"Dia harus mendapat beberapa jahitan untuk luka terbuka itu. Untung saja seseorang membawanya datang dengan tepat waktu, jika terlambat sedikit saja temanmu tak akan bisa selamat." Kalimat itu mengiris hatinya dalam-dalam. Ia tak bisa banyak berkata ini itu untuk menjawab pernyataan dari dokter yang ada di depannya itu. Pria berjas putih mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas ringan. Gadis yang malang. Semalam seseorang datang membawa tubuh lemahnya dengan keadaan separuh basah sebab wine yang tumpah di atas kepalanya. Luka menganga itu menjadi saksi bisu bahwa gadis yang datang adalah di malang yang baru saja lolos dari bangunan penuh dosa di ujung jalan raya sana. Syukur-syukur Tuhan masih memberi pengampunan untuknya.
"Kamu boleh masuk, Nak. Temanmu pasti sudah menunggumu." Pria itu kembali mengimbuhkan. Ia tersenyum pada gadis muda yang hanya bisa mengangguk ringan lalu membungkukkan badan untuk memberi kehormatan pada si penyelamat teman baiknya itu.
Dokter itu pergi. Meninggalkan dua gadis yang masih terkesan syok berat dengan apa yang didengar olehnya. Keadaan si teman dekatnya sungguh di luar dugaan. Ia hanya mengira kalau teman dekatnya itu dipukul habis-habisan hingga dirinya pingsan. Tak aneh jika ia masuk dan melihat wajah penuh luka memar yang membiru. Namun, sangat aneh kalau hingga mendapat luka jahitan seperti itu. Kiranya Mr. Leo benar-benar sudah gila.
Belum sempat dua gadis itu masuk ke dalam ruang kamar inap untuk menjenguk pasien yang terbaring lemah di dalam sana, seseorang menyelanya. Kiranya seorang pria berbadan tinggi dengan jas rapi dan wajah yang sedikit menyebalkan. Ia menatap Sandra juga si teman dekat yang berdiri di sisinya. Sejenak tak ada suara sebab mereka hanya diam dan melempar tatapan satu sama lain.
"Lila?" Seseorang menyebut namanya. Gadis yang baru saja dipanggil itu hanya bisa mengerang dan mengangguk-anggukkan kepala ringan. Pria ini mengenal dirinya. Secara pribadi? Tentu saja tidak. Lila tak pernah melihat wajahnya sebelum ini.
"Bisa ikut sebentar bersama saya?" Pria itu mengeluarkan suara berat sedikit serak. Tak ada senyuman yang mengiringinya. Kesan tegang dan penuh keseriusan sedikit mencurigakan mulai menyelimuti di dalam hati Lila maupun Sandra. Keduanya saling tatap satu sama lain sebelum memutuskan untuk menyetujui pria yang ada di depannya itu.
"Anda boleh mengajak teman Anda jika takut. Bosku tak keberatan untuk itu." Ia menambahkan. Kiranya tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran Lila saat ini.
Gadis itu mulai tersenyum manis. Ia mengangguk lalu melirik ke arah Sandra dan memberi isyarat padanya untuk ikut dengan pria ini. Jujur saja, rasa takut dan was-was ada di dalam hatinya. Siapa gadis yang bisa ikut dengan pria asing berwajah menyeramkan seperti ini dengan hati yang tenang dan damai? Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya sekarang.
Langkah demi langkah akhirnya mereka ambil. Kiranya tak ada suara selainnya tapak langkah kaki yang menyusuri setiap lorong rumah sakit dan menaiki satu demi satu anak tangga untuk sampai ke tempat tujuannya.
Sebuah roof top rumah sakit. Seorang wanita duduk di sana dengan menghadap ke arah jalanan yang ada di bawahnya. Jika dilihat dari penampilannya kali ini, ia adalah orang terpandang dengan pangkat tinggi dan berkelas. Dirinya adalah si pejabat beruang dengan gaya yang modern. Baju yang ia kenakan benar-benar terlihat mewah dan mahal. Aksesoris syal berbulu sedikit tak cocok dikenakan di cuaca panas seperti ini. Bahkan, musim hujan belum benar-benar datang. Kiranya tak perlu menghangatkan tubuh dengan syal berbulu tebal seperti itu.
"Nyonya Aida Shalitta, tamu Anda sudah datang." Pria itu membungkuk ringan. Kala nama itu disebut dengan tegas, Sandra dan Lila membulatkan matanya sempurna. Mereka bukan orang bodoh yang tak mengenal siapa itu Aida Shalitta. Si pemilik hotel berbintang yang suka hadir di setiap seminar-seminar untuk memberi motivasi pada anak-anak muda seperti mereka.
Wanita cantik itu menoleh. Ia bangkit dari tempat duduknya. Menyambut kedatangan dua gadis yang berdiri sejajar menatapnya dengan teduh. Namun, tidak untuk Sandra. Gadis itu memilih untuk menatap liontin milik wanita tua setara usia dengan ibunya itu. Bentuk liontin yang cantik! Sinar sang surya yang menerpa permukaannya benar-benar menjadi point penyempurna untuk keindahannya.
"Kalian pasti mengenalku, bukan?" Wanita itu tak suka berbasa-basi. Ia pergi pada poin pembicaraan dan alasannya mengundang dua gadis ini untuk datang menemuinya secara pribadi begini.
"Tentu. Semua orang mengenal Anda, Bu Aida." Lila menyahut. Nada bicara itu tegas dengan penuh penekanan.
"Leo adalah putraku. Kalian pasti juga tahu tentang itu. Leo adalah pemilik bar dan lounge terbesar di Jakarta. Kalian pasti—"
"Jangan berbasa-basi. Cukup katakan apa mau Anda, Bu Aida." Sandra menyahut. Ia memotong kalimat wanita tua yang ada di depannya itu. Sejenak Nyonya Aida diam sembari menatap paras cantik milik Sandra. Proporsi wajahnya asing! Ia bukan orang Indonesia asli. Hidungnya mancung dan matanya tajam, layaknya seperti orang-orang yang berasal dari negara sebrang. Namun, mendengar caranya berbicara dengan logat Indonesia yang begitu kental, Nyonya Aida tak bisa menyimpulkan bahwa gadis itu berasal dari luar negeri.
"Kau orang Indonesia asli? Mengapa wajahmu berbeda?"
Sandra melirik Lila yang kini tersenyum hangat. Ia mendorong tubuh Sandra untuk bersembunyi di belakang tubuhnya saat ini. Lila yakin, bukan Sandra tujuan Nyonya Aida memanggilnya kemari. Seperti yang dikatakan oleh wanita satu itu, Leo Wang Oleander adalah putranya. Itulah sebabnya ia datang meminta Lila untuk menemuinya secara pribadi.
"Anda ingin bernegosiasi denganku, Bu Aida?" tanyanya dengan nada ketus. Ia menatap wanita yang kini tertawa ringan lalu mengangguk sambil tersenyum aneh. "Kamu anak yang pandai."
Persetanan gila! Anak dan ibu sama saja. Jika saja dunia tahu bagaimana Leo Wang Oleander dan Nyonya Aida Shalitta yang sebenarnya, maka hotel dan bar itu tak akan pernah ramai oleh kunjungan orang-orang. Siapa yang mau mengunjungi tempat iblis seperti itu memangnya?
"Jangan mau, kita harus membawa kasus ini ke kantor polisi." Sandra menyahut. Ia menarik tubuh Lila untuk memberikan celah padanya bisa berbicara dengan Nyonya Aida dengan lebih nyaman dan pas.
"Apa maksudmu, Nak?" Aida mulai menitikkan manik matanya tepat di atas wajah cantik milik Sandra. Mencoba untuk mengintimidasi gadis itu agar mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi. Ia tak perlu ikut campur! Itulah arti tatapan Aida padanya.
"Sudah jelas, Bu Aida! Kita akan membawa kasus ini ke kantor polisi. Anakmu harus dihukum selepas menyiksa teman kami!"
Aida tertawa kecil. "Temanmu seorang mata-mata, Nak. Aku akan melindunginya dan membiayai semua pengobatan sampai ia benar-benar sembuh dengan bayaran kau harus tetap bungkam atas kejadian kemarin malam," tutur Aida mencoba memberi pengertian pada Lila.
--sialnya, Lila hanya bisa diam membisu sembari terus menatap lensa mata itu. Tawaran yang menggiurkan! Temannya itu bukan berasal dari keluarga kaya. Ayah dan ibunya tak akan bisa membiayai rumah sakit juga mengganti sebuah luka dengan kulit yang baru.
"Kau setuju bukan, Nona Lila?" tanyanya lagi. Terus menatap gadis yang ada di depannya.
"Tidak! Kita akan membawa ini ke kantor polisi!"
--persetanan gila! Gadis cantik satu ini harus musnah dari hadapannya!
... To be Continued ...