"Tuan kami tidak mungkin segila itu. Ingat, tuan kami sudah tua dan cacat. Apa yang bisa dilakukan seorang pria tua dan cacat saat berhubungan?" Hati dan pikiran Calista menjadi semakin tidak karuan. Berhubungan intim dengan pria tua saja sudah menyesakkan dadanya. Ditambah lagi cacat. Ya Tuhan, cobaan macam apa yang Engkau berikan pada hamba, batin Calista. Calista memejamkan mata dan menghela nafas berat. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya untuk segera disingkirkan.
"Bagaimana dengan kehidupan pribadiku? Aku tidak mungkin tinggal dirumah sepanjang hari." Tanya Calista lagi.
"Kamu akan memiliki pengawal pribadi kemana-mana. Tapi, tentu saja kamu harus berhenti bekerja. Karena tidak mungkin istri majikan kami bekerja diluar rumah seharian." Sahut Andrew.
"Tapi nanti keluargaku akan curiga darimana aku mendapatkan uang kalau bukan dengan alasan pinjam dari kantor? Ibuku akan menolak mentah-mentah perjanjian ini." Tanya Calista lagi.
"Huh, kamu perempuan menyusahkan! Tinggal bilang saja pinjam dari teman. Masa begitu saja tidak bisa cari alasan." Jawab Andrew yang mulai jengah. Tidak disangka, menandatangani kontrak dengan perempuan biasa saja bisa se alot ini.
"Tidak bisa! Aku mau tetap bekerja. Sore jam 4 aku pastikan aku sudah sampai rumah." Jawab Calista sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada layaknya negosiator ulung.
"Kamu ...." Dering telpon menghentikan sejenak perdebatan dua orang beda kelas. "Ok, baik tuan, Hmm .... oke oke, siap, baiklah." Komunikasi terputus sejalan dengan ponsel yang diletakkan kembali diatas meja.
"Kamu bisa bekerja di salah satu perusahaan Mr. Anderson. Cucunya kebetulan membutuhkan sekretaris direktur." Jawab Andrew.
Calista mengernyitkan alis. Dia memandangi seluruh pojok ruang tamu mencari keberadaan benda hitam bulat yang biasa ada di setiap kamar rumah orang kaya. Pria didepannya mendadak menyetujui apa yang dia inginkan padahal percakapan itu hanya dihadiri oleh dirinya dan pria bernama Andrew. Calista yakin ada CCTV diantara mereka. Akhirnya dia menemukannya. Kecil terselip ditengah-tengah bagian atas figura lukisan perempuan desa yang sedang membawa jun/kendi yang terbuat dari tanah liat.
"Menarik sekali." Jawab pria diujung CCTV yang melihat perempuan tertangkap kamera CCTV sedang memandang dirinya dengan tatapan tajam. Seolah langsung tepat dihadapan Pria yang mengenakan setelan jas hitam dengan ketampanan dewa Yunani yang digilai banyak wanita.
"Tadi kamu bilang cucunya? Jadi, itu perusahaan keluarga? Hmm..." Jawab Calista lagi menyudahi pengamatan akan sekeliling ruangan. Kini dia merasa menjadi seorang terpidana yang diinterogasi di sebuah ruangan khusus. Sementara ada beberapa orang mengamatinya dari balik kaca tak tembus pandang namun bisa mendengarkan dengan jelas.
"Ya, jadi jam berangkat dan kerjamu sudah diatur. Bisa pulang kapanpun." Jawab Andrew. Cih, pekerjaan macam apa itu? Apa bedanya dengan seorang penghibur yang bisa datang dan pergi sesuka hatinya, batin Calista.
"Bagaimana? Aku tidak bisa lama-lama. Kamu sudah membuang waktuku lebih dari yang aku kira." Andrew mulai menampakkan kekesalannya. Entah karena kesal dibuat berlama-lama dengan perempuan penuh rasa curiga itu atau kesal karena semakin dia melihat Calista semakin dia teringat adiknya.
"Baiklah, boleh aku pinjam pulpennya?" Tanya Calista. Andrew segera mengeluarkan dari saku jasnya. Sebelum menandatangani kertas tersebut, Calista berbisik lirih, "Bapak ibu, maafkan anakmu yang tidak berguna ini. Kelak, hiduplah dengan baik dan makan yang enak. Semoga kalian memaafkan aku. Bismillah." Andrew mengernyitkan alisnya. Bibirnya terkatup rapat. Entah apa yang ada di pikiran perempuan ini, rela menggadaikan masa depannya demi uang. Akhirnya tanda tangan cantik ditorehkan Calista mengiringi wajah sendunya yang menandakan babak baru hidupnya telah dimulai.
"Baiklah, sekarang kamu sudah boleh pulang. Nanti akan ada orang yang menjemputmu. Kamu akan tinggal disini mulai dari hari ini. Seperti yang tertulis dalam kontrak, acara pernikahan berlangsung tertutup. Dan, buku pernikahan pun akan diberikan setelah perceraian terjadi. Hanya sebagai bukti kalau kamu telah menikah dengan tuan Anderson.
"APA? Memberikan buku pernikahan di hari perceraian? Huhh, aku tidak mengerti. Dan, tidak perlu menjemputku. Aku tidak mau timbul kecurigaan diantara semua teman-temanku di kosan. Aku akan kesini sendiri setelah membereskan barang-barangku." Sanggah Calista.
"Baiklah terserah kamu saja. Tapi, siang ini kamu harus sudah ada disini. Minggu depan acara pernikahan akan berlangsung. Dan, satu lagi. Kamu tidak bisa menghadiri acara ijab kabulnya. Kamu tidak boleh melihat wajah tuan sampai kapanpun." Jawab Andrew.
"Astagaaaaa, rumit sekali sih! Bahkan aku tidak bisa melihat wajah pria yang menikah denganku?? Haaaaah, katakan padaku sejujurnya! Apakah dia manusia ..... atau .... makhluk jadi-jadian?" Selidik Calista.
Mata Andrew terbelalak. Antara kaget dan ingin tertawa kencang, dia sembunyikan dibalik bibirnya yang merunduk sambil membereskan berkas-berkas.
"Daya imaginasimu luar biasa... luar biasa bodoh!" Jawab Andrew. Calista berjengit. Apakah pertanyaan dia salah? Karena dia bahkan tidak boleh melihat wajah suaminya kelak saat menikah bahkan saat berhubungan intim.
"Tapi.... aku mohon, pinjami aku 20 juta di awal. Aku harus membayar biaya operasi bapakku yang membutuhkan uang 20 juta sekarang juga." Tatapan mata Calista mendadak sendu dan wajahnya merunduk pilu.
"Berikan aku alamat rumah sakit dan nama bapakmu. Aku akan menyuruh orang untuk melunasi semua tagihannya. Dan, memastikan bapakmu mendapatkan pelayanan prioritas." Jawab Andrew.
"Benarkah? Oh, terima kasih sekali." Jawab Calista dengan senyum cerah sambil menyatukan kedua telapak tangan didepan dadanya. Dia pun mengeluarkan catatan di kertas berisikan nama bapaknya dan alamat rumah sakitnya dan diserahkan kepada Andrew diatas meja.
"Sekarang pulanglah. Atau, kamu minta diantar?" Tanya Andrew lagi.
"Tidak tidak, terima kasih. Aku akan pergi ke kantor lamaku sekarang untuk mengajukan pengunduran diri. Permisi." Calista setengah membungkuk hormat. Sebelumnya dia sempat melirik sendu ke arah kamera CCTV yang ternyata memperhatikan dirinya saat pertama masuk.
Andrew pun kembali ke dalam dan menemui tuannya di ruang kerja.
"Permisi tuan, ini berkas kontraknya." Andrew meletakkan surat berisi kontrak pernikahan yang telah ditanda tangani Calista dan dirinya.
"Menurutmu.... bagaimana perempuan itu?" Tanya Darren.
"Dia... perempuan biasa yang sedikit banyak tanya." Jawab Andrew mengungkapkan pengalamannya saat interogasi tadi.
"Hahahaha, dia membuatmu kesal ya? Tapi, dia cukup berani untuk melakukan itu." Darren mengangguk-angguk sambil memandang lembaran kertas dihadapannya.
"Pastikan kamar tidur untuknya sudah siap. Dan, besok juga jangan sampai ada yang terlewat." Lanjut Darren berkata.
"Siap tuan! Semua sudah selesai dikerjakan. Tinggal pas hari H nya saja. Ada lagi yang bisa saya kerjakan?" Andrew berdiri menatap majikannya yang sedang menyilangkan kaki kirinya diatas lutut kaki kanannya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya.
"Sudah, kamu boleh pergi." Darren mengibaskan tangannya ke angin. Andrew berjalan ke arah pintu dan meninggalkan tuan mudanya. Yang merupakan cucu tunggal dari The Anderson