"Langkah yang bagus," saut seorang wanita di sudut ruangan. Dia menatap Jaka sinis serta menyunggingkan senyuman licik dari bibirnya.
Seketika setelah ia menyelesaikan manteranya, Andi kehilangan seluruh tenaganya dan jatuh ke pelukan sang ayah dalam kondisi setengah sadar. Akhirnya, Jaka bisa bernapas lega. Dengan begini, setidaknya Andi tak lagi menjadi sasaran makhluk jahanam yang kini menampakkan diri sebagai salah satu dari keturunan Hawa itu.
"Jangan pernah menyentuh putraku lagi," tegas Jaka kepada wanita di sudut ruangan.
"Bagaimana jika aku menyentuhmu, Manusia Angkuh?"
"Aku yakin kamu nggak akan ngelakuin itu. Kita berdua tahu cuma aku yang tahu apa yang kamu mau. Sekarang, jangan ganggu kami."
Tanpa menghiraukan wanita itu lagi, buru-buru Jaka memapah putranya untuk bangkit dan melangkah keluar melewati lorong IGD. Andi terlihat linglung, kebingungan dengan segala yang baru saja terjadi padanya. Pikirannya tak sampai untuk mencerna rangkaian kejadian luar biasa itu, ia memilih pasrah untuk mengikuti kemana pun Jaka membawanya. Pandangannya menyapu sekeliling, ia sudah berada di luar bangunan rumah sakit menuju lahan parkir. Ia pikir ayahnya sedang sangat cemas, pasalnya Jaka terus saja menoleh ke belakang setiap beberapa meter mereka berjalan. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya Andi melontarkan sebuah pertanyaan.
"Ayah tadi ngomong sama siapa?"
"Lupain aja."
Andi serasa termakan oleh perkataannya sendiri. Beberapa saat yang lalu ia meminta Jaka untuk tak terlalu memikirkan bisikan yang ia dengar. Sekarang ayahnya itu meminta Andi untuk melupakan kejadian itu. Terlepas dari semuanya, yang jelas mereka berdua menghadapi musuh yang sama.
"Berhenti!" pekik seorang wanita dengan lantang. Seketika sesuatu menahan kedua kaki Jaka hingga tak bisa bergerak.
"Kenapa kita berhenti?" tanya Andi bingung.
Apakah ini benar? Hanya Jaka yang bisa mendengar dan melihat wanita yang kini berada di belakang mereka. "Kamu bisa jalan sendiri ke mobil kita, 'kan? Duluan aja sana," jelas Jaka sambil menyerahkan kunci mobil dan mengarahkan telunjuknya ke lokasi tempat ia memarkirkan kendaraannya.
"Kenapa Ayah menghindar dari aku?"
"Jangan bilang Ayah nggak peringatin kamu, Nak."
Jari-jarinya mulai membuat simpul aneh, lalu ia menggerakkannya dengan irama dan pola tertentu. Sang wanita misterius mulai murka.
"Jangan menentangku, Pria Sombong! Aku bisa melakukan hal yang takkan pernah kau duga!"
"Maka biarlah itu terjadi."
Si wanita menepukkan kedua telapak tangannya dan segalanya berubah menjadi tak terkendali. Saat itu juga seluruh aliran listrik di tempat itu terputus. Bersamaan dengan itu setiap kaca jendela yang ada di bangunan rumah sakit hancur berkeping-keping. Seperti sebuah gelombang kejut yang datang tiba-tiba, membawa serta udara untuk bergerak menjauh dari tempat itu. Tubuh Andi dan Jaka jatuh tersungkur ke tanah karena efek dari 'ledakan supranatural' yang baru saja terjadi. Namun, Jaka segera bangkit dan membantu anaknya berdiri untuk segera pergi dari tempat itu. Mobil dinyalakan dan dengan cepat keduanya melesat cepat menuju jalanan kota sebelum ada orang lain yang menyadarinya.
"Yang barusan itu apa, Ayah?!" saut Andi tak sabar.
"Nanti Ayah jelasin," ujar Jaka tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang mulai sepi.
"Ayah nggak bisa ngelakuin ini ke aku!" Andi berusaha mendebat sang ayah.
"Iya, tahu. Sabar, Andi."
"Gimana aku bisa sabar kalau Ayah udah membahayakan banyak orang nggak berdosa di rumah sakit?!"
Menyadari jika dirinya tak mampu lagi menahan amarah dari Andi, ia pun segera menepikan kendaraannya di bahu jalan dan mematikan mesinnya. "Barusan kamu bilang apa?"
Sontak nyali Andi mendadak ciut. Biasanya, sang ayah akan menunjukkan posisinya dalam keluarga jika gaya bicaranya sudah seperti itu. "Ayah membahayakan banyak orang nggak berdosa."
"Itu bukan Ayah," tegasnya dengan tatapan tajam.
Andi tak mau memperpanjang masalah itu. Jika ayahnya berkata seperti itu maka demikian pula yang terjadi. Tidak biasanya ia mendebat ayahnya seperti ini, lagipula itu akan berakhir sia-sia. Jadi, lain kali tak ada gunanya mencoba. Bibir Andi terdiam membisu, pandangannya menerawang jauh keluar sampai ia tersadar akan suatu hal. "Ini tempat aku kecelakaan tadi."
"Serius?"
"Iya, beneran."
Jaka melirik arlojinya, saat itu sudah lewat pukul dua belas. Tak ada siapapun yang melintas di sana, hanya mereka berdua. Ia pun bergegas keluar dan memanggil putranya. "Ayo, Ayah mau bicara sama kamu sebentar."
Selagi menunggu Andi, ia mengeluarkan sekotak rokok dan mengambil sebatang. Lalu ia meraih korek gas di saku jaketnya dan mulai menyalakan rokok di bibirnya itu. Setelah beberapa hisapan pertama, akhirnya Andi dan Jaka bersandar di mobil berdampingan satu sama lain. Berbeda dengan sang ayah yang sudah bisa berdamai dengan keadaan, Andi tampak sedikit terganggu. Hoodie menutupi kepala dan kedua tangannya tenggelam di saku sweeter kesayangannya itu.
"Maap kalau aku agak nyolot tadi sama Ayah," kata Andi lesu.
"Tadi kamu kena pecahan kaca nggak?"
"Sedikit, tapi nggak nyampe kegores kok."
"Syukurlah kalau gitu."
Jaka hanya terus mengisap rokoknya, membuat aroma tembakau menyeruak di tengah udara malam pegunungan. Andi tak punya nyali untuk menatap sang ayah. Cukuplah ia mendapat hari yang berat karena hal-hal tak masuk akal, namun salah satu dari mereka tetap harus menghidupkan suasana.
"Ceritain ke Ayah, gimana kamu jatuh?"
Kemudian, seraya mendengarkan penjelasan dari anaknya, di dalam kepalanya Jaka bisa dengan jelas melihat kejadian itu seperti dia benar-benar sedang berada di sana. "Aku ngebut dari jalan raya sana, kepleset tepat di depan kita ini, terus jatuh ke sisi kanan di jalan yang banyak batunya itu."
"Aspal di depan kita nggak berlubang, nggak dialiri air, nggak licin juga. Lagian ini jalanan lurus, waktu tadi kayaknya hujannya nggak deres banget. Cuma gerimis dan nggak ada angin. Ayah tahu kamu bakal baik-baik aja kalau bukan karena suara itu." Ia berhenti sejenak untuk kembali menghisap rokoknya. "Deskripsikan 'malaikat' yang kamu lihat tadi."
"Hmm ...." Andi berusaha mengingat kembali, butuh sedikit konstrasi lebih untuk melakukannya karena saat itu dirinya sudah setengah sadar. "Versi singkatnya. Cahaya kemerahan, berubah jadi putih, muncul bayangan berbentuk sayap, dan dia pergi waktu orang-orang mulai datang."
"Putraku sangat beruntung," herannya kemudian. "Asal kamu tahu, dia bukan malaikat."
"Dari mana Ayah tahu kalau dia bukan malaikat?"
"Gampang." Jaka membuang putung rokoknya dan mulai berjalan ke seberang jalan, tepat ke sisi yang dipenuhi bebatuan kerikil yang terbawa aliran air. Andi tak mau ambil pusing, ia langsung mengekor di belakang Jaka. Sampai ia melihat sang ayah berusaha untuk mecari sesuatu di tempat yang dimaksud. "Ayah pernah lihat dia, begitu juga kamu, Andi."
Adakah yang memiliki dugaan siapa wanita yang mengganggu Jaka?