Suryo menghadiri sidang di dampingi Irene. Lelaki itu benar-benar pasrah, sama sekali tidak menyewa pengacara untuk membelanya. Padahal bisa saja ia menuntut Guan balik dengan tuduhan memberi ancaman dan menekannya selama ini. Namun ia tidak mau memperpanjang masalah, Guan bukanlah orang biasa. Guan punya banyak uang, mudah saja baginya lolos dari jeratan hukum. Biarlah hukum alam yang membalas segala perbuatan jahat pemuda itu.
Irene menepati janjinya untuk tidak memberi tahu Unaya dan Jeni soal persidangan ini. Cepat atau lambat Irene yakin jika berita ini akan tersebar. Orang-orang sudah tahu siapa sosok Suryo yaitu ayah dari selebgram kondang Indonesia Una Frozen. Apalagi ketika mereka masuk kedalam ruang sidang, banyak wartawan yang menunggu dan meminta klarifikasi. Suryo merasa sangat malu karena secara tidak langsung telah mencoreng nama baik anak dan keluarganya. Hingga yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menunduk sambil mendengarkan hakim ketua membacakan putusan sidang.
"Saudara Suryo terbukti melakukan penipuan, dijerat pasal 378 KUHP tentang penipuan dan penggelapan dengan hukuman maksimal empat tahun penjara...".
Tok... Tok... Tok...
Palu diketuk tiga kali menandakan jika keputusan hakim ketua sudah final. Irene menghela nafas panjang, ia kasihan pada Suryo tapi kejadian ini adalah hasil dari apa yang telah lelaki itu tanam. Sementara itu Guan tersenyum puas, pemuda itu berjalan dengan angkuh kearah Suryo yang masih betah menunduk entah sedang memikirkan apa.
"Selamat telah menerima hadiahnya...". Suryo mendongak dan menatap Guan penuh benci. Pemuda yang ia gadang-gadang sebagai calon menantu idamannya itu membuatnya muak. Sungguh ia menyesal pernah menitipkan Unaya pada pemuda licik seperti Guan. Seburuk-buruknya Jeka, pemuda itu masih punya hati nurani dan pikiran jernih untuk tidak berlaku picik. Sementara Guan hanya penampilannya saja yang terlihat seperti orang baik-baik, tapi nyatanya kelakuannya lebih rendah dari anjing sekalipun.
"Terimakasih untuk hadiahnya. Saya akan menggunakan hadiah ini untuk introspeksi diri agar kembali ke jalan yang lurus". Sindir Suryo terang-terangan. Guan terkekeh, pemuda itu berjongkok didepan Suryo yang saat ini masih duduk di kursi.
"Jangan terlalu benci saya Om. Masih ada kesempatan buat bebas kok. Saya akan gunakan Om sebagai ancaman agar Unaya mau kembali ke saya".
"Jangan coba-coba sentuh putri saya lagi! Saya tidak sudi Unaya hidup dengan lelaki picik seperti kamu. Lebih baik saya mati membusuk dipenjara daripada Unaya bersanding dengan setan seperti kamu!!!". Teriak Suryo kalap dengan wajah memerah. Benar-benar membenci pemuda berwajah pongah didepannya saat ini. Ia juga membenci Somad sahabatnya yang hanya diam saja dan tidak menegur putranya yang telah berbuat jahat selama ini.
"Mas, sudah Mas. Sabar". Irene menahan tangan Suryo agar lelaki itu tidak berbuat nekat. Kalau sampai nekat menyerang Guan, yang ada lelaki itu akan mendapat hukuman lebih berat. Guan mengorek kupingnya kemudian bangkit berdiri, ia menatap Suryo remeh.
"Terimakasih atas pujiannya. Kita lihat saja nanti apa keputusan Unaya". Ujarnya enteng kemudian pergi.
"JANGAN SENTUH PUTRI SAYA! KAMU TIDAK PANTAS UNTUK PUTRI SAYA, DASAR IBLIS!!". Teriak Suryo hingga Guan menghilang dari pintu. Petugas kepolisian langsung sigap mengamankan Suryo, mereka mulai mengarak lelaki itu dan hendak membawanya ke rumah tahanan. Irene mengikuti dari belakang, wanita itu mencoba menghalau keramaian. Banyak reporter yang meliput mereka.
"Apa benar anda melakukan penipuan Pak?".
"Apa Una Frozen sudah tahu jika ayahnya di vonis empat tahun penjara?".
"Bagaimana perasaan Una Frozen jika tahu ayahnya melakukan penipuan?". Wartawan mulai mencerca Suryo dengan berbagai macam pertanyaan. Lelaki itu tidak mengatakan apapun selain maaf. Ia minta maaf pada keluarganya karena tidak bisa menjadi pemimpin rumah tangga yang baik. Ia merasa gagal sebagai seorang ayah. Ia kira segala keputusannya adalah yang terbaik untuk anak-anaknya tapi ternyata, ia justru menjerumuskan putrinya pada kesengsaraan.
***
Unaya menatap kearah jendela begitu hujan turun dengan derasnya. Gadis itu sedang ada di lokasi pemotretan. Sekarang sudah pukul tujuh malam, artinya Suryo sudah mendekam dijeruji besi selama kurang lebih enam jam. Unaya belum tahu karena sibuk seharian. Ini saja baru break karena set pemotretan sedang diubah.
"Dingin banget, kok hujannya turun tiba-tiba gini". Gumamnya sambil memeluk dirinya sendiri.
"Gue buatin cokelat panas ya". Tawar Yuna. Unaya tersenyum dan mengangguk.
"Thanks Yun". Ujarnya sebelum kembali menatap ke arah jendela. Entah kenapa firasatnya tidak enak seharian. Ia memukul-mukul dadanya sendiri, sesak. Seperti pertanda akan ada berita buruk.
"Una, touch up dulu ya". Ujar make up artis yang langsung membubuhkan bedak kewajah Unaya.
"BREAKING NEWS! Suryo ayah selebritis Una Frozen di vonis empat tahun penjara atas kasus penipuan...".
Suara berita dari televisi membuat Unaya menghentikan gerakan tangan make up artis yang tengah mendandani wajahnya. Seluruh mata staff menatap kearah gadis itu. Sementara Unaya tanpa kedip menatap layar televisi yang menampilkan sosok ayahnya.
"Siang tadi pukul dua belas siang, persidangan selesai dengan hasil Suryo dinyatakan bersalah dengan segala bukti yang menunjukkan jika CEO Suryo Corp itu melanggar kontrak perjanjian pada Guan Corp sehingga dijatuhkannya hukuman empat tahun penjara dan denda sebesar satu miliar rupiah...".
"Papa". Gumam Unaya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu bergegas mencari ponselnya dan mengaktifkannya dengan tangan gemetar. Begitu ponselnya hidup, banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Jeni. Ia tidak membuka pesan dari adiknya karena satu pesan yang dikirim Guan lebih membuatnya penasaran. Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya. Guan mengirimkan foto Suryo yang tengah tidur meringkuk di lantai tahanan.
Temui aku dalam waktu dua kali duapuluh empat jam, ayo bicara...
Unaya meletakkan ponselnya dengan kasar sebelum berlari menerobos hujan tanpa berfikir panjang.
"Unayaaaaa!!! Mau kemana?". Teriak Yuna terlihat gusar. Gadis itu tidak bisa menahan Unaya karena paham bagaimana perasaan gadis itu.
***
"Anjir! gue udah tobat kenapa diajak ketempat kek gini lagi sih". Umpat Jeka. Malam ini ia dihubungi teman-temannya dan diajak nongkrong di club Bang Rey. Bahkan sampai gak nemenin Unaya pemotretan padahal ia manager-nya. Tapi namanya juga Jeka, kalau bawa-bawa pertemanan mana bisa menolak.
"Santai Bos. Udah mau nikah kan? Mana bisa kita begini lagi". Sahut Rey yang langsung menuangkan wine di gelas Jeka. Tanpa pikir panjang Jeka menegaknya dalam sekali teguk. Sudah lama sekali tidak mengkonsumsi minuman nikmat ini. Ia memejamkan mata begitu carian itu melewati kerongkongannya.
"Ahhhh... Udah lama gue gak minum. Segelas lagi boleh lah". Akhirnya Jeka ketagihan. Pemuda itu mengangkat gelasnya minta diisi wine lagi.
"Yhaaaaa... Gegayaan nolak, akhirnya ketagihan juga". Ledek Victor sembari menghisap rokoknya.
"Segala sesuatu yang bikin dosa kan emang nikmat dan bikin ketagihan Vi. Btw Bos cewek-cewek pada lihatin Lo tuh". Jeka menatap kearah yang ditunjuk Jimi kemudian tersenyum miring.
"Sorry gak doyan sama jalang". Kata Jeka dengan pongahnya. Pemuda itu cuek saja meski sadar tengah ditatap lapar oleh gadis-gadis di club. Mohon maaf hatinya sudah terkunci oleh satu gadis.
"Yang mau nikah auranya beda. Bentar lagi udah dilarang-larang nih nongkrong sama kita-kita". Kata Rey yang membuat Jeka terkekeh.
"Ya enggak lah Bang. Unaya orangnya santai kok asal gak nakal aja". Jeka hendak menyulut rokoknya namun tertahan karena perkataan Rey.
"Bentar, calon istri Lo Una Frozen bukan sih?". Tanya Rey memastikan.
"Iya bener, kenapa emang?".
"Bentar deh". Rey merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Pemuda itu seperti tengah mencari sesuatu.
"Lo udah tahu belum kalau ayahnya Una Frozen dihukum empat tahun karena kasus penipuan?". Jeka sontak meletakkan rokoknya kembali dan langsung merebut ponsel Rey. Ia membaca judul yang terpampang disebuah artikel. Jimi dan Victor pun ikut membaca, mereka kaget dengan berita itu karena memang belum tahu sebelumnya.
"Gue cabut duluan!". Pamit Jeka. Satu yang ia pikirkan saat ini adalah Unaya. Gadis itu sudah tahu belum soal ini? Bagaimana kondisi gadis itu? Masih banyak lagi yang berkecamuk di otaknya tentang Unaya. Untuk itulah pemuda itu tanpa pikir panjang langsung pergi dan hendak menemui Unaya.
"Bos! Diluar hujan!". Bahkan teriakan teman-temannya pun tidak dihiraukan.
***
Sementara itu Unaya berlari tanpa arah tujuan menerobos hujan. Gadis itu menangis sekencang-kencangnya mumpung suara tangisnya teredam hujan. Ketakutannya kini menjadi nyata, ia dirundung dilema. Pilihannya hanya dua: Jeka atau papanya. Unaya tidak bisa memilih salah satunya karena keduanya berharga untuknya. Dipikir sampai kepalanya mau meledak pun Unaya tidak menemukan jalan keluar apapun. Begitu sulit mengambil keputusan untuk saat ini. Namun ia dituntut untuk segera memberikan keputusan karena Guan hanya memberi waktu dua hari untuk berfikir.
"Gue gak bisa pilih salah satu. Gue sayang Papa dan gue juga sayang Jeka. Gue harus apa?". Teriak Unaya. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Unaya baru sadar jika hujan malam ini adalah pertanda, pertanda adanya berita buruk. Air hujan seperti luber air mata, suaranya seperti raungannya saat ini. Akan ada pelangi setelah hujan itu beneran gak sih? Atau hanya sekedar kiasan saja?
Jeka memicingkan matanya begitu melihat sosok gadis yang tidak asing. Pemuda itu langsung mempercepat laju motornya hingga berhasil menyusul langkah kecil Unaya. Ia letakkan motornya dipinggir jalan dan melepas jaketnya. Jeka berlari kecil menghampiri Unaya kemudian menyampirkan jaketnya kebahu gadis itu. Unaya menoleh hingga mata keduanya saling tatap. Mereka melempar tatapan sendu satu sama lain. Unaya semakin terisak begitu melihat sosok Jeka, gadis itu langsung memeluk pemuda dihadapannya ini seakan menumpukan segala beban yang sudah tidak sanggup ia pikul sendirian.
"Papa Jek, Papa". Isak Unaya. Jeka membalas pelukan Unaya. Ditengah derasnya hujan mereka berpelukan, sama-sama tidak mau kehilangan tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk mempertahankan hubungan.
"Semua pasti baik-baik aja Na". Kata Jeka menenangkan meski ia tahu jika kata-katanya tidak cukup untuk membuat perasaan Unaya membaik.
"Enggak Jek. Aku gak tega lihat Papa tidur dilantai dingin itu. Aku gak bisa bayangin gimana kehidupan papa ditempat itu, sementara aku disini hidup enak". Teriak Unaya terlihat emosional. Jeka meremat kedua bahu Unaya, pemuda itu sedikit menunduk dan menatap mata sang gadis serius.
"Dengerin aku Na. Kita pasti bakalan nemu jalan keluarnya. Sekarang kita pulang, aku gak mau kamu sakit". Ajak Jeka namun Unaya menolak.
"Sebegitu gampangnya ya buat kamu Jek. Kamu gak ngerti perasaan aku".
"Kata siapa ini gampang buat aku Na? Aku juga sedih dengernya. Aku juga mau kasih solusi tapi mendadak buntu. Aku sangat tahu perasaan kamu, tapi tolong dengerin aku Na. Kita pulang dan kita coba mikir jernih di rumah. Bertahan disini juga percuma, buang-buang waktu". Nasehat Jeka namun Unaya hanya diam tidak mau menjawab. Lama menunggu Unaya yang tidak memberikan respon apapun, Jeka akhirnya membopong tubuh gadis itu dan membawanya kearah motor. Entahlah Unaya mendadak bak sosok tak bernyawa. Diam membisu dan pasrah dibawa kemana-mana.
Sesampainya di rumah Sonia, Jeni, Yeri, dan Jun menyambut kedatangan mereka dengan wajah cemas. Sonia langsung memeluk Unaya yang basah kuyup sambil menangis. Wanita itu tahu Unaya sangat terluka, ia pun demikian. Tidak menyangka jika akhirnya Suryo akan bernasib seperti ini.
"Sayang kita harus tabah. Semua pasti ada jalan keluarnya". Sonia mengecup pucuk kepala Unaya berkali-kali.
"Ini semua salah Unaya Ma, Papa susah karena Unaya. Unaya tuh bawa sial!". Isak Unaya menyalahkan dirinya sendiri.
"Unaya kamu gak boleh...".
"Bagus deh kalau Kakak sadar". Potong Jeni. Gadis itu menatap Unaya dengan sorot benci. Semua yang ada disana menatap Jeni tak percaya, kenapa gadis manis seperti Jeni bisa- bisanya menyalahkan kakak nya sendiri.
"Jen". Tegur Yeri yang hendak menahan Jeni namun ditahan.
"Biar Kakak tahu sekalian kalau aku ngerasa susah karena Kakak. Kakak selalu dapat perhatian Papa sementara aku enggak. Aku dibuang disini cuma demi Kakak yang harus berobat di Singapura. Dan sekarang pun Papa dipenjara juga gara-gara Kakak. Sampai kapan Kakak mau nyusahin orang lain? Bahkan Bang Jeka hampir mati juga karena belain Kakak. Besok siapa lagi korbannya Kak? Aku atau Mama?". Teriak Jeni. Gadis itu emosinya sedang tidak stabil karena terpukul dengan berita papanya. Tanpa sadar Jeni mengeluarkan unek-uneknya yang justru membuat Unaya semakin down.
"Jeni, cukup!". Tegur Jeka.
"Jeni, kok kamu ngomong gitu? Ini bukan salah siapa-siapa". Tambah Sonia.
"Tuh kan! Semuanya aja belain dia. Jelas-jelas Kak Una yang salah, Kakak bawa sial! Aku benci sama kakak!". Teriak Jeni sambil menangis. Gadis itu berlari menuju kamarnya. Menurutnya orang-orang memperlakukannya tidak adil. Ia selalu dianggap salah sementara Unaya benar.
"Jeni! Minta maaf gak? Jen!".
"Udah Ma, Jeni bener kok. Aku ini emang biang kerok, aku bawa sial". Kata Unaya dengan suara serak menahan tangis. Sakit sekali hatinya dikatai bawa sial oleh adiknya sendiri. Dengan gontai, gadis itu berjalan kearah kamarnya. Sungguh berasa tak berdaya, sudah tidak ada alasan untuk tetap hidup.
"Unaya. Kenapa jadi begini sih". Isak Sonia. Wanita itu prihatin dengan keadaan keluarganya. Apalagi sikap Jeni tadi membuatnya kepikiran.
"Mama tenang ya, biar Jeka yang bicara sama Unaya". Kata Jeka menenangkan sebelum menyusul langkah Unaya.
***
Unaya melamun di kamarnya, gadis itu terus memikirkan perkataan Jeni tadi. Adiknya benar selama ini ia hanya menjadi beban hidup orang-orang yang ada disekitarnya. Dan tanpa tahu diri ia tidak pernah sadar betapa susah hidup mereka karenanya. Selama ini Unaya sadar telah egois, ia terlalu manja hingga tidak tahu kalau Jeni merasa terasingkan. Gadis itu menangis membayangkan betapa sulitnya Jeni selama ini beradaptasi dengan kehidupan baru bersama Sonia. Melakukan pendekatan pada Jeka dan Yeri, juga menahan rindu karena ditinggal pergi jauh.
"Maafin Kakak, Dek". Gumam Unaya.
Pintu kamar terbuka, nampak sosok Jeka dengan keadaan basah kuyub sama seperti dirinya berjalan perlahan mendekat. Jeka berjongkok didepan Unaya yang saat ini duduk diatas ranjang sambil menangis. Pemuda itu meraih tangan Unaya untuk digenggam lembut.
"Omongan Jeni gak usah dipikirin. Emosinya lagi gak stabil, aku yakin dia pasti gak bermaksud ngomong gitu". Unaya melepas genggaman tangan Jeka.
"Justru karena emosinya lagi gak stabil makannya dia ngomong jujur. Dia bener kok, aku cuma bawa sial buat kalian. Gak seharusnya aku pulang, atau bahkan menghilang dari bumi sekalian". Ujar Unaya. Gadis itu menutup wajahnya dengan telapak tangan untuk meredam suara tangisnya. Bahunya yang bergetar membuat Jeka terenyuh.
"Kalau kamu menghilang dari bumi, aku sedih". Kata Jeka yang membuat Unaya perlahan menurunkan tangannya. Ia mengusap pipi Jeka lembut. Rasanya jahat sekali menyusahkan pemuda sebaik Jeka ini.
"Udah cukup Jek kamu belain aku dan lindungi aku. Aku sudah dalam tahap insecure hingga merasa gak pantas untuk siapapun". Jeka meraih tangan Unaya yang menempel dipipinya kemudian ia kecup lembut.
"Kamu emang gak pantas untuk siapapun karena terlalu sempurna". Isakan Unaya semakin kencang. Ia masih tidak menyangka jika ada pemuda yang sesayang itu padanya. Bagaimana mungkin Unaya melepaskan pemuda seperti ini?
"Jeka, kenapa sih kamu gak pakai aku aja?! Rusak aku Jek! Rusak aku, biar Guan jijik sama aku!". Unaya membuka kaos yang ia pakai hingga menyisakan bra saja. Jeka tertegun bukan karena berpikiran liar, ia justru tidak menyangka jika Unaya akan memiliki pikiran seperti itu.
"Berapa kali aku bilang, kalau aku gak...".
"Munafik! Kamu cowok munafik! Aku udah gak bisa mikir gimana caranya biar Guan berhenti terobsesi sama aku. Kenapa sih kamu gak lakuin aja? Dengan begitu kita bisa langsung nikah Jek. Aku udah capek!". Teriak Unaya. Gadis itu hendak melepas gesper celana Jeka namun langsung dicegah.
"Unaya kamu lagi labil, aku gak mau kamu nyesel nantinya. Gak dengan cara kayak gini, aku gak mau kamu ngerendahin diri kamu sendiri". Kata Jeka sabar. Tangan Unaya lemas seketika, sungguh ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Otaknya sudah buntu, hanya keputusasaan yang tersisa. Jeka membawa Unaya kedalam pelukannya, pemuda itu menepuk-nepuk punggung polos Unaya.
"Aku capek Jek, capek banget". Bisik Unaya.
"Jangan pernah lepas tanganku, aku akan segera bawa kamu dalam kebahagiaan". Kata Jeka sungguh-sungguh.
--Ex-Bangsat Boys--