tahu apa soal dandanan seperti ini?" ujarnya sambil menatap bayangan dirinya di cermin.
Sementara Laila sudah berada di depan pintu kamar Eva. Ia merasa dirinya harus menenangkan Eva. Ia juga harus berhubungan baik dengan Eva. Sebagai seorang istri yang lebih muda, ia ingin memberi rasa hormatnya pada Eva.
"Kuharap mbak Eva tidak apa-apa," lirih Laila. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan. "Mbak Eva. Ini aku, Laila." Laila menunggu jawaban dari Eva.
Eva yang ada di dalam mendengar Laila. Ia tersenyum dan berhenti mengaplikasikan make-upnya. Ia berdiri dan berjalan menuju ke pintu. Ia membuka pintunya dan terlihat Laila yang tersenyum kepadanya.
"Ada apa? Menantu kesayangan mertua, mau pamer pada menantu tak dianggap? Ini sungguh lucu," ejek Eva.
"Maaf, mbak Eva. Aku tidak–"
"Tidak apa, hah?" geram Eva. Karena kepalang emosi, ia mendorong Laila dengan keras.
Karena dorongan dari Eva, Laila terhempas ke belakang. Untungnya ada Seruni yang menangkap Laila dengan kedua tangannya. Seruni sangat marah terhadap Eva karena perlakuannya.
"Apa yang kamu lakukan pada menantuku, hah?" bentak Seruni.
"Tidak, Ma. Aku ..." ucap Eva yang tidak tahu harus bilang apa. Ia sudah semakin buruk di mata Seruni.
***