Tangis Simbok tak kunjung reda. Seolah pelukan kami tak mempu menjadi penghangat hatinya. Air matanya merembes di pundak baju kami. Tanpa sadar kami pun ikut menangis dalam diam. Meski kami masih belum mengerti apa yang salah sebenarnya. Namun air mata dingin yang tak kunjung reda itu menjelaskan segalanya.
Kini tangis beliau telah mereda. Malah sesenggukan kami yang tak mereda. Kami menatap simbok yang menunduk entah apa yang coba beliau sembunyikan. Kenapa begitu sulit dan kenapa begitu berat. Beliau berusaha menghapus air matanya, kaming pun membantunya. Kutahan seribu pertanyaan dalam kepalaku. Kubiarkan waktu mengalir menyembuhkan beliau dengan sendirinya.
Beliau menghela nafas. Ia lalu memandang jauh ke arah luar tepat ada pintu di belakang kami yang terlihat hamparan air tambak. Namun bukan pemandangan itu yang beliu tatap saat ini. Tatapannya semakin jauh dan kosong. Tingkahnya semakin membuat kami tak mengerti. Aku dan Mba Ranti saling pandang bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba simbok menghela nafas yang begitu panjang. Terdengar kelegaan di sana. Beban yang coba beliau urai kepada kami. Kalimat yang pertama muncul adalah.
"Semua karena ayahmu." Tutur simbok dengan suara yang berat.
Aku dan Mba Ranti saling tatap. Kami sama-sama tak mengerti apa yang dimaksud simbok kali ini. Mba Ranti mengusap punggung tangan simbok. Lalu simbok kembali menangis. Ia mengusap-usap tangan Mba Ranti dengan tatapan penuh rasa bersalah.
"Maafkan Simbok Ndok, maafkan ayahmu,…maafkan Simbok…" Simbok menangis penuh penyesalan. Suaranya lirih hampir merintih sambil menundukkan pandangannya. Air mata kembali terus menetes deras.
Aku mengusap bahu Simbok dengan penuh kasih. Mba Ranti menatapku kebingungan.
Ia lalu memegang kedua pundak Simbok dan menegapkan tubuhnya. Diluruskan pandangan Simbok agar menatapnya. Dia berusaha menenangkan Simbok yang terus memohon untuk di maafkan.
"Mbok,…ssttt…sudah Mbok" Mba Ranti lalu memeluk Simbok kembali sembari mengusap-usap punggungnya lagi. Tangis Simbok menjadi.
"Apapun kesalahan Simbok, kami pasti akan berusaha mengerti." Ucap Mba Ranti kepada SImbok. Aku menghapus air mataku yang sesekali juga ikut terjatuh. Menatap mereka berdua yang entah terlibat takdir mengerikan apa sehingga membuat Simbok terus menangis dan memohon permintaan maaf kepadanya.
"Itu tidak mungkin Ndok. Kesalahan kami terlalu besar." Simbok menatap Mba Ranti yang semakin bingung.
Mba Ranti menghapus air mata Simbok kembali dengan jemarinya.
"Sekarang Simbok tarik nafas, perlahan saja jelaskan kepada kami ada apa sebenarnya." Simbok memalingkan mukanya. Ia masih merasa berat untuk mengatakan kebenarannya.
"Kematian Si Kembar." Simbok menghentikan ucapannya. Suaranya seolah tercekat di kerongkongan. "Kematian Si Kembar adalah karena kegagalan ayahmu." Seketika Mba Ranti membelalakkan mata. Tangannya mulai bergetar hebat beserta dengan tubuhnya.
Suaranya mulai meracau tak karuan. Ia mulia berteriak-teriak tak jelas. Tangannya mengacak-acak sanggul dikepalanya yang kini sudah tak berbentuk rupa. Sementara kegaduhan didapur yang kian riuh, Mas Sardi yang mendengarnya pun berlari terpincang-pincang ke arah kami.
"Ada apa ini! Apa yang terjadi kenapa bisa sampai seperti in!" Bentak Mas Sardi kepada kami berdua yang kurasa ia panik, sama paniknya denganku dan simbok.
"Aku lupa Di…" Ucap Simbok kepada Mas Sardi.
"Kan sudah ku bilang jangan sekali-kali mengungkitnya! Kalau sudah seperti ini bagaimana?!" Mas Sardi mulai marah-marah terhadap Simbok. Simbok hanya terus menangis karena merasa bersalah. Mba Ranti semakin tak terkendali. Mas Sardi kewalahan. Aku berusaha membantunya. Namun aku malah terpental. Sementara simbok hanya terpaku menatap apa yang ada di hadapannya.
"Aghhh…!!!!" Mas Sardi kalap. Aku memegangi Mba Ranti agar tenang meski malah aku yang terseok-seok oleh gerak tubuhnya yang tak karuan.
Mas Sardi lalu menghampiri Simbok. Tangannya terangkat. Kurasa emosinya benar-benar memuncak di ubun-ubun. Aku berlari meninggalkan Mba Ranti lalu menutupi tubuh Simbok dari Mas Sardi yang mulia gelap mata.
"Hentikan Mas! Hentikan!" Teriakku kepadanya meski aku yakin Ia tak kan mendengarkanku. Tangannya berhasil mengenai bagian belakang kepalaku. Aku sangat bersyukur meski terasa sakit dan kebas. Setidaknya aku telah berhasil melindungi simbok dari amukan Mas Sardi.
Aku menatap Mas Sardi nanar. Air mataku mulai berkumpul dan sebentar lagi pasti luruh. Benar sekali, Ia menetes dengan derasnya. Aku tahu mas Sardi memang begitu keras perangainya. Ia adalah orang yang begitu dingin dan sedikit tak berperasaan. Tapi bukankah kehilangan kendali pada Ibu sendiri terlalu berlebihan?.
"Sudah puas Mas? Ayo pukul lagi. Sementara aku babak belur, tidak akan menyembuhkan Mba Ranti." Ucapku sambil berderai air mata.
Sementara simbok di belakangku terduduk lemas menyaksikan kejadian yang tak pernah ia duga sama sekali. Satu jam yang lalu kita masih tertawa-tawa sambil makan jambu air.
BUGGG!!! Suara gedebuk teerdengar keras dari jatuhnya tubuh Mba Ranti. Mba Ranti telah pingsan. Mungkin karena Ia kelelahan meronta-ronta penuh energi.
Sementara Simbok terduduk lemas di belakangku seolah kehilangan seluruh energinya. Air matanya terus mengalir tanpa sedikit pun suara ia keluarkan. Betapa Ia merasa bersalah atas yang terjadi hari ini. Bahkan sebelum ini pun Ia telah memendam perih yang begitu hanya dalam. Setelah kepergian ayah Beliau hanya memendamnya dan menanggung beban yang begitu berat itu sendirian.
Mas Sardi berbalik ke arah Mba Ranti. Ia juga terlihat menyesali tindakannya kali ini. Tangannya mengepal penuh amarah. Ia lalu memapah Mba Ranti ke kamarnya.
Setelah Mas Sardi pergi, aku berusaha memapah tubuh simbok untuk berbaring di ranjang kamar. Agar pikirannya yang kacau kali ini segera pulih. Namun simbok seolah bergeming tak meu mendengarku. Kukira simbok benar-benar menyesali peruatannya. Namun tak ada artinya jika simbok hanya duduk di sini dan menangis tak ada hentinya.
"Mbok, ayo masuk istirahat. Ku bantu berdiri." Ucapku pelan pada simbok.
Ia menggelengkan kepala tak mau berpindahtempaat barang sesenti pun.
"Aku tahu Mbok, simbok pasti menyesal. Tapi tak akan ada yang selesai dengan seperti ini."
Simbok masih tak mau mendengarkanku.
Aku lalu berpindah kehadapannya, berjongkok tepat di depannya. Ku hadapkan wajanya ke hadapku. Sehingga Ia menatapku. Dalam diam, air matanya tak berhenti mengalir seolah sedang menceritaka seisi benaknya yang kacau kali ini. Namun dalam bahasa verbalnya itu aku masih tak bisa memahami permasalahan sebenarnya antara Simbok, Ayah, Mas Sardi dan kematian mendiang Si Kembar.
Seingatku memang Sikembar meninggalkarena sakit. Meski sampai sekarang tak seorang dokter pun bisa menjelaskan kematian mereka berdua. Kala itu, dalam surat yang kubaca diarsipnya ayah, bahwa sikembar telah mengalami sakit hingga berminggu-minggu. Anehnya tak seorang dokter pun bisa memberi diagnosa tentang penyakit mereka.
Lalu ayah pun menyarankan untuk datang ke dukun bayi. Disitulah Mas Sardi terkejut.