Bangunan agung yang megah, tempat para anak muda menghabiskan harinya untuk menuntut ilmu dan memberi gelar terbaik untuk nama indah yang menyertai hidup mereka. Di sini para mimpi anak-anak metropolitan direncanakan, disusun, dibentuk, lalu dibangun untuk menjadi rumah terbaik kala menghadapi masa depan mereka masing-masing. Katanya, di tempat seperti ini, semua terjamin dengan benar. Jangan khawatir pasal hidup dan semacamnya. Masyarakat akan memandang orang-orang sebagai orang hebat kalau namanya punya judul yang mengesankan. Misalnya, seseorang dengan gelar dokter di bidangnya. Atau sarjana dengan lulusan dari bangunan elit di metropolitan. Masyarakat yang mendengar embel-embel sebelum atau sesudah namamu disebut pasti akan hormat padamu kalau-kalau mereka tau kau adalah seorang sarjana lulusan dari kampus elit yang terpandang.
Di tempat seperti itulah Sandra berasal. Ia bukan murid yang pandai, tetapi namanya acap kali disebut-sebut oleh si teman-teman sebaya atau senior juga junior yang ada di dalam kampusnya. Ia hampir lulus tahun ini. Kalau-kalau skripsinya selesai dan ajang kelulusan dilaksanakan. Gadis itu sedang mencari topik terbaik untuk penelitian skripnya satu bulan lagi.
"Sandra Iloana!" Seseorang berteriak dengan mengelu-elukan namanya. Gadis yang baru saja datang dengan langkah gontai itu menoleh. Sengatan sang surya menyilaukan matanya. Seorang pria berambut kribo itu berjalan layaknya seorang preman pasar yang ingin menagih hutang. Dialah si laki-laki yang selalu mendapatkan julukan sebagai si kribo kerempeng dari fakultas teknik mesin. Alfa Adinanta.
Laki-laki ini bukan teman satu kelas untuk Sandra. Jika Sandra berasal dari jurusan desain dan tata bangunan kota atau orang-orang kerap menyebutnya sebagai jurusan planologi, maka Alfa berasal dari jurusan dengan gedung yang ada di sebelah gedung utama tempatnya menimba ilmu. Laki-laki ini adalah 'si tukang bengkel' kalau sudah pulang dari kampusnya. Ia belajar di sebuah jurusan teknik mesin bersama sang mantan kekasih. Sandra tak lagi bersua dengan dirinya akhir-akhir ini. Selepas hubungannya dan sang mantan kekasih berakhir satu tahun lalu, Sandra tak lagi akrab dengan Alfa Adinanta juga semua orang yang berhubungan dengan sang mantan kekasih. Singkatnya, teman-teman Sandra dulu sebagian besar berasal dari anak-anak teknik tempat mantan kekasihnya berada.
"Ada surat buat lo." Tak ada hujan, juga tak ada badai apalagi pelangi indah yang sedang terlukis di atas cakrawala, pria ini tiba-tiba saja datang padanya lalu menyerahkan surat tanpa ada tuan pengirim yang jelas.
"Surat apa?" tanya Sandra melirik satu amplop kecil dengan pita kuning di atasnya.
"Ada anak teknik baru yang berulang tahun minggu ini, katanya dia ingin mengundang lo untuk datang ke dalam pestanya."
Sandra tertawa ringan. "Kembalikan undangannya. Gue sibuk malam ini," tuturnya kembali berjalan. Ia mengabaikan Alfa yang masih berdiri di atas tempatnya. Ia memandang kepergian Sandra lalu menghela napasnya ringan. Gadis itu banyak berubah. Selepas berpisah dengan sang mantan kekasih, dirinya benar-benar berubah. Tak pernah lagi datang ke base camp meskipun Alfa selalu menegaskan lewat pesan singkat, kalau semua masih menerima kehadiran Sandra Iloana dengan baik. Juga, laki-laki itu sudah tak pernah datang lagi selepas pernikahannya beberapa bulan yang lalu.
"Sandra ...." Ia kembali mengejarnya. Menarik pergelangan tangan Sandra untuk membuat gadis itu kembali berhenti dan menatapnya dengan benar.
"Terima ini dulu. Perkara lo mau datang atau enggak, itu urusan belakangan." Alfa memaksa. Ia terus mendesak gadis cantik berhidung mancung ini untuk mau menerima undangannya.
"Gue bilang gak mau." Sandra melepas kasar genggaman jari jemari itu. Ia memutar malas kedua matanya lalu menghela napas dan berdecak ringan. Sumpah demi apapun, ia tak pernah membenci Alfa Adinanta. Laki-laki ini adalah sebaik-baiknya manusia yang pernah ia kenal. Dirinya hangat dan penuh kesabaran. Kasih sayang sebagai seorang teman, Sandra Iloana dapatkan darinya. Ia benar-benar punya rasa solidaritas tinggi. Akan tetapi, kalau dekat dengannya, Sandra selalu saja mengingat sang mantan kekasih. Rasanya hatinya benar-benar terluka. Dua bulan selepas hubungannya berkahir, Sandra mendengar desas desus aneh yang sukses menggores hatinya dan mematahkan segala harapan baik untuk bisa kembali dengan sang mantan kekasih.
"Pestanya akan digelar di dalam bar. Lo bisa datang kalau mau," tutur Alfa memasukkan undangan itu tepat ke dalam saku jaket yang dikenakan oleh gadis di depannya itu. Ia tersenyum manis lalu menepuk-nepuk pundak gadis yang ada di depannya.
"Semangat. Lo pasti bisa melewati semuanya," ujarnya mengimbuhkan.
Sandra diam. Ia membisu dengan tatapan yang tak lagi tajam. Laki-laki yang ada di depannya itu mulai beralih. Ia berpikir tak ada lagi yang bisa dibicarakan dengan gadis malang ini. Ditinggal sang kekasih saat sedang 'sayang-sayangnya' adalah luka dan penyakit yang paling menyakitkan di dalam hidupnya.
"Soal Bima ...." Sandra menyela. Ia menarik kembali langkah kaki laki-laki yang baru saja ingin melangkah pergi meninggalkan dirinya.
Alfa menoleh. Ia memutar kepalanya bersama dengan tubuh kerempeng berbalut hoodie murahan itu. "Bima?" tanyanya mengulang.
"Dia masih sering datang ke base camp?"
Alfa terdiam sejenak. Ia menatap gadis itu dengan penuh keyakinan. Kembali mendekat lalu berdiri tepat di depan Sandra. Matanya menyorotkan sebuah kehangatan. Gadis itu tak bisa benar-benar membenci sang mantan kekasih. Tentunya, bertahun-tahun bersama pemilik nama panggilan Bima itu menjadi kenangan terindah untuknya. Bima memang benar-benar pria yang berengsek.
"Dia sudah sibuk dengan dengan rumah tangga barunya, Sandra. Kami bahkan sulit menghubunginya akhir-akhir ini. Bima hanya datang ke kampus kalau ada jam kuliah saja. Ia harus menyelesaikan gelar sarjananya sebelum benar-benar bisa menjadi kepala keluarga. Katanya, jika berhenti sekarang, semuanya akan terasa sia-sia saja. Jadi dia tetap meneruskan kuliahnya, tetapi tak bisa seperti dulu lagi."
Mendengar itu Sandra hanya bisa menganggukkan kepala mengerti. Jadi, bukan sebab Bima menghindari dirinya. Ia memang satu bangunan kampus dengan sang mantan kekasih. Jalur yang mereka lalui sama, meskipun tujuan akhirnya berbeda. Namun, lambat laun Sandra tak pernah lagi melihat wajah sang mantan kekasih beberapa bulan terakhir ini.
"Setelah lulus, gue denger-denger kalau dia akan menggelar pesta pernikahannya. Dia berniat untuk mengundang lo datang."
Sandra tersenyum hangat. "Gue gak akan datang."
"Why?" tanya Alfa melirih. Masih dengan tatapannya untuk Sandra.
"Karena gue gak mau datang."
"Maka orang-orang akan mengingat nama Sandra Iloana sebagai gadis yang menyedihkan di tinggal nikah sama mantannya. Lo mau mendengar itu?"
"Alfa ... gue—"
"Sandra, listen to me." Laki-laki itu kini meraih kedua bahu teman baiknya itu. Menatap dalam-dalam sepasang lensa palsu milik Sandra. Ia tahu, kalau warna pekat yang dihasilkan oleh sepasang lensa indah milik Sandra bukan warna asli matanya. Gadis itu unik dengan sepasang lensa perak yang berkilau.
"Lo harus menunjukkan pada Bima kalau lo sudah bahagia. Buat Bima tahu, kalau lo bisa hidup dan bisa bahagia dengan cara lo sendiri," tuturnya memberi keyakinan.
... To be Continued ...