*Flashback*
Seorang gadis mungil, berlarian di pinggiran sungai kecil. Gadis berusia delapan tahun itu berlari dengan sebuah buku di tangannya. Di belakangnya, sepasang suami isteri sedang mengejarnya.
"Laila, jangan lari-lari! Nanti jatuh, loh!" seru Maisaroh memperingatkan Laila.
"Iya, Laila. Tunggu kami." Fattah ikut berlari kecil menggandeng tangan istrinya.
Namun gadis itu tidak mau berhenti. Ia malah berlari semakin kencang. Untuk anak seusianya memang lagi senang-senangnya bermain. Apalagi Laila yang suka dengan tantangan. Ia melewati jalan setapak dengan hati yang riang.
"Ayo kejar Laila, kalau bisa!" tantang Laila kecil. Gadis itu terus berlari dengan kaki mungilnya. Tidak terasa, ia sudah terlalu jauh dari ummi dan abinya.
Walaupun ia sudah jauh dari kedua orang tuanya, ia tidak peduli. Karena Laila sudah hafal rumah kakeknya. Jadi ia hanya perlu berlari menuju rumah kakeknya.
Laila sangat senang ketika ia melihat sebuah pondok bambu di kaki bukit. Ia sebentar lagi akan tiba di rumah kakeknya. Maka ia lebih bersemangat lagi. Ia berlari lebih kencang agar bisa cepat bertemu dengan kakeknya.
Gadis mungil itu malah bisa berlari lebih cepat lagi, ketika jarak rumah bambu yang dituju sudah berjarak lima puluh meter. Laila yang melihat rumah di depan matanya, malah tertawa dan menunjukkan bahwa dirinya hebat.
Saat sudah sampai, Laila bernafas dengan ngos-ngosan karena ia merasa lelah. Gadis itu melihat ke arah seorang pria tua yang sedang membuat tikar di depan rumah.
"Kakek!" teriak Laila. Ia sangat senang walau terlihat sangat lelah. Dipenuhi keringat yang mengucur di dahinya. Laila juga melihat ke arah pria tua itu dengan pandangan menyelidik, 'Sedang apakah kakek?'
Saat Laila sampai di depan rumah, Pramono yang sedang membuat tikar dari daun pandan, tidak tahu kalau cucunya berlari ke arahnya. Pramono yang kaget pun langsung menengok ke arah Laila.
"Eh, Cucu kakek sudah datang! Kok sendirian? Mana abi sama ummi?" tanya Pramono. Pramono menengoknya kanan kiri dan melihat ke arah jalan. Namun ia tidak menemukan apapun di sana.
Dari kecil, Laila diajari untuk memanggil ibu sebagai ummi, bapak sebagai abi. Pramono hafal betul kebiasaan yang dilakukan oleh cucunya. Laila merupakan seorang gadis yang ceria dan penuh semangat.
"Di belakang, Kek. Abi sama umi larinya lamban. Huhh, aku capek banget, Kek!" seru Laila dengan nafas ngos-ngosan. Gadis itu merasa haus dan ingin minum. Namun ia lebih senang karena bertemu kakeknya.
"Ooh, makanya jangan lari-larian. Kamu yang main lari-larian, abi sama ummi ditinggal juga, toh," lirih Pramono langsung mendekat ke arah Laila.
"Eh, lupa. Assalamualaikum, Kek," salam Laila. Ia memberi salam, kemudian mengulurkan tangannya.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ..." jawab Pramono dengan senyum mengembang melihat Laila yang terlihat lucu.
Pramono menjabat tangan Laila. Gadis itu mencium tangan sang kakek dengan senyuman terlukis di bibirnya yang mungil. Pramono yang mendapat perlakuan sopan santun dari Laila, sangat gembira.
"Assalamualaikum, Pak," salam Fattah dan Maisaroh bersamaan.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Pramono, tanpa mengalihkan pandangannya pada mereka.
Pramono terlihat bahagia karena kedatangan anak, menantu dan juga cucunya. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, terkadang ia merasa kesepian hidup seorang diri. Saat kedatangan mereka, membuat hatinya bahagia. Ia bahkan menemukan semangat hidupnya kembali.
"Kalian, kenapa baru datang menemui Bapak?" tanya Pramono dengan nada protes. Ia sebenarnya sayang pada mereka. Hanya ia merasa sendirian di usia yang sudah tua.
"Maaf, Pak. Kami baru mengunjungi Bapak. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi. Panen kami gagal, karena serangan ulat bulu yang belakangan ini menjadi penyebab gagal panen sayuran kami." Fattah menceritakan kemalangan itu pada Bapaknya. Maksud kedatangan Fattah memang ingin meminta bantuan pada Pramono.
Fattah merasa dirinya bersalah pada Pramono. Sebagai anak, ia yang seharusnya memberi bantuan bapaknya. Namun ini malah sebaliknya.
"Saat susah aja, kamu baru ingat Bapak. Dasar kamu, Fattah," ungkit Pramono. Ia sengaja menyindir Fattah karena lama tidak mengunjunginya.
"Maafkan kami, Pak," ucap Maisaroh. Sebagai seorang menantu, ia juga baru menyadari kalau memang perkataan mertuanya itu memang benar. Ia sudah lama tidak menguntunjungi Pramono.
"Sudahlah, Maisaroh. Itu kesalahan suami kamu. Sebagai seorang istri, Kamu hanya perlu menurutinya, bukan?" Pandangan Pramono menohok ke arah Fattah.
"Bapak, bukak begitu, eh," kelit Fattah. Ia menyadari kesalahannya. Entah mengapa saat ia sedang dalam berkecukupan, ia melupakan orang tuanya yang sudah tua. Memang seharusnya ia sadar diri. Sebagai seorang anak, ia bahkan lupa pada orang tua yang telah membesarkannya.
"Kakek, nggak kangen sama Laila? Kok Laila dicuekin?" ujar Laila yang menatap Pramono dengan pandangan memelas. Itu malah membuat Laila terlihat sangat lucu.
"Duh, cucu kakek. Maafkan kakek, yah," jawab Pramono. Ia juga sangat sayang dengan Laila. Laila adalah cucunya yang paling ia sukai. Dan cucunya memang hanya ada satu.
"Gendong, Kek!" pinta Laila dengan manja.
"Laila, jangan gitu, ah," tolak Maisaroh. Ia tidak menginginkan Laila berbuat begitu dengan Pramono.
"Sudah ... lagian sudah lama kalian tidak membawa Laila ke sini. Kalian tidak tahu, saya sangat kangen sana cucuku ini." Pramono memandang Fattah sejenak, lalu memalingkan wajahnya, untuk melihat Laila.
"Yeay, aku digendong!" seru Laila dengan semangat. Begitu digendong, Laila akan sulit untuk dilepas.
"Jangan banyak gerak, Laila. Kakekmu sudah tua," ungkap Fattah. Namun ucapan itu mendapat senggolan dari Maisaroh.
"Abi," lirih Maisaroh. Ia mengingatkan agar Fattah tidak mengatakan itu pada orang tuanya sendiri.
"Siapa bilang, saya sudah tua? Ini masih kuat!" sergah Pramono. Ia menolak disebut tua. Walaupun usianya kini sudah enam puluh tahun lebih.
Laila sangat senang karena sang kakek menggendongnya. Walau berat, Pramono tetap menggendong Laila. Yang penting itu bisa mengobati kerinduannya karena sudah lama ia hidup sendiri. Fattah jarang membawa isteri dan anaknya untuk mengunjungi Pramono.
Melihat Pramono yang begitu gembira, dan juga Laila yang sedang tertawa lepas karena diajak berlarian di pelataran rumah, membuat Fattah dan Maisaroh bahagia.
"Lihat, mereka akan lebih baik jika bersama, kan? Jadi jangan lagi-lagi ingin membuat bapak terpisah dengan Laila." Maisaroh berkata lirih pada suaminya.
"Iya, Ummi. Lebih baik kita biarkan Laila dengan kakeknya. Ini akan lebih baik. Biar kakeknya tidak kesepian hidup sendiri."
"Nah, itu Abi lebih tahu. Pokoknya kita harus berada di sisi mereka. Mereka butuh kita, Abi."
"Iya, Ummi. Abi setuju."
Keduanya saling memandang satu sama lain. Fattah dan Maisaroh duduk di tikar yang baru dianyam Pramono, dan baru tujuh puluh persen pengerjaan. Maka Fattah mengambil alih pekerjaan Pramono yang belum selesai.
Maisaroh meletakan kantong kresek hitam di lincak (bangku panjang dari bambu) yang berada di depan rumah Pramono. Ia mengambil keripik pisang dan beberapa jajanan yang dia buat sendiri. Ia ingin menghidangkannya untuk suami dan mertuanya.
***