Tetapi begitu Erza pergi, banyak orang mulai berbicara dengan nada tidak senang. Tentu saja itu wajar. Mereka harus bekerja delapan jam setiap hari, bahkan kadang-kadang bekerja lembur. Tapi, Erza justru sering pergi begitu saja, datang begitu saja seenaknya sendiri.
Erza tidak peduli, dia langsung bergegas untuk menuju ke restoran barbekyu yang dimaksud Farina. Dia memutuskan untuk tidak mengajak Wina karena akan memakan waktu
Selama makan, mereka berdua bisa berbicara, tetapi Farina terus minum. "Jangan minum terlalu banyak." Melihat Farina hendak minum lagi, Erza segera mencegahnya.
"Aku masih kuat minum!" teriak Farina dengan lantang. Teriakan ini menarik perhatian banyak orang, namun saat melihat Farina mengenakan seragam polisi, banyak dari mereka yang berpura-pura tidak melihatnya. Bisa dikatakan mereka semua tahu bahwa itu adalah Farina.
"Jangan minum!" bentak Erza. Gadis itu tidak menghiraukannya. Selanjutnya, Erza tidak tahu berapa banyak yang Farina minum. Melihat Farina yang masih menuang sebotol anggur, Erza menggeleng tak berdaya dan langsung membayar tagihannya. Kemudian, yang mengejutkan semua orang, Erza langsung menggendong Farina untuk pergi dari restoran barbekyu itu.
Erza membawa Farina ke polres. Saat tiba di sana, para polisi melihatnya dengan bertanya-tanya.
"Apa yang terjadi dengan Farina?" Seorang detektif berlari mendekat. Mungkin dia baru pertama kali melihat seseorang yang berani menggendong Farina seperti ini. Jadi saat berbicara dengan Erza, sikap detektif itu luar biasa sopan.
"Tidak apa-apa. Dia terlalu banyak minum denganku. Aku tidak bisa mengantarnya pulang karena aku masih ada urusan. Bisakah kamu mengantarnya?" Pada saat ini, Erza juga menatap detektif itu. Bagaimanapun, Farina sangat buas, jadi sepertinya tidak akan ada orang yang berani memperlakukan Farina dengan tidak senonoh ketika dia mabuk.
"Tidak masalah. Kamu pacar Farina?" Detektif itu juga menatap Erza dan bertanya.
"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?" tanya Erza tidak terima.
"Aku dan Farina sudah saling kenal selama lebih dari dua tahun. Ini pertama kalinya aku melihatnya bersama pria. Apalagi kamu berani menggendongnya." Detektif itu juga memandang Erza dengan kagum.
"Kami hanya teman. Aku harus pergi dulu, terima kasih." Saat ini, Erza juga menyadari bahwa Farina sangat terkenal di kalangan para polisi.
"Erza, makanannya hampir siap, kenapa kamu tidak ada di sini?" Saat Erza masuk ke dalam mobil, dia menerima telepon dari Alina. Selama panggilan telepon, Alina mengungkapkan rasa kesalnya.
"Aku akan segera datang." Setelah menutup telepon, Erza memacu mobilnya.
"Kamu habis minum?" Setelah tiba di rumah Alina, gadis itu mengerutkan kening.
"Minum anggur dengan teman-teman," jawab Erza santai.
"Ada sesuatu yang harus kamu lakukan, dan sesuatu itu adalah ini?" Alina merasa ada yang tidak beres dengan Erza.
"Tidak, aku baru saja bertemu dengan seorang teman lama. Aku tidak melihatnya selama sepuluh tahun, jadi aku makan bersama. Aku harus minum juga. Jika bukan karena kamu, aku masih akan berada di sana. Tapi, karena kamu sudah repot-repot memasak untukku, jadi aku diam-diam pergi." Meskipun Erza tidak suka berbohong, saat ini Erza benar-benar tidak punya pilihan.
"Kamu sangat pandai mengambil hati seseorang." Ekspresi Alina sedikit senang sekarang.
"Ayo makan!" Erza sebenarnya sudah kenyang, tapi dia ingin membuat Alina bahagia.
"Ayo! Aku membuat banyak makanan enak untukmu hari ini." Alina sedikit tersenyum. Kali ini, suasana hatinya benar-benar membaik. Bagaimanapun juga, saat ini Alina sudah memaafkan Erza.
"Ini benar-benar banyak." Melihat ikan besar dan daging di atas meja, Erza terperangah. Namun, dia benar-benar tidak nafsu makan. Hanya dengan melihatnya saja sudah kenyang. Namun, begitu Erza duduk, Lana menelepon. Jika itu orang lain, Erza pasti tidak akan menjawabnya.
"Erza, Wina sepertinya sakit. Seluruh tubuhnya dingin. Aku akan membawanya ke rumah sakit. Kamu cepat menyusul ke sana." Suara Lana terdengar panik.
"Apa? Jangan bawa ke rumah sakit. Tunggu aku. Aku akan segera pulang," ucap Erza.
"Kenapa aku tidak boleh membawanya ke rumah sakit?" Pada saat ini, Lana terkejut sejenak, tidak mengerti apa maksud Erza.
"Aku akan berbicara denganmu lagi saat aku kembali." Setelah berbicara, Erza juga menutup telepon.
"Alina, maaf, aku haru…" Sebelum Erza menyelesaikan kalimatnya, Alina menyela, "Ini mendesak, bukan?" Ketika Alina mendengar percakapan Erza di telepon, dia tahu bahwa Erza harus pergi.
Erza tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Alina, "Salah satu saudara perempuanku sakit." Pada akhirnya, Erza hanya bisa berkata begitu.
"Kapan kamu memiliki saudara perempuan? Apakah kamu tiba-tiba memiliki saudara perempuan dalam beberapa hari?" Alina bukanlah tipe orang yang mudah dibohongi. Terlebih, apa yang dikatakan Erza benar-benar sulit dipercaya.
"Alina, sungguh, saudaraku sedang sakit. Aku harus segera pergi, jika tidak akan ada masalah." Saat ini, Erza juga sangat cemas. Yang terpenting baginya sekarang adalah pulang dan melihat Wina dulu. Sedangkan untuk Alina, Erza juga berpikir bahwa akan ada kesempatan lain untuk makan malam dengannya dan menjelaskan apa yang terjadi.
"Erza, kamu bajingan! Jika kamu pergi, jangan pernah datang lagi ke sini." Melihat Erza hendak pergi, Alina ini tidak bisa lagi menahan amarah di hatinya. Dia berteriak pada Erza.
Erza menghela napas tak berdaya. Pada saat ini, dia benar-benar tertekan, jadi dia meninggalkan gadis itu. Ketika dia turun, Erza menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk membuat dirinya tidak mabuk, lalu segera pulang ke rumah.
Ketika tiba di rumah, Erza melihat Wina terbaring di sofa. Dia ditutupi dengan banyak selimut. Seluruh tubuhnya gemetar. Di sana juga ada Bu Siska dan Lana yang merawat Wina.
"Lebih baik dibawa ke rumah sakit, Wina terlihat sangat memprihatinkan sekarang." Pada saat ini, hati Lana menjadi lebih cemas.
Erza tidak berbicara, tetapi mengangkat Wina dan berjalan ke atas. Lana langsung mengikuti, tidak yakin apa yang akan dilakukan Erza.
"Sebelum aku keluar, jangan masuk. Jangan biarkan ada yang menggangguku." Erza langsung memeluk Wina dan masuk ke kamarnya. Ketika Lana mendengar ini, dia menatap Erza dengan heran. Suaminya menggendong seorang gadis, masuk ke kamar dan membiarkan dirinya menunggu di luar? Tetapi, Lana hanya mengangguk.
"Kak Erza, apakah aku sedang sekarat?" Napas Wina sedikit lemah, dan dia berkata dengan bersusah payah sambil memperhatikan Erza.
"Tidak, Wina." Erza tersenyum tipis. Erza juga menghela napas. Dia tahu bahwa Wina sudah berumur enam belas tahun sekarang. Biasanya orang dengan tubuh murni seperti Wina tidak akan bertahan lebih dari 17 tahun.
Saat ini, Erza meletakkan Wina di tempat tidur dan membiarkan Wina berbaring di sana. Setelah itu, semua energi di tubuhnya mengalir di telapak tangan Erza. Erza meletakkan telapak tangannya di punggung Wina. Setelah sekian lama, kulit Wina berangsur-angsur berubah warna menjadi lebih segar. Sepertinya dia sudah pulih. Selanjutnya, Erza mulai terus menerus menyerap energi Wina, dan pada saat yang sama memindahkan energi dari tubuhnya ke tubuh Wina. Mereka bertukar energi.
"Kak Erza, kamu menyelamatkanku lagi." Setelah Wina menjadi lebih baik, dia berkata sambil melihat ke arah Erza. Erza diam-diam menghela napas lega, dan luka-lukanya juga semakin memudar.
"Ayo keluar. Kak Lana dan Bu Siska pasti khawatir di luar," kata Erza sambil tersenyum. Ketika Erza dan Wina keluar, Lana melihat mereka baik-baik saja. Wajah Lana juga sedikit penasaran, tidak tahu apa yang terjadi.
"Wina sudah sembuh?" Lana bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Sudah, kak," jawab Wina senang.
"Erza, pergi ke ruang kerjaku. Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Lana pada Erza.