Takjub.
Hal itulah yang kini tengah kurasakan.
Setelah menahan rasa penasaran selama perjalanan kemari, akhirnya terbayar dengan rasa kagum yang tak terkira.
Carlo, yang sedari tadi memasang wajah datar, terlihat sangat berbeda sekarang.
Senyum hangat jelas terpancar di bibir merahnya, membuat Violet yang sedari tadi menatap semakin dibuat heran.
"Violet, kemari," panggil Carlo.
Meski terlihat agak ragu, Violet mendekat ke arah Carlo.
"Jangan tegang, nikmatilah hal ini sebisa mu."
Violet termenung, ia ingin sekali menikmati hal ini sekarang, tetapi rasa canggung membuat pergerakkan nya menjadi terbatas.
"Jangan ragu untuk melakukan sesuatu, Tuan Putri, kami akan merasa senang jika berkesempatan untuk dapat melayani Putri."
Bukannya merasa lega, rasa canggung Violet justru semakin menjadi setelah mendengar perkataan seorang pria paruh baya tersebut.
Jika dijelaskan secara rinci lagi, tempat ini bisa juga disebut seperti sebuah pedesaan kecil yang berada di tempat terpencil, atau jarang diketahui oleh orang lain.
Saat ini, mereka semua yang merupakan bagian dari warga desa, sedang menggelar pesta di tanah lapang yang lumayan luas, dengan api unggun berukuran besar di tengah-tengah, walau terlihat sangat sederhana, atmosfer kebahagiaan terpancar jelas di setiap aura wajah mereka.
Violet sendiri masih bingung, sejak kapan Carlo mengetahui semacam hal seperti ini, di dalam istana saja setahunya, Carlo hanya bepergian jika dikawal oleh pengawal pribadinya.
"Kau masih ragu? Baiklah, kalau kau tidak mau melakukan apapun, duduklah disana dan tunggu sampai aku selesai." Seperti bisa membaca pikiran di raut wajah Violet, Carlo men-titahnya untuk duduk di sebuah kayu besar yang seperti sudah dipahat sedemikian rupa, membentuk seperti bangku.
"Ti-tidak, aku akan membiasakan diri," jawab Violet dengan menunjukkan wajah se-meyakinkan mungkin.
Carlo yang merasa tak percaya pun, menggenggam pergelangan tangan Violet, lalu menuntunnya pelan menuju kayu besar yang berada tak jauh dari mereka.
"Duduklah, aku akan suruh seseorang mengantarkan mu makanan."
Carlo hendak pergi, namun Violet menghentikan nya.
"Kenapa?" Tanya Carlo.
"Jujur saja, aku merasa sangat asing berada disini, bisa temani aku?" Violet menatap Carlo penuh harap.
Carlo balik menatap manik mata Violet lekat.
"Apa ada yang mengganggu mu? Siapa dia?"
"Tidak, Carlo. Aku hanya merasa canggung."
"Kau tidak berbohong kan?"
Violet menyentuh jemari Carlo yang terasa dingin, dengan maksud meyakinkan adiknya itu.
"Tidak, semua yang ada disini, tidak satupun ada yang mengusikku, aku hanya canggung, percayalah."
"Duduk lah dulu, aku akan mengambilkan mu sesuatu, dan akan kembali dengan segera." Tanpa perlu menunggu jawaban Violet, Carlo melenggang pergi begitu saja.
Dan Violet? Mau tidak mau, ia kembali harus menuruti perkataan Carlo.
Cukup lama ia menunggu, entah apa yang dilakukan Carlo sekarang sampai seperti nya lupa akan keberadaan violet yang menunggunya.
"Hormat hamba Tuan putri!"
Violet berjengit kaget, di tengah lamunannya yang sedang menunggu Carlo, tiba-tiba terdengar seruan seseorang yang kini berada tepat dihadapannya.
"Jika berkenan, izinkan hamba mengatakan sesuatu," lanjut orang itu dengan menatap Meghan lekat.
Violet memperhatikan orang itu, dan entah kenapa firasatnya menjadi tidak nyaman.
Orang itu melangkah semakin mendekat ke arah Violet yang sedang duduk di kayu besar.
"Tuan putri, hamba benar-benar memohon dengan sangat.."
Violet berkerut bingung.
"Tolong.. jangan renggut dia." orang itu berhenti, dan kemudian terjatuh ke bawah tanah berpasir.
Beberapa penduduk desa yang melihat orang itu tergeletak, langsung saja berlari gesit kearah orang yang sepertinya tidak sadarkan diri tepat didepan Violet.
Suasana yang tadinya riuh, menjadi tegang sesaat.
Ditambah lagi, Carlo yang dari tadi tidak terlihat keberadaannya, muncul dengan aksi yang tak terduga.
Adik dari Meghan itu, menerobos paksa kerumunan warga yang hanya berdiam diri tanpa niat membantu.
Dibopong nya seseorang itu menuju tempat yang jauh dari keramaian, Violet pun ikut menyusul.
Seorang wanita yang terlihat asing tiba-tiba memberikan dedaunan kepada Carlo.
Dari jarak yang cukup dekat, Violet mengamati setiap pergerakan Carlo yang tengah menumbuk dedaunan yang tadi diberikan hingga menjadi bubuk halus, setelahnya didekatkan bubuk itu di hidung orang yang tengah tak sadarkan diri itu.
Setelah beberapa lama, orang itu terbatuk ringan, mata sayu nya perlahan mulai terbuka.
Carlo yang menyadari, langsung bersiaga dan menatap dalam orang itu.
"Elva!" Carlo menyeru.
Violet menebak, mungkinkah Elva adalah nama dari orang itu? Dipikir itu sangat memungkinkan, karna orang itu seorang perempuan.
"Elva, kau melakukan apa sampai keadaanmu jadi seperti ini?" Tanya Carlo dengan nada khawatir.
Seseorang yang dipanggil Elva itu langsung menggenggam lengan Carlo erat, ditatapnya Violet dengan tajam.
"Elva," lirih Carlo yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Kau mengenalnya, Carlo?" Tanya Violet penasaran.
Carlo diam, Sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaan Violet.
"Aku adalah tunangan Carlo, jadi aku minta Tuan putri tidak berharap banyak darinya!"
Violet tersentak, begitupun dengan Carlo.
"Tuan Putri adalah seorang bangsawan yang sangat sempurna, Tuan putri bisa menemukan seseorang yang lain, tapi tidak dengan Carlo!"
Violet masih bungkam dengan segala keheranannya, sedangkan Carlo menatap Elva tak menyangka.
"Tuan putri, aku menyadari, bahwa saat ini aku telah berbicara tidak sopan, tapi hal ini harus ku lakukan! Aku harus bersikap tegas, walau hukuman mati berada tepat di hadapanku sekalipun," ujar Elva dengan penuh penekanan serta kepercayaan diri yang terpancar di mimik wajahnya.
"Elva, kau salah pa--"
"Carlo, jika kau tidak berani mengatakannya, biar aku yang mengatakannya, kita tidak bisa selamanya terus bersembunyi kan?!"
"Kau salah mengira Elva, dia itu.."
"Intinya, Tuan putri, saya amat sangat memohon agar Tuan putri tidak menaruh rasa ke Carlo," kata Elva lantang.
Violet tersenyum, ia sudah bisa mengira keadaan seperti apa yang sedang ia alami kini.
Elva yang melihat senyum di wajah Violet menjadi salah sangka, dan akibatnya, perempuan itu dengan sengaja menarik rambut panjang Violet dengan kasar.
"Elva! Kau sudah bertindak kurang ajar!" Bukan Violet, Carlo lah yang membentak.
"Biar saja, Carlo! Aku tidak akan membiarkan Putri licik ini merebut mu dariku!"
"Sudah! Hentikan Elva!" Carlo menyentak pergelangan tangan Elva yang tengah menarik rambut Violet dengan kasar
"Apa kau tau siapa dia? Kau telah melakukan kesalahan besar!" Carlo berujar dengan suara tajam.
"Carlo, kau membelanya? " Balas Elva tak terima.
"Elva, harusnya kau bertanya, jangan bertindak semau-mu."
Elva memukul dada Carlo kuat, terlihat cairan bening mulai keluar dari kelopak matanya.
"Apa kau tidak menyadari perjuangan yang sedang kulakukan untuk kita? Mungkin dari awal harusnya aku sadar diri saja, bahwa perempuan desa sepertiku mustahil bisa bersanding dengan bangsawan sepertimu!"
Carlo memijat pelipisnya frustasi, ia jadi sulit menjelaskan kesalahpahaman ini, karna Elva yang terus memotong perkataannya.
"Carlo, mendekat lah kepadaku," ucap Violet yang kembali mengundang tatapan menusuk dari Elva.
Carlo sendiri menurut akan perkataan Violet, di dekatinya Violet yang sedari tadi memperhatikan perdebatan nya dengan Elva.
"Kau! Seorang Putri yang tidak memiliki martabat! Kau licik! Dan egois!" Murka Elva dengan jari telunjuk menuding Violet.
"Elva," gumam Violet lirih.
Elva menatap berani iris milik Violet, tudingannya pun masih bertahan menghadap tepat di wajah Violet.
"Pernah dengar dongeng tentang seekor angsa berbulu emas?" Violet melangkah perlahan mendekati posisi Elva.
"Jika dipikir-pikir, kau terlihat sama indahnya seperti angsa itu." disentuhnya jari telunjuk Elva itu dengan lembut, matanya kini menelisik ke arah kulit putih di jari telunjuk milik Elva.
"Tapi.. " Violet mengalihkan pandangannya mengarah ke iris coklat Elva.
"Kau harus ingat, seekor angsa akan tetap menjadi seekor angsa, sama seperti dirimu, Elva.. akan selamanya menjadi Elva, walaupun suatu saat kau akan hidup bersama dengan Carlo, darah yang mengalir dalam tubuhmu tidak akan pernah berubah, jadi, sadarilah posisimu sekarang."
"Berani sekali ka-- AKHH!!"
Krekk
Violet menyeringai ketika menyaksikan Elva yang sedang merintih tertahan sekarang.
"Jangan coba-coba kau menolongnya dihadapan ku Carlo," ucap Violet yang lebih terdengar seperti perintah.
Entah mengapa kini ia merasa puas setelah memberi pelajaran kecil pada perempuan dihadapannya ini, padahal, ia sama sekali tidak berniat melakukan hal ini awalnya, tapi sikap kelewatan seperti ini memang pantas untuk diberi hukuman, bukan begitu?
"Tidak perlu menangis, kau dari tadi mengataiku dengan berani, kenapa sekarang terlihat menyedihkan begini?" Ujar Violet dengan nada mengejek.
"Kau gila! Perlakuanmu benar-benar tidak waras!" Maki Elva yang tengah menahan rasa sakit di bagian telunjuknya.
"Dari pada para prajurit yang memenggal kepalamu, lebih baik aku yang mematahkan jari telunjuk mu bukan? Lagi pula hanya untuk patah ringan begitu, sikapmu berlebihan sekali," jawab Violet santai.
"Lihat saja! Suatu saat nanti akulah yang akan mendampingi Carlo! Akan ku buktikan itu padamu," kata Elva masih dengan rintihannya.
Violet memperkikis jarak antara dirinya dan Elva.
"Kau, sangat jauh dengan tipe ideal seorang calon adik ipar bagiku, perbaikilah perlakuanmu selama beberapa tahun ke depan, dan datanglah kembali kehadapan ku dengan sikap yang lebih baik."
***