Kring ... Kring ... Kring ...
Suara alarm yang nyaring membangunkan pemuda itu. Dengan malas, ia membuka matanya dan mendudukkan dirinya. Menguap sebentar, lalu melangkah pelan menuju jendelanya.
Gorden ia sibak, sehingga pemandangan dari luar dapat terlihat dari kaca jendela yang bening itu. Suasana pagi ini ternyata cukup cerah. Membuat Rian memutuskan untuk membuka lebar jendelanya dan menghirup udara pagi yang segar.
Ia kemudian berjalan keluar dari kamarnya, menuju ruang makan. Membuka kulkas, lalu mengambil dua butir telur ayam. Kompor gas ia nyalakan dengan sebuah wajan berisi minyak goreng berada di atasnya.
Menunggu sejenak hingga minyak panas, ia lalu memecahkan kedua telur yang ia ambil tadi dan memasukkannya ke minyak yang sudah mengepul itu.
Rian lalu menuju rice cooker, membukanya dan mendapati nasi dingin di dalamnya.
Hujan kemarin membuatnya malas untuk melakukan aktivitas apapun termasuk makan. Membuat perut Rian pagi ini terasa melilit.
Rian mengambil seluruh nasi yang ada di dalam rice cooker dan menaruhnya di piring kosong. Tidak ada waktu untuk memanaskannya, dan ia sudah benar-benar kelaparan.
Dengan cekatan, Rian memindahkan dua telur yang telah ia goreng itu ke atas piring kecil.
Ia pun duduk dan menyantap sarapan sederhananya itu seperti hari-hari biasa. Dalam keheningan dan kesendirian. Tanpa ada seorang pun yang menemaninya.
Selesai dengan sarapannya, Rian segera membersihkan semua peralatan makannya kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit kemudian, Rian telah siap dengan seragam rapi lengkap dengan tas di punggungnya. Ia melangkah keluar. Tapi sebelum benar-benar keluar, ia menghentikan langkahnya di ruang tamu dan menatap sebuah foto.
"Rian berangkat dulu, ya."
🌦 🌧 ⛈️
Suasana kelas yang berisik menyambut kedatangan Rian pagi ini.
Arga yang melihat Rian datang segera menghampiri dan merangkulnya. "Yo, bro! Kirain lo gak bakal dateng hari ini."
"Pagi ini gak ujan, sih. Jadi gak ada alasan buat gue enggak dateng ke sekolah," jawab Rian santai sambil duduk dan meletakkan tasnya di atas meja.
Arga mengangguk-angguk. "Bener juga. Pagi ini cerah banget." Arga duduk di bangkunya yang berada di samping kiri Rian. "Btw, si singa sialan itu ngaduin lo lagi, kemarin," bisik Arga sambil melirik Leo yang baru saja datang.
Rian tersenyum miring. "Biarin aja lah. Gak usah ditanggepin," ujar Rian santai. Toh, ia yakin para guru tidak akan terlalu mempermasalahkan keabsenan dirinya selama ia terus mengukir prestasi untuk sekolah ini.
Rian sudah maklum dengan teman sekelasnya itu. Leo Alvarendra. Si peringkat dua yang selalu mencari-cari kesalahan dirinya. Si peringkat dua yang selalu berusaha menantang dirinya, walau bagaimanapun juga, pada akhirnya Rian tetap tak akan pernah terkalahkan.
"Oh, iya. Hari ini ada tugas Fisika!" teriak Arga heboh saat melihat beberapa teman sekelasnya sibuk mencatat. "Bro, pinjemin gue buku tugas lo, dong," pinta Arga sambil menepuk-nepuk bahu Rian tak sabaran.
Rian menatap temannya itu dengan datar tanpa mengucapkan apa pun.
"Ayo dong, bro. Ilmu itu harus dibagiin kepada sesama, gak boleh pelit-pelit."
Rian memutar bola matanya malas. Bisa aja ni anak, pikirnya.
"Kenapa lo gak liat tugas anak-anak yang lain, aja?" tanya Rian masih dengan wajah datarnya.
"Kalau tugas anak-anak yang lain, belum tentu kebenarannya. Kalau sumbernya dari lo, jawabannya tuh udah pasti 100 persen bener," jawab Arga lancar.
"Bantuin temen ganteng lo yang bahkan lebih ganteng dari Song Joongki ini, dong," tambah Arga, membuat Rian menampilkan wajah seolah ingin muntah.
"Kepedean banget, lo. Bikin gue mau muntah aja."
"Ya elah. Lo itu gak bisa banget diajak becanda, deh. Kalau udah musim penghujan gini, bawaan lo sensitif mulu kayak cewek lagi pms," cerocos Arga.
"Lo tuh yang bawel kayak ibu-ibu rempong!" balas Rian sengit.
Melihat Rian yang masih bergeming, Arga pun segera memasang wajah memelasnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya. "Please bro, bantuin gue. Kalau tugas gue enggak selesai, gue bisa dimakan hidup-hidup sama Pak Edi nanti."
Sungguh, hanya membayangkan kemarahan Pak Edi sudah membuat Arga merinding. Guru Fisika yang satu itu memang sangat disiplin akan semua hal. Apalagi, jika menyangkut dengan tugas yang ia berikan. Tak ada ampun bagi yang tidak mengerjakannya.
Jengah dengan tingkah Arga, Rian pun menghela napas singkat. "Iya, iya. Nih!" ujarnya sambil menyodorkan buku tugas Fisika yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas.
Arga tentu saja segera menyambar buku itu dengan senyum lebar.
"Lo emang terbaik deh. Bestfriend gue! Istirahat nanti, bilang aja lo mau makan apa. Gue traktir lo sepuasnya!"
Dengan terburu-buru, Arga mengeluarkan buku tugasnya juga. Dan dalam sedetik, Arga kembali menoleh pada Rian.
"Eh, pinjem pulpen lo dong," pintanya pada Rian sambil menampilkan wajah tak berdosanya.
Rian menyodorkan pulpennya dengan wajah malas sambil mengumpat dalam hati, 'Dasar anak kaya gak modal!'
Arga pun segera dan menyalin jawaban Rian dengan secepat kilat. Berlomba dengan waktu dan langkah kaki sang guru yang semakin mendekat.
🌦 🌧 ⛈️
"Sip! Ayo kita ke kantin sekarang!" teriak Arga semangat tepat setelah bel jam istirahat berbunyi.
Rian yang telah berjalan mengikuti Arga harus terhenti ketika mendengar panggilan Aurel, si Ketua Kelas.
"Lo dipanggil ke ruang ruang guru."
"Oke," tanggap Rian cepat dan singkat.
Rian sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Ia tentunya akan mendengarkan ceramah panjang lebar dari wali kelasnya perihal ia yang tidak masuk sekolah kemarin. Wali kelasnya adalah satu-satunya guru yang begitu mempermasalahkan keabsenan dirinya dari sekolah.
"Lo ke kantin duluan deh. Gue nanti nyusul," ujar Rian pada Arga.
"Oke kalau gitu. Tapi, lo mau makan apa? Biar gue pesenin sekalian."
"Bakso aja."
"Oke!"
Setelah Arga melangkah menuju kantin, Rian juga melangkah menuju ke ruang guru. Sesampainya ia di sana, ia dapat melihat wali kelasnya telah menunggunya. Rian pun segera duduk di depan wali kelasnya itu.
"Kenapa kamu gak ke sekolah kemarin? Apa benar gara-gara hujan lagi? Jawab yang jujur," tuntut wali kelas Rian.
Rian tak menatap Wali Kelasnya. Ia menunduk, lalu mengangguk pelan.
Bu Freya, wali kelas Rian yang berumur 30 tahun itu menatap Rian beberapa saat sebelum menghelas napas dan memijat keningnya.
"Rian, kamu itu sudah kelas sebelas. Tahun depan kamu akan berada di bangku akhir. Kebiasaanmu yang selalu absen di musim penghujan harus dihilangkan. Jangan karena kamu merasa diistimewakan oleh pihak sekolah, lalu kamu berlaku seenaknya."
"Cobalah berdamai dengan hujan."
Rian mendengus dan tertawa dalam hati mendengar itu. Berdamai dengan hujan? Itu tidak akan pernah terjadi!
🌦 🌧 ⛈️
To be continued