...
Andi-Danang. Repelita VI
Di atas adalah kelompok diskusi Sejarah Indonesia yang materinya sempat kita lewati terlebih dahulu kemarin. Saya harap besok anak-anak sudah mempersiapkan materinya masing-masing serta pertanyaan yang sekiranya perlu kita diskusikan bersama. Sekian dan terima kasih.
--Pak Gun--
Mendung, begitulah suasana yang kerap kali didapati olehnya ketika arloji menunjukkan pukul empat kurang sedikit. Bel pulang sekolah telah berdering lebih dari lima belas menit yang lalu, tetapi ia masih berada di ruang kelas. Memang beberapa murid juga belum beranjak, rata-rata dari mereka sibuk dengan media sosial atau game online multiplayer. Berbeda dengan dirinya, selama beberapa saat yang ia lakukan hanya memandang chat dari salah satu guru. Ya, namanya terpampang di sana bersanding dengan seorang siswa lain yang tak begitu dikenal olehnya. Tapi, harus diakui rekan barunya itu mempunyai reputasi yang sangat bagus di kalangan anak populer.
"Permisi, ada Andi?" tanya seorang siswi di pintu kelas.
"Tuh, depan meja guru. Pojokan." Salah satu siswa yang hendak pulang ke rumah menjawabnya sambil lalu.
"Oke, makasih."
Seorang siswi memasuki kelas XII MIPA 4 dengan santai langsung menuju tempat yang dimaksud. Jilbab segi empat warna birunya terbelah dua melewati bagian depan seragam khas. Salah satunya disampirkan menyilang ke bahu, yang lain hanya dibiarkan terjuntai ke bawah. Tas ransel dengan bandul dream catcher di resleting paling besar tak lupa dibawa olehnya. Setelah sampai di sana, ia pun menjatuhkan badannya tepat di samping kursi yang ditempati Andi. Untuk sesaat mereka tak mengatakan apapun satu sama lain. Raut wajah keduanya sudah sama-sama kelelahan, tentu saja mereka butuh hiburan. Tapi, apa yang mungkin didapat dari ruang kelas yang membosankan selain menyibukkan diri dengan gawai masing-masing? Semua orang tahu itu.
"Hei, Sis," sapa Andi singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel pintar di genggamannya.
"Hola, Mas Bro." Gadis itu hanya membalas lesu.
"Jangan salahin aku kalau namamu Siska. Jadi kupanggil 'Sis.' Tapi itu nggak berarti kamu boleh panggil aku 'Mas Bro.'" Andi hanya mendesah panjang, ia kurang menyukai panggilan itu. Ia pun meletakkan ponselnya di atas meja dan menyandarkan punggungnya ke kursi, sama seperti yang dilakukan Siska. "Tuhan membuat segalanya seimbang, termasuk porsi keberuntungan dan kesialan. Kayaknya keberuntunganku udah habis hari ini ...." gumamnya dengan tatapan kosong.
"Senasib." Nada bicara Siska bahkan lebih rendah dari sebelumnya.
Ternyata keduanya sama-sama memiliki hari yang buruk, entah karena tuntutan sekolah atau memang pengaruh dari dalam diri mereka sendiri. Tahun terakhir memang titik jenuh tertinggi setiap murid. Diakui atau tidak, kebanyakan dari mereka pasti akan berandai-andai jika saja kelas XII bisa dilompati hanya dengan menjentikkan jari. Setidaknya kau takkan merasakan semua itu sendirian, ribuan pelajar mengalaminya setiap tahun. Senang rasanya memiliki lawan bicara untuk berbagi cerita.
"Kalau kamu, kenapa?" Andi melirik ke arah gadis di sebelahnya itu dengan malas.
"Ya ... nggak tahu, rasanya semua serba salah. Anak-anak di teras nambah jelek mood-ku lagi."
Dari kejauhan terdengar riuhnya sekelompok anak yang kini berada di depan kelas Andi. Kelas yang ia tempati sekarang terletak tepat di sisi selatan tangga lingkar bagian atas, tempat yang tidak buruk untuk melihat seisi sekolah. Tak perlu bersusah payah naik turun tangga, jika ada acara menarik di lapangan basket biasanya para penghuni deretan kelas XII MIPA hanya akan menonton dari teras kelas mereka masing-masing. Tapi, bahkan jika acara besar sedang diadakan, keadaan takkan menjadi lebih berisik kecuali anak-anak ini ada di sana.
"Ayo! Fotolah, bareng. Aku hitung! Satu, dua ...."
"Eh, aku nggak kelihatan. Gantian sini!"
"Main embat aja. Cowok yang fotoin pasti dapet bagian semua."
Serentak semua orang di sana bertingkah nyinyir kepada satu-satunya lelaki di kelompok itu. Mereka terlihat sangat antusias sampai para murid dan guru yang ada di lapangan ikut memandang sinis. Tapi, tak ada yang peduli. Ini sudah lewat pukul empat, secara teknis sekolah sudah berakhir.
"Apa yang salah sama mereka, Sis?"
Dengan tatapan memelas dan bibir terkatup, Siska mengawali curhatannya dengan sikap genit. "Kamu tahu nggak sih? Baru sebulan aja, si Danang sama Mia dah kaya gitu deketnya."
Andi sontak menyipitkan kedua matanya. "Jadi?"
"Kita yang udah setahun gimana?" Hening. Tak ada respon berarti dari Andi. "Kita pacaran serasa nggak ada rasa, iya nggak sih?"
Andi hanya menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak. Entah kenapa ia pun melepas kancing kemejanya yang paling atas dan sedikit melonggarkan dasi di lehernya. Lalu, kepalanya hanya tertunduk.
"Ingatlah ... lakukan dengan sungguh-sungguh atau tidak sama sekali ...." bisik sebuah suara di kepala Andi.
Lantas, ia menatap Siska lekat-lekat. Pandangan mereka bertemu satu sama lain. Jari-jari kekasihnya itu terasa dingin di genggamannya serta suhu ruangan mendadak turun beberapa derajat. Langit nampak lebih gelap dari sebelumnya, angin berhembus melewati celah jendela tepat di belakangnya, dan rintik hujan pun mulai berjatuhan. "Kamu tahu aku serius sama kamu, 'kan?"
Untuk beberapa saat Siska hanya terdiam mematung, tenggelam dalam tatapan sorot mata yang tajam.
"Iya ..."
"Dan akan selalu begitu. Jadi, nggak usah tanya itu lagi. Oke?"
"Oke."
"Omong-omong, kamu manis kalau lagi tegang. Tatapanku mengerikan ya?"
"Tapi aku selalu suka tatapan dingin kamu, salah satu hal yang buat aku selalu mikirin kamu."
Tawa keduanya pun pecah. Ya, drama SMA memang tak ada habisnya. Kau bisa melihat dua momen yang kontras terjadi dalam satu waktu. Ini hanya terjadi di saat remaja dengan emosi dan kematangan yang labil. Banyak orang merindukan masa-masa di mana tak ada peraturan apapun yang menjadi batas dalam bertindak. Hampir semua orang memandang tata tertib sebagai pengekang, tapi tidak dengan Andi. Dia selalu menemukan celah untuk mendapat apapun yang dia inginkan tanpa perlu melanggar peraturan. Dia berbakat menjadi seorang advokat, tapi memilih untuk menekuni astronomi. Ekskul yang paling diminati olehnya itu telah membawanya mencetak prestasi di tingkat nasional, walau bukan menjadi yang pertama. Banyak yang berkata Andi adalah anak yang sangat cerdas, ia hanya tak mau menunjukkan kemampuannya itu secara penuh. Entahlah apa yang menghalanginya dari masa depan yang cerah, jelas ada sesuatu yang menjadi beban pikirannya hingga anugerah kecerdasan itu hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
"Sekarang gantian, apa yang buat hari kamu sial?"
"Hmm ...." Andi belum mengatakan apapun saat dirinya mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam tas, mengenakan sweeter abu-abu lengkap dengan hoodie di kepala, serta bangkit dari kursinya. "Kujawab sambil minum es boba aja gimana?"
"Kamu yang bayar! Yeay!"
Adakah yang salah dari kejadian di atas?