Adrian duduk di sofa merah yang jaraknya seratus meter dari meja resepsionis. Terlihat begitu serius. Hingga melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Mengurut di antara dua alisnya yang lebat. Kemudian mengenakannya kembali.
Alisha memperhatikan gerakan bibirnya. Bukan hal yang sulit ia lakukan. Selama pelatihan menjadi anggota BIN, Alisha telah lulus ujian membaca gerakan bibir.
Salah satu dari bahasa dan kemampuan yang penting untuk seorang agen rahasia adalah belajar memahami bahasa tubuh dan gerakan bibir. Belajar untuk mengidentifikasi informasi yang disampaikan seseorang bahkan ketika orang tersebut tidak menyadari.
Kedua alis Alisha yang terbentuk sempurna terlihat menyatu, seiring gerakan menggigit bibirnya. Alisha tengah berpikir, bahasa yang digunakan Adrian.
Mashina? (mobil)
Gnat'sya? (mengejar)
Poisk? (cari)
Nayti? (temukan)
Rusia?
Sedetik kemudian, pandangan mereka bersirobok. Adrian tersenyum padanya. Mematikan sambungan teleponnya. Kemudian beranjak dari sofa merah.
Membuat Alisha salah tingkah. Apakah Adrian menyadari, dirinya sedari tadi mengamatinya? Batinnya.
Adrian berjalan menghampiri Alisha. Langkahnya begitu tenang. Senyum di wajahnya tidak juga hilang. Makin membuat Alisha salah tingkah.
Dasar agen pemula! Rutuknya dalam hati.
"Sudah selesai?" Alisha menggeleng.
"Al?" Suara wanita yang dikenalnya, menyelamatkannya. Alisha serta merta memutar badannya.
Mia memberi isyarat tangan, memintanya masuk ke ruangannya. Tanpa pikir panjang, Alisha berjalan dengan cepat. Menghindari tatapan mata Adrian. Memutus kontak.
Adrian mengangguk dan tersenyum ramah pada Mia, sebelum wanita hamil tersebut menyusul Alisha ke dalam ruangannya.
Mia menutup rapat pintu ruangannya. Alisha terlihat sedang menetralkan detak jantungnya. Mengurut dada, menghirup dan membuang napas berulang kali.
"Ada masalah, Al?" Mia duduk di kursinya dan mempersilakan Alisha untuk duduk di hadapannya.
"Di mana Hilman?" Alih-alih menjawab pertanyaan Mia, Alisha lebih tertarik mencari atasannya.
"Lo kenapa, sih, Al?" Mia terdengar khawatir.
"Ya, Tuhan. Hilman di mana?" Alisha terdengar panik. Badannya condong ke depan. Dan kedua tangannya mengepal di atas meja.
"Al, tenang. Jawab pertanyaan gue dulu." Mia menjulurkan tangannya, mengusap punggung tangan Alisha. Agar ia tenang.
"Uh ..., Adrian bisa bahasa Rusia ...." Mia mendengarkan. Wajahnya terlihat tenang.
"Ada apa?" tanya Mia kemudian.
"Dia bicara soal mobil yang tadi mengejar kami. Meminta informasi. Menemukan entah apa. Dan dia mengatakannya dengan gusar." Alisha terlihat kusut.
"Pria yang membuat rusuh di pernikahanku ... bukankah berbicara dalam bahasa Rusia?" Alisha mengalihkan pembicaraan, mencoba menarik benang merah.
"Tunggu sebentar." Mia memberi isyarat, dan mengangkat telepon yang berdering. Hilman menghubunginya.
Alisha mendengarkan Mia, yang menjawab beberapa pertanyaan Hilman. Kemudian menutup teleponnya.
"Hilman minta lo, nemuin dia di ruang rapat." Mia segera mengambil beberapa berkas.
"Adrian bagaimana?" Alisha tiba-tiba teringat suaminya itu.
"Biarkan dia menunggu. Tidak akan lama." Mia memimpin keluar dari ruangannya, menuju lift.
Demi kesopanan, Alisha meminta Adrian untuk menunggunya di kafetaria. Mereka pun berjalan bersama menuju lift.
Di dalam lift, suasana canggung tiba-tiba terasa sangat kental. Mia memperhatikan dari sudut matanya, tersenyum kecil.
Dasar pengantin baru!
Pintu lift terbuka, tiba di lantai dua belas, tempat kafetaria berada. Adrian spontan menarik tubuh Alisha dan mendaratkan kecupan ringan di keningnya, sebelum melangkah meninggalkannya.
Alisha, tentu saja dibuat terkejut. Hingga pintu lift perlahan menutup, memperlihatkan senyum puas di wajah Adrian.
Alisha berteriak sekencang ia bisa. Memekakan telinga yang mendengarnya. Seraya menghentakan kakinya.
"Tenang, Al. Tidak perlu bereaksi seperti ini!" Mia mengingatkan, gendang telinganya terasa menjadi tuli sesaat tadi.
"Dia mencuri ciumanku, lagi! Tanpa ijin!" Mata Mia mengikuti Alisha yang mondar-mandir di dalam lift.
"Dia suami lo, Al. Wajar, dong, cium lo." Alisha berhenti mondar-mandir.
"Hei! Lo bela dia?" Tuding Alisha.
"Lo teman gue atau temannya, sih?!" Mia hanya mengangkat kedua bahunya. Melakukan gerakan mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar.
"Oh, maaf. Maafkan aku, baby," ucap Alisha lirih, ikut mengusap perut Mia yang kini telah memasuki usia kandungan tiga bulan.
"Kurasa, karena PMS, gue jadi emosional seperti ini." Alisha menundukkan wajahnya.
"Jadi ... kalian ... belum ...." Alisha menggeleng cepat.
Mia terkekeh. Alisha mengerutkan keningnya.
"Apanya yang lucu?" Mia menggeleng seraya menutup mulutnya.
"Mia! Lo ... nyebelin, tau gak?" Spontan Mia tertawa lepas sambil mengusap perutnya, lagi.
Tak lama, pintu lift terbuka di lantai dua puluh. Tempat Hilman menanti mereka berdua.
Mia mengetuk pintu ruangan tertutup, menunggu jawaban dari dalam. Dan baru membukanya.
Alisha terpaku di tempatnya. Menatap pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Hilman, dengan stelan jas hitamnya terlihat begitu menawan. Hatinya berdesir, tidak bisa dicegah. Rasa itu masih ada.
"Jaga matamu!" Bisik Mia di telinga Alisha, sebelum ia melangkah memasuki ruang rapat terlebih dahulu.
Alisha memutar bola matanya. Dan berjalan mengikuti Mia.
Di dalam, sudah menanti beberapa orang, termasuk Arya, suami Mia. Mereka sama-sama operator di lapangan. Dan dua orang lain, yang tidak Alisha ketahui identitasnya.
Satu pria paruh baya, Alisha menebak, seusia ayahnya. Dan satu lagi, pria yang mungkin seumuran dengannya. Mereka mengenakan stelan jas formal.
Mereka duduk berhadapan dengan Hilman dan Arya. Serempak, saat Mia dan Alisha memasuki ruang rapat, mereka berdiri, demi menghormati wanita.
Dua pria yang baru dilihat Alisha menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
Ternyata, pria paruh baya itu adalah salah satu petinggi BIN.
Mendatangi Alisha secara khusus seperti ini, tentunya suatu hal di luar kebiasaan. Membuat Alisha berpikir, pastilah misi yang diembannya sangat besar. Hingga mereka harus ikut turun tangan.
"Informasi yang kami dapat, terjadi kekacauan di pernikahanmu kemarin?" tanya lelaki paruh baya, Samuel, setelah Alisha dan Mia duduk.
"Ya. Seseorang berusaha membunuhku dengan belati. Kemudian ada pria Rusia yang memaksa ingin masuk ke dalam." Alisha menjawab dengan tenang.
"Kamu harus segera mendapatkan file itu. Bujuk suamimu untuk menyerahkannya secara sukarela. Jika tidak ...."
"Jika tidak?" Alisha mengulang ucapan Samuel yang menggantung.
"Gunakan segala cara. Meski harus membunuhnya."
"APA?!" Alisha berdiri sambil menggebrak meja. Tidak salah dengar? Membunuh katanya? Meski Alisha tidak cinta Adrian, tapi dia adalah suaminya. Membunuhnya, itu artinya membuatnya menjadi janda.
Ya Tuhan. Kekonyolan apa ini? Mereka baru saja menikah kemarin. Orang ini begitu mudah mengucapkan perkataan mengambil nyawa orang lain.
Lagi pula, jika Adrian mati, apakah filenya bisa didapatkan? Konyol! Benar-benar konyol. Alisha membatin.
Mia mencoba menenangkan. Mengusap punggung tangan Alisha.
"Lakukan tugas pertamamu dengan baik. Jika tidak ingin menjadi janda dalam waktu singkat." Samuel beranjak, diikuti ajudannya.
"Bapak mengancam saya?" Nada bicara Alisha terdengar ketus.
"Alisha!" Hilman mengingatkan.
"Orang yang mereka inginkan nyawanya itu kakakmu!" Alisha menjawab dengan nyalang.
"Tidak akan ada yang mati, jika kau menjalankan tugas ini dengan baik." Selesai mengucapkan perkataan ini, ajudan Samuel membukakan pintu untuknya, dan mereka berdua meninggalkan ruang rapat.
Alisha menghela napas. Berganti posisi duduknya. Kedua tangannya menopang pelipisnya. Sikunya berada di atas meja.
"Sebetulnya, apa isi file yang diambil oleh kakakmu?" Alisha bertanya masih dengan posisi semula.
Tugas pertamanya, mengapa begitu berat? Belum juga memulai sandiwara pasangan pengantin yang ideal, Alisha sudah diancam untuk membunuh suaminya.
Gila! Sungguh gila dan tidak masuk akal.
Semurah itukah harga nyawa seseorang, demi mendapatkan file, yang bahkan Alisha tidak tahu isinya sepenting apa.
Hilman mendesah. "Jika aku tahu, aku tidak butuh bantuan dan kerjasama dari tim. Terutama kamu."
Hilman hanya menjalankan perintah dari atasannya. Tanpa mengetahui dengan detail, file macam apa yang begitu sangat diinginkan olah para petinggi. Bahkan Adrian, sang kakak mengapa mencuri data itu. Apa untungnya bagi dia?
Membuat perangkap sedemikian rumit, mirip virus Trojan.
Selama ia mengenal sang kakak. Adrian tidak pernah berbuat ulah seperti ini. Bekerja sebagai programmer di perusahaan swasta. Bisa-bisanya mendapatkan file data yang sangat diinginkan oleh semua petinggi. Bahkan mengerahkan banyak ahli untuk mengambil alih kembali. Namun gagal.
Hilman bukannya tidak bisa meminta baik-baik file itu kepada sang kakak. Masalahnya, jika ia meminta langsung, maka penyamarannya selama ini akan diketahui. Bahwa ia bekerja sebagai agen mata-mata milik pemerintah. Ibunya saja tidak mengetahui, bahwa Hilman adalah anggota BIN.
*
Alisha kembali dari ruang rapat menuju kafetaria, untuk menemui suaminya, Adrian.
Adrian tengah meminum kopi latte sambil matanya tertuju pada ponsel di tangan satunya, tampak begitu serius.
Alisha baru saja keluar dari lift, seorang diri. Sementara Mia tetap tinggal di ruang rapat bersama Hilman dan suaminya, Arya.
Pandangannya tertuju pada Adrian, kali ini ia memandang Adrian dari sudut yang berbeda. Ada misi yang harus ia selesaikan tanpa harus terjadi pertumpahan darah, apalagi hingga merenggut nyawa orang lain.
Alisha lekas mendekati meja Adrian, dan berhenti tepat di hadapannya.
"Ian ...." Seketika Adrian mendongak, tersenyum menatap Alisha. Diletakkannya cangkir kopinya.
"Sudah selesai?" Alisha mengangguk.
"Mau pesan sesuatu? Kebab di sini enak." Alisha menatap piring kosong di sebelah cangkir kopi milik Adrian. Ada bekas remahan kulit kebab di sana.
"Boleh." Adrian kemudian meminta Alisha duduk, sementara dia yang memesankan kebab untuknya.
Alisha duduk menanti sambil berpikir tentang pernikahannya. Pernikahannya nyata. Misinya juga nyata. Hanya saja, perasaannya kepada suaminya terasa tidak nyata. Jelas-jelas ia jatuh cinta pada Hilman, adik kandung Adrian. Namun, ia harus melupakan perasaannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" Alisha menatap wajah Adrian. Mengerutkan dahi. Sejak kapan ia duduk di hadapannya? Matanya beralih ke lengan Adrian. Luka itu masih tercetak jelas.
Adrian mengikuti arah pandangan Alisha. Kemudian tersenyum.
"Masih sakit tidak?" Alisha mencoba terdengar empati, didukung dengan memasang wajah menyesal.
"Harus terbiasa." Adrian terkekeh, membuat Alisha tidak jadi merasa menyesal telah menggigitnya tadi pagi. Kalau perlu, lebih keras. Biar tahu rasa!
Tidak lama, pesanan Alisha datang. Adrian menemaninya makan, sambil berbincang canggung–membahas kegemaran masing-masing, hingga kebab itu habis tidak bersisa. Saat itulah Alisha baru merasa lega, tidak perlu lagi berbasa-basi.
Adrian beranjak dari kursinya diikuti Alisha. Tanpa canggung, menarik tangan Alisha, menautkan jari-jemarinya, dan berjalan hingga ke depan lift. Menanti pintu itu terbuka. Beberapa karyawan yang kebetulan masuk pada hari itu dan mengenali Alisha, menyapanya sambil lalu. Membuat Alisha ingin melepas tautan tangannya. Namun, Adrian mengencangkan genggamannya sambil memasang senyum.
Tidak lama, pintu lift terbuka, mereka berdua pun masuk. Lift membawa mereka menuju ke basemant.
"Kau bisa melepaskan tanganmu, Ian." Alisha berkata lirih.
"Kenapa kau berbicara dengan berbisik?" Adrian bertanya lantang.
"Tidak ada siapa-siapa di sini, selain kita." Adrian menurunkan suaranya.
Uh! Gerutu Alisha.
"Lepaskan tanganmu!" Alisha menaikan sedikit suaranya namun masih terdengar seperti bisikan.
Adrian, melepaskan genggaman tangannya, dan tangannya beralih menyentuh kedua pipi Alisha.
"Jangan macam-macam, Ian. Kita di tempat umum." Alisha memperingatkan dengan suara rendah.
"Ah, kau malah memberiku ide."
"Apa maksud–"
Plak!
Ucapan Alisha terbungkam, dan tentu saja spontan ia menampar suaminya.
"Kenapa kau menamparku?" Adrian mengusap pipi yang ditampar Alisha.
"Kau menciumku!" Alisha berteriak. Lupa, jika ia seharusnya merendahkan suaranya, agar Mia atau siapa pun di sana, tidak mendengar pertengkaran mereka di lift.
"Aku suamimu. Apa salahnya menciummu?" Adrian tidak terima.
"Ini tempat umum." Alisha kembali merendahkan suaranya.
"Baik. Kita lakukan di rumah." Alisha membelalakan mata. Apa maksudnya? Batin Alisha.
Pintu lift terbuka dan Adrian lekas keluar dari lift, meninggalkan Alisha begitu saja.
Apa dia marah? Alisha bertanya dalam hati, sambil mengekor Adrian hingga tiba di depan mobilnya.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan kembali pulang ke Bogor.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua lebih banyak terdiam. Sesekali Alisha melirik Adrian. Apa dia marah, gara-gara tadi? Pikirnya.
Alisha kembali mengingat pesan Hilman, sebelum ia keluar ruangan. Agar mulai menerima pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh.
Belajar untuk mencintai Adrian, suaminya, kakak Hilman. Jika tidak bisa melakukannya dengan hati, setidaknya melakukannya demi misi.
Alisha harus berhasil mendapatkan data itu, tanpa harus menumpahkan darah. Dan satu-satunya cara adalah mencoba menjadi dekat dengan Adrian, memberinya kepercayaan. Dan tidak berlaku bar-bar seperti saat bertemu pertama kali di Bandung.
"Belajarlah mencintai kakakku. Dia begitu menyukaimu, Al. Kau tidak ingin membunuhnya, kan." Pesan terakhir Hilman, sebelum akhirnya Alisha keluar ruangan, berputar berulang kali dalam ingatannya.
Ya, tentu saja Alisha tidak ingin mengorbankan nyawa siapa pun. Meski sejak ia menerima misi ini, berulang kali berhadapan dengan orang-orang yang ingin membunuhnya. Entah apa motif dibalik itu semua.
Siapa dalang di balik semua itu. Hilman dan timnya masih mengusutnya. Pria Rusia, dan wanita yang menyamar menjadi WO, yang telah diamankan di kantor polisi pun enggan memberikan keterangan apa pun. Memilih bungkam, meski diancam.
"Besok, kita tinggal di rumahku. Apa kamu mau?" Tiba-tiba saja Adrian memecah lamunan Alisha.
"A-apa? Maksudku, secepat itu? Aku belum mengurus pekerjaanku di Jakarta. Meski mendapat cuti nikah." Alisha terdengar keberatan.
"Aku juga bekerja. Dan pekerjaanku lebih banyak di Bandung."
"Atau kamu ingin menjalani pernikahan jarak jauh? Sepertinya itu lebih membuatmu nyaman." Adrian tidak memberinya pilihan. Meski pekerjaan Alisha bisa dikerjakan via online, hanya saja, semuanya terlalu cepat.
["Jangan menolaknya, Al. Jika kau jauh darinya, semakin sulit menemukan data itu."] Suara Hilman terdengar dari alat komunikasi di telinganya.
"Baiklah. Tapi setidaknya beri semalam lagi aku tinggal di rumah orang tuaku." Perintah dari atasan sudah turun, Alisha benar-benar tidak punya pilihan, kecuali menyetujuinya.
Adrian tersenyum puas. Mengendarai mobilnya dengan tenang, memasuki jalan tol menuju Bogor. Perjalanan kembali yang aman. Tidak ada lagi yang membuntuti mereka kali ini.
ความคิดเห็นย่อย
คุณลักษณะความคิดเห็นย่อหน้าอยู่ในขณะนี้บนเว็บ! เลื่อนเมาส์ไปที่ย่อหน้าใดก็ได้แล้วคลิกไอคอนเพื่อเพิ่มความคิดเห็นของคุณ
นอกจากนี้คุณสามารถปิด / เปิดได้ตลอดเวลาในการตั้งค่า
เข้าใจแล้ว