Shireen dengan santai memakan rotinya, dia sudah habis enam lembar roti. Sullivan diam menatapnya sambil menelan ludah. Shireen memicingkan sebelah matanya, tangannya merogoh plastik roti dan mengoleskan lagi selai lalu ditumpuk satu roti lain.
Melihat pria dihadapannya hanya diam menatapnya, Shireen mulai rileks dan percaya bahwa Sullivan tidak akan macam-macam padanya. Dia beranjak sebentar ke kulkas, lalu kembali dengan sebotol minuman dingin.
"Kenapa diam aja, kamu lapar?" Tawarnya, menyodorkan roti dan minuman.
"Kagak." Sullivan menggelengkan kepalanya pelan.
"Terus, kenapa atuh liatin terus?"
"Lu kerja jadi waiters doank di sana?" selidik Sullivan.
"Iya, di shift ada bagiannya," jawabnya, roti yang dia buat untuk Sullivan, masuk ke dalam mulutnya.
"Kok, gue nggak yakin, ya," cetus Sullivan, melontarkan pendapatnya.
"Maksudnya?"
"Lo udah berapa lama kerja?"
"Hampir setahun."
"Pernah di godain cowok?"
"Pernah, yang ngajak tidur juga ada."
"Terus, lo mau?"
"Nggak lah, aku masih bisa jaga ini," tegasnya, menunjuk bagian bawah celana tidurnya.
"Hmm." Sullivan menarik napas.
"Ngapain sih tanya-tanya, sama aja kaya si botak. Dateng kesini malah kaya orang mau interview gawe," tukasnya. Dia menutup plastik roti, lalu menyimpannya diatas kulkas.
"Oyah, sebagai permintaan maaf gue atas insiden semalem. Gue mau ajak lo jalan-jalan."
"Aku nggak ada waktu, sibuk kerja. Banyak, kok, yang ngajak jalan. Paling sekitar jakarta atau luar kota, males."
"Kanada, kita akan kesana," ucap Sullivan."
Puufhhh!
Uhuukk!
Uhuukk!
Shireen tersedak tidak percaya dengan perkataan Sullivan. Matanya melotot berbalik memindai pria dihadapannya dari atas sampai bawah. Dari tampangnya dia tidak melihat, jika Sullivan adalah orang berduit.
Dia mengusap mulut dengan ujung cardigan, roti campur air yang muncrat dari mulutnya, bercipratan di bawah lantai. Sullivan sedikit bergidik, melihat kejorokan Shireen. Shireen diam mematung, menepuk-nepuk pipinya.
"Ka-kanada, itu yang-yang diluar negeri?" ucapnya, jari telunjuknya dia arahkan ke sembarang arah.
"Iya, bukan pinggir empang," jawab Sullivan.
"Om, bercanda yah? Dari tampang aja, Om, keliatan bukan orang berduit," komentarnya.
"Dont judge by the cover," desis Sullivan. Dia berdiri lalu berjalan ke arah Shireen. Mereka berdekatan, matanya tajam menatap Shireen yang mendadak kikuk.
Sullivan mencium aroma tubuh Shireen, wanita itu memejamkan mata. Ada debaran juga desiran aneh yang dia rasakan, Sullivan tersenyum melihat ekspresi Shireen yang penuh harap.
Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana. Tangannya dia ulurkan seolah akan mengambil bahu Shireen, wanita muda itu semakin menampakkan ekspresi ingin disentuh. Kemudian
Plak! Sullivan menaruh tiket diatas kulkas yang ada dibelakang Shireen dan berkata," Itu tiket, lo mau nggak mau. Harus ikut gue, paspor, segalanya sudah gue urus," bisiknya.
Shireen tersadar lalu mendorong tubuh Sullivan. Dia membetulkan rambut dan berusaha menetralkan sikapnya yang sok jaim. Sesaat tadi, dia sempat berhayal jika Sullivan akan menciumnya. Dia menepuk pipi lalu tersenyum sendiri.
Sullivan berjalan menuju pintu, dia mendapat pesan segera kembali ke kantor. Karena Rangga memanggilnya untuk urusan penting. Shireen masih belum menjawab ajakannya, wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Aku nggak janji, udah dibilang sibuk kerja," sahut Shireen, tangannya dia lipatkan didepan. Wajahnya terlihat sekali menahan gengsi.
"Lo pasti mau." Sullivan menghentikan langkah tepat didepan pintu.
"Jangan berharap lebih, aku tahu kok, aku emang banyak yang ngejar. Kaya kamu, sampe bisa tahu indekost ku, entah darimana," ucap Shireen dengan pedenya.
Mendengar ucapan Shireen, Sullivan membalikkan badan dan kembali menghampiri wanita itu. Shireen santai memainkan kuku, berdiri menghentakkan pelan sebelah kaki. Wajahnya tersenyum tengil melihat Sullivan berbalik arah.
"Lo ingat, apa yang gue bilang semalam?" tanya Sullivan.
"Emm, kamu dikejar pembunuh bayaran, iya kan," jawabnya tersenyum lebar, teringat kata pembunuh. Wajah Shireen berubah pucat, mulutnya menganga lebar lalu dia tutup dengan tangan kanannya.
"Bryan, Dagong, sudah tau tempat lo tinggal. Tidak menutup kemungkinan, mereka ngawasin gerak gerik lo. Bisa-bisa, saat lo lagi enak tidur, nggak bakal bangun lagi," ancam Sullivan.
"Dagong, Bryan, botak, siapa sih mereka?" Shireen balik bertanya, dia takut mendengar ancaman Sullivan.
Sullivan berbalik meninggalkan Shireen, berjalan ke arah pintu. Dia menempelkan kertas kecil dibelakang pintu. Sebelum keluar dia berpesan, memberikan waktu hanya dua hari untuk Shireen berpikir.
"Suing emang, nanya nggak dijawab. Main naik motor tiba-tiba, sekarang ke seret sama pembunuh. Emak, mimpi apa gue semalem," rutuk Shireen, merasa kesal. Kesenangan dalam hatinya lenyap, karena nyawanya dalam bahaya.
"Woy! Om! Lu siapa sih sebenarnya," teriak Shireen di dalam kamar. Dia berdiri didepan pintu, bergantian matanya menatap tiket juga alamat kantor yang diberikan Sullivan. Shireen menekan keningnya, dia merasa pusing dengan yang terjadi serba mendadak.
Saat diperjalanan menuju kantor, Rangga mengirimkan pesan mengubah rute pertemuan mereka. Sullivan memarkirkan motornya di halaman rumah kedua Rangga. Di halaman yang sangat luas, dengan pemandangan yang asri. Sebuah meja bundar di kelilingi empat kursi bernuansa putih, di sana Rangga duduk santai menunggu kedatangannya.
Sullivan langsung menghampiri Rangga, pria itu memeluk erat partner bisnis sekaligus sahabatnya di kehidupan nyata. Rangga mempersilahkan duduk, tidak lama seorang asisten berpakaian hitam putih membawakan minuman untuk mereka berdua.
"Persiapan ke Kanada, gimana Bro?" tanya Rangga.
"Seratus persen siap, tapi gua bawa cewek," jawab Sullivan.
"Cewek yang mana lagi nih," goda Rangga, tersenyum iseng.
"Nggak ada, hidup gua mah tanpa cinta."
"Halah, nanti juga lo ngerasain jatuh cinta, Bro. Belum aja sekarang ada yang bikin hati lo deg deg dug!" Rangga memukul-mukul dadanya.
"Cinta nggak guna, pokoknya semua udah tersusun rapih, Bos. Paling lama yah dua minggu gua disono, abis kelar bisnis jalan bentar lah. Jarang-jarang bisa ke Kanada, gratis lagi," tukas Sullivan, menyesap teh nya.
"Mau sebulan dua bulan pun terserah, Bro, yang penting jangan menatap di sana. Repot nggak ada lo dimari."
"Bos, lo itu bos berkuasa. Nggak perlu lagi ada gua sebetulnya."
"Ayolah, jangan suka begitu, Bro. Nanti, siapa yang nemenin dugem." Rangga menggerak-gerakan alisnya.
"Owh, butuh temen dugem doank toh."
"Hahaha, gak lah. O yah, salam buat bokap sama nyokap ya. Sampein permohonan maaf gue dan tolong, bujuk mereka biar nggak ngambek lagi, oke," pesan Rangga.
"Kebiasaan deh, harusnya lo Bos yang minta maaf. Begini caranya, Mami, Papi, maafin Rangga atas segala kesalahan selama ini. Tolong, jangan hukum lagi aku. Tanpamu, aku bukanlah siapa-siapa di dunia ini," ucap Sullivan, memasang muka sedih.
"Begitu aja bisa, giliran sendirinya praktek, nol besar hahaha," ejek Rangga tertawa renyah.
"Gua serius, orang tua bisa dibujuk dengan begitu, Bos," desis Sullivan.
"Oke, oke, sorry. Ya, pokoknya mereka itu, kan, lebih dengerin lo dari pada gue anaknya sendiri. Take care, becarefull di sana. Hidup lo selalu dalam ancaman," ujar Rangga, menepuk bahu Sullivan.
"Bukan hidup namanya kalau nggak berurusan dengan kematian, Bos," balas Sullivan.
Setelah berbincang ringan, Sullivan pergi meninggalkan rumah Rangga. Dia kembali ke kantor dan mengecek segala persiapannya dengan Shireen berangkat ke Kanada. Entah kenapa, hatinya mendadak bekerja untuk melindungi wanita uang dia tumpangi kendaraannya.
Dia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya, setelah sekian lama hatinya mati. Rasa kasihan dan peduli, kembali hadir menghiasi. Di meja kerjanya, paspor juga tiket keberangkatan sudah siap. Sullivan menyimpannya ke dalam laci, pikirannya terbayang wajah Shireen yang terlihat lucu di matanya.
Saat Shireen menutup mata, rona merah di wajahnya menggambarkan hasrat ingin disentuh. Sullivan memahami gesture wanita itu, karena dia banyak mempelajari karakter orang. Jangankan bertemu langsung, sekadar chat dan berinteraksi sesaat saja. Dia bisa menebak karakter orang tersebut.
Sullivan tersenyum simpul, membetulkan kacamatanya. Dia berdiri di pinggir jendela, menatap jalanan ibukota yang masih ramai oleh kendaraan. Otaknya terus berpikir untuk segera menyelesaikan urusannya di Kanada, lalu menemui Bryan musuh bebuyutannya.
"Oke, udah waktunya gua kasih apa yang lo mau selama ini, Bryan," gumamnya.