ดาวน์โหลดแอป
8.62% 90 HARI MENCINTA / Chapter 30: DARI JAUH

บท 30: DARI JAUH

Dominic menoleh ke arah pintu, dan melihat Dody berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sedikit kuyu. Beberapa bulan sejak Elena pergi, Dody bahkan bertambah kurus. Ia mengaku tengah menjalankan ibadah puasa sunah dan juga jika ia terbangun tengah malam untuk solat malam dia tidak pernah bisa kembali tidur. Mungkin itu yang menyebabkan berat badannya berkurang.

"Masuk,nak Dody," ujar Aruga mempersilahkan.

"Terima kasih, Om. Jadi, bagaimana, apakah saya boleh ikut ke Singapura untuk melihat Elena? Saya tidak akan menemuinya. Hanya ingin melihatnya dari kejauhan," kata Dody.

Aruga dan Arasy saling pandang, ada perasaan iba di hati mereka melihat Dody. Dominic sendiri sebagai sahabatnya merasa iba namun sekaligus bangga.

"Bukannya kau punya perjanjian untuk tidak bertemu atau menanyakan kabar Elena, Dod? Kau mau ingkar janji?" tanya Dominic sekadar menguji.

"Aku hanya melihatnya dari kejauhan, Dom. Tidak akan menyapa sama sekali. Hanya melihat bahwa ia baik-baik saja, melihatnya tersenyum itu sudah cukup bagiku," kata Dody.

"Om dan Tante tidak melarang, nak Dody. Tapi, yang namanya janji itu harus di tepati," ujar Arasy.

"Yang punya janji kan, Mas Dody kepada Elena. Kita kan tidak punya janji apapun pada Elena. Jadi, bukan salah Mas Dody kalau kita yang mengajaknya ke sana. Kita yang mengajak, tapi karena dia yang punya janji ya dia tidak bisa bertemu dengan Elena. Hanya bisa melihat Elena dari jauh saja sebagai pengobat rasa rindu. Bagaimana, Tante?"

Semua mata memandang Calista yang duduk dengan santainya sambil membaca buku. Sambil berucap, matanya tak lepas dari buku yang tengah ia baca. "Kenapa aku seperti melihat Zalina saat masih gadis ya," celetuk Arasy sambil menatap Calista.

"Aku kan anaknya, Tante. Buah tidak akan jatuh terlalu jauh dari pohonnya," jawab Calista, kali ini sambil mengangkat wajah dan tersenyum pada Arasy.

Khanza yang melihat hal itu tertawa kecil. Ia memang menemukan banyak persamaan pada Calista dan Zalina. Calista sendiri memang benar-benar mirip Zalina dalam segala hal, terkecuali wajah. Ia dan Elena mirip sekali dengan almarhum Arista.

"Baiklah nona calon pengacara, jika saudara kembarmu tau, maka kau yang harus bertanggung jawab," kata Arasy.

"Dia tidak akan tau, kecuali Mas Dody berlari ke hadapannya sambil membawa seikat bunga. Kau tidak akan melakukan hal itu kan, Mas?"

"Tentu tidak Cal," jawab Dody dengan senang merasa mendapatkan dukungan.

"Ya sudah kalau begitu. Apa lagi yang ditunggu? Kapan Om akan membeli tiketnya? Aku booking online ya?"

"Iya, Pa. Papa tunggu apa lagi? Kita beri kejutan pada Tante Zalina dan Om Arjuna. Aku juga kangen sekali pada Arlina dan Krisna," kata Ratu dengan penuh semangat.

Arasy langsung menautkan alisnya sambil menatap putri bungsunya itu.

"Kangen Tante Zalina dan keluarga, atau kau mau minta shopping di sana? Jangan pikir Mama tidak tau akal bulusmu, Ratu," kata Arasy.

"Shopping itu sudah menjadi bagian hidup kaum wanita, Mama. Apalagi yang bayar Papa, ya kan, Pa?" jawab Ratu sambil memeluk Aruga dan mengedipkan mata. Aruga hanya bisa tertawa melihat kelakuan anak gadisnya itu.

"Iya, nanti di sana kau boleh belanja pakai kartu kredit Papa," jawab Aruga sambil membelai rambut Ratu. Selama beberapa saat Calista merasa sedikit iri melihat kemesraan antara Aruga dan Ratu.

Arjuna bukannya tidak pernah memeluk dirinya. Sejak kecil bahkan Arjuna memperlakukan dirinya seperti anak sendiri. Tapi, Calista ingin sesekali Damian yang berbuat seperti itu. Perlahan ia pun kembali tenggelam ke dalam buku yang sedang ia baca. Tanpa Calista sadari Khanza sempat melihat mendung di kedua netranya. Dan, sebagai orangtua Khanza hanya bisa menahan perasaannya dan mendoakan semoga Damian bisa berubah.

"Sudah, biar Mama saja yang pesan tiket ya, Pa. Kapan kalian libur, Calista, Ratu?"

"Lima hari lagi sudah libur kok, Tante," jawab Calista.

"Ya sudah, lima hari lagi saja, Mas."

"Terserah, aku ikut saja."

"Bagaimana bisa terserah sih, Mas? Idenya kan dari Mas," keluh Arasy membuat Aruga hanya tertawa.

**

"Lu yakin kalau lu masih mau menikahi Elena?" tanya Dominic pada Dody. Ia sengaja mengajak Dody bicara di dekat kolam renang menjauh dari yang lain agar bisa leluasa untuk bicara.

"Yakin, gue nggak pernah berubah. Seharusnya, gue lebih berani bilang sama lu, Dom. Tapi, jujur gue takut perasaan gue ke adik lu bakal ganggu hubungan persahabatan kita. Selama ini, lu sahabat terbaik gue. Jadi, ya gue nggak bisa begitu aja bilang. Ada banyak hal yang gue pikirkan. Tapi, saat gue tau apa yang kemarin menimpa Elena bikin gue berani. Gue yakin apa yang gue putuskan nggak akan salah. Gue udah bawa dalam solat dan juga puasa."

"Hasilnya selama lu puasa dan solat malam?"

"Hasilnya setiap hari rasa cinta gue bertambah besar untuk Elena."

Dominic menghela napas dalam-dalam.

"Lu yakin? Ingat Elena akan melahirkan anak yang bukan darah dagingmu."

"Gue nggak peduli, Dom."

"Ingat baik-baik , Dod. Sekali saja lu sakiti Elena urusannya sama gue!"

"Sejauh ini lu masih nggak percaya, Dom? Berapa lama kita bersahabat?" kata Doddy.

Dan, Dominic pun menyerah.

**

Arjuna menatap istrinya yang tampak tersenyum sambil memegang ponselnya.

"Ada apa, Lin?" tanyanya.

"Mbak Arasy sekeluarga akan datang ke sini. Bersama Calista juga," jawab Zalina.

"Mereka rindu padamu, sayang. Calista kan memang libur semester seingatku."

"Iya, Mas. Hanya saja masalahnya..."

Zalina tampak celingukan, ia takut Elena mendengar percakapan mereka dan ia pun membisikan sesuatu di telinga Arjuna.

"Tidak masalah, itu bisa diatur. Percayakan saja padaku, kau lupa dulu ketika di Yogya pun kau tidak tau kan kalau aku yang mengatur semuanya?" kata Arjuna. Zalina mengangguk sambil mengecup pipi suaminya itu.

"Terima kasih sayangku."

Zalina pun segera beranjak menuju kamar Elena.

Saat membuka pintu, tampak Elena sedang berbaring di ranjang. Perutnya mulai tampak membuncit dan wajahnya juga masih mendung. Hampir setiap malam Elena menangis. Beberapa kali Zalina membawa Elena berkonsultasi dengan psikolog. Dan, kini kondisi Elena jauh lebih baik. Ia tidak lagi membenci bayi yang ada dalam kandungannya meski belum sepenuhnya menerima.

"Mami, ada apa?" tangan Elena sambil berusaha bangkit.

"Sudah makan, sayang?"

"Tadi sudah, Mami. Aku tidak terlalu nafsu," jawab Elena.

"Ratu dan Calista akan datang bersama Tante Arasy dan juga Om Aruga. Oma juga akan datang."

"Aku sedih, Mami."

"Kita sudah membicarakan hal ini sayang. Mami ingin kau kembali ceria, nak."

"Aku sudah berusaha, Mami. Tapi, aku belum bisa menerima anak ini. Aku harus bagaimana, Mami?"

Zalina memeluk Elena dengan erat. Tiba-tiba saja ia merasa bersyukur jika Dody mau datang. Tak masalah dengan janji yang sudah dibuat. Bagi Zalina saat ini yang paling penting adalah kondisi psikis Elena. Ia tidak mau Elena terus menerus seperti ini. Bukan Elena yang harus dihukum, tapi lelaki yang sudah membuat anak gadisnya seperti ini. Sebagai seorang Ibu, Zalina pun merasa terluka

**


Load failed, please RETRY

ของขวัญ

ของขวัญ -- ได้รับของขวัญแล้ว

    สถานะพลังงานรายสัปดาห์

    Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
    Stone -- หินพลัง

    ป้ายปลดล็อกตอน

    สารบัญ

    ตัวเลือกแสดง

    พื้นหลัง

    แบบอักษร

    ขนาด

    ความคิดเห็นต่อตอน

    เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C30
    ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
    • คุณภาพงานเขียน
    • ความเสถียรของการอัปเดต
    • การดำเนินเรื่อง
    • กาสร้างตัวละคร
    • พื้นหลังโลก

    คะแนนรวม 0.0

    รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
    โหวตด้วย Power Stone
    Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
    Stone -- หินพลัง
    รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
    เคล็ดลับข้อผิดพลาด

    รายงานการล่วงละเมิด

    ความคิดเห็นย่อหน้า

    เข้า สู่ ระบบ