Sekecil apapun benih yang kamu tanam, dia akan tetap tumbuh jua. Iyakah? Tentu. Karena semakin lama, benih yang kamu pendam itu akan memiliki akar, lalu hidup dan akhirnya berkembang. Sama, seperti saat kamu menyimpan benih rasa.
Ya, rasa.
Seperti perasaanku, yang susah payah aku kubur kini malah tumbuh semakin subur. Karena Zay yang selalu menyiraminya.
Ah, malu rasanya. Juga tak percaya. Sepasang suami istri yang awalnya mesra di depan semua orang, dan kaku di belakang umum. Kini, tak canggung lagi menampakkan kemesraan di semua tempat.
Sejak hari itu, dunia kami berubah.
***
"Cium." Zay mengulurkan tangannya padaku.
"Harus?"
"Istri yang baik harus cium tangan suaminya tiap beres salat," terangnya lagi.
Aku mengangguk, lalu meraih tangannya. Kemudian kucium selama beberapa detik.
"Bagus, itu baru namanya istri salihah," ucapnya. Lalu mencium keningku.
Aku hanya tersipu. Agak malu memang. Beberapa kali salat berjamaah, tapi baru kali ini mencium tangan suami.
Selesai salat, aku membereskan ranjang dan kamar yang berantakan. Lalu menyiapkan sarapan dan membantu Mama Hani mengerjakan pekerjaan rumah.
Tidak ada Alena yang pemalas ; bangun kesiangan atau tidur lagi di pagi hari.
Karena ternyata, menjadi istri sesungguhnya itu terlalu sayang untuk dilewatkan hanya demi tidur seharian.
***
Aku keluar dari kamar mandi, masih memakai piyama dan rambut yang tergerai basah. Berdiri di depan cermin rias.
"Hai ...." Terdengar bisikan di samping telinga. Tak lama kedua tangannya melingkar di pinggang.
"Hai, udah pulang ternyata?" sapaku kemudian.
"Mmm," sahutnya yang serupa geraman. Diikuti kepala menyelusup ke tengkuk leher, dan pelukannya yang semakin terasa erat.
Inilah kebiasaan barunya, menyiksaku secara fisik. Membuatku merasa sesak dan kesulitan bergerak. Aku diam saja, tak kuasa mau melawan juga. Hehehe.
"Kamu tau, berbulan-bulan aku berusaha bertahan dari godaan ini. Harum tubuhmu, yang selalu menari-nari di ujung hidung?" Wajahnya yang dia tumpukan di atas bahuku menatap lewat bayangan cermin.
"Oya?" Kuberi senyum mengejek.
"From the scent of your body, I can smell heaven," pungkasnya, diiringi kecupan di pipi. Lama. Hingga perlahan tangannya terlepas. Kemudian berlalu menuju kamar mandi.
Menyisakan debur rasa di dada ini. Selalu saja ada ucapannya yang membuatku bisa tersenyum sendiri, walau dia sudah tak ada di sampingku.
Selagi suamiku mandi, aku pun memilih baju yang pas dan cocok untuk sore ini. Dulu, piyama sekalipun tak pernah aku pedulikan. Kini, selalu ada rasa ingin tampil lebih di hadapannya. Termasuk memakai bedak juga lipstik.
Hei, lama-lama sepertinya aku tidak jauh beda dengan mahasiswi-mahasiswi itu!
Tidak masalah. Ini hakku untuk menggodanya, 'kan?
Saat sedang asyik menatap pantulan tubuh dari bayang cermin, terdengar ketukan.
"Mama," sapaku, sesudah membuka pintu.
"Len, ganggu, ya? Zay ada?" tanya Mama dengan raut yang terlihat sedikit gugup.
"Enggak, kok, Ma. Mas Zay ada lagi mandi." Aku tersenyum.
"Oh," sahutnya pelan. "Ya udah, nanti aja, deh." Mama berbalik.
"Mama mau kasih sesuatu buat Mas Zay?" tanyaku saat melihat benda di tangannya.
Mama berputar kembali. "Iya, nih. Undangan pernikahan teman Zay waktu kuliah sebenarnya. Biasanya sih, dia enggak pernah datang tiap ada temannya yang nikah. Entah kalau sekarang." Mama tertawa pelan.
Aku meraih undangan itu. "Nanti Alena kasih sama Mas Zay." Aku tersenyum kembali.
Mama memberi sebuah anggukkan kepala. Lalu menatapku dengan sebuah senyum. "Len, kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Mama rasa kamu lebih ceria."
Aku tersipu.
Mama mengusap pipiku. "Semoga kamu selalu bahagia dengan pernikahan ini."
"Alena ... bahagia, Ma."
"Alhamdulillah," ucapnya. Memberi seulas senyum lagi, sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.
Ah, jadi malu. Ternyata Mama pun bisa menyadari perubahanku. Setelah bayangannya menghilang di ujung anak tangga, kututup kembali pintu kamar.
"Siapa?" Zay keluar dari kamar mandi.
Aku duduk di tepian ranjang, menatap bingkisan yang dikatakan Mama undangan pernikahan. Dari bentuknya terlihat cukup mewah, bahkan terkesan seperti suvenir.
"Ini, kata Mama kamu dapat undangan pernikahan."
"Dari siapa?"
"Teman kuliah." Kualihkan sorot mata padanya.
Zay yang sedang menggosok rambutnya, berhenti seketika. Menengokkan kepala ke arahku.
"Undangannya bagus. Mirip artis, ya?" selorohku. Menunjukkan bagian depan undangan.
Zay tak menjawab, malah berjalan menuju lemari baju. Aku perhatikan ekspresi dinginnya. Hmm, kumat lagi dia.
Setelah selesai berpakaian baru dia menghampiri. "Coba buka, siapa yang menikah?" pintanya. Lalu meraih tas di kursi, duduk di sampingku.
"Oke!" Aku mengangguk, menarik ikatan pita pada benda berbentuk bulat panjang itu. Benar, isinya sebuah undangan. Berwarna merah marun dengan tulisan bertinta emas. "Renaldy dan Chelsea. Waw, resepsinya di hotel berbintang!" seruku takjub.
"Hmm, orang-orang kaya," ketusnya sambil membuka lembaran buku.
Aku memiringkan badan, menatap wajahnya yang sedang merunduk membaca buku. "Mau ke sana?"
"Entahlah," sahutnya tak acuh.
"Pantes Mama bilang gitu," gumamku sambil berdiri.
"Mama bilang apa?"
Aku berbalik, raut wajah Zay terlihat lebih serius.
"Katanya kamu enggak pernah datang ke pernikahan teman kuliah kamu." Kusimpan undangan di meja.
Zay mengedipkan mata, merunduk kembali.
"Kenapa?" Lagi-lagi aku membungkuk, menatap wajahnya.
"Itu di Surabaya, Alena. Terlalu jauh."
"Tapi aku belum pernah ke Surabaya."
Zay bergeming.
"Ke sana, yuk!" rengekku, lalu duduk dan bergelayut manja di pundaknya. "Aku belum tau indahnya Surabaya," ucapku sambil memainkan jemari di leher belakangnya. Merayu.
"Tapi ...."
"Masih sebulan lagi. Bisa 'kan atur waktu dari sekarang?"
"Masalahnya--"
"Pokoknya harus ke sana. Titik!" tandasku.
Lama Zay terdiam, hingga akhirnya menghela napas. "Oke," ujarnya masih dengan menatap buku di tangannya.
"Thanks." Kucium pipinya. "Anggap aja ini bulan madu, ya?"
Zay malah terkekeh. "Mmm."
Aku tertawa. Semakin erat memeluknya.
***
Mobil berhenti di parkiran kampus. Liburan selesai, dan kami kembali pada rutinitas sebagai mahasiswi dan dosen. Zay turun selagi aku membenahi tas dan rambut.
"Belajar yang benar, dengarkan dosen baik-baik," ucapnya setelah membuka pintu untukku.
"Ayayaya! Siap Pak Dosen!" Aku memberi tanda hormat. Lalu keluar dari mobil. "Eh, jelek enggak sih, pakai syal kayak gini?" Aku bertanya sambil meraba syal putih yang melilit di leher.
"Mmm, enggak. Kamu lucu, Sayang!"
"Masa?"
"Iya."
"Bohong!"
"Suer!" Zay mengacungkan dua jari.
"Alena!" Teriakan melengking yang sudah beberapa minggu ini tak kudengar.
Zay menunjuk ke belakang punggungku dengan mengangkat dagu.
"Aduh, mati aku," keluhku sambil menepuk kening.
"Kenapa?" Zay bertanya heran.
Aku hanya menggelengkan kepala.
"Alena ... I miss you!" Tahu-tahu Jihan sudah memeluk erat tubuhku, sambil menggoyang ke kanan dan ke kiri.
"Aww! Lo mau bikin gue sesak napas, Ji?!" teriakku.
"Oh, sorry! Saking kangennya gue." Jihan meringis."Eh, Pak Zay. Gimana kabarnya, Pak?"
"Baik." Zay menjawab singkat.
"Al, tumben lo pake syal? Perasaan bukan musim dingin, deh. Apa lo abis liburan dari Hongkong?" Jihan menyentil syal yang menjuntai di dada. Tatapan mata polosnya malah membuatku merasa malu.
"Hmm, itu ... ini, apa ... mmm ...." Aku berusaha mencari jawaban.
"Aku pergi dulu, ya!" Tiba-tiba Zay mencium pipiku, lalu masuk ke dalam mobil. "Bye!" serunya diakhiri senyum tertahan.
Aku membalas lambaian tangannya sebelum mobil itu melaju.
"Ke mana?" Jihan menunjuk mobil yang sudah menjauh.
"Biasa, SMA. Entar siang baru ke sini," terangku.Jihan mengangguk-anggukan kepala beberapa kali.
Hingga tersadar. "Masuk, yuk!" ajakku.
"Eh, Al. Suami lo kayak agak aneh, ya?"
"Aneh kenapa?"
"Itu Pak Zay kenapa senyum-senyum gitu, kesambet?" Jihan tampak kebingungan.
"Udahlah, enggak usah dipikirin. Masuk, kuy!" ucapku sambil menyeret lengannya.
***
"Jadi kalian liburan bareng?" Jihan membulatkan mata dan bibir.
"Mmm, pas awal libur itu, kita ke kebun teh. Terus ... dia ... cium aku." Aku tersenyum geli membayangkan kejadian beberapa minggu lalu.
"Jadi, sekarang rumah tangga kalian udah normal, gitu?" Jihan berpindah duduk di sampingku.
"Ih, emang ada rumah tangga enggak normal?" sungutku.
"Loh, pernikahan kalian awalnya enggak normal. Iya, 'kan?"
Ya ampun, sudah kuduga. Seperti inilah akibatnya bercerita pada sahabatku yang agak sengklek ini.
"Kayaknya, kita udah punya perasaan yang sama, Ji," tuturku malu.
"Lo udah cinta sama suami lo? Lo udah bilang sayang?" Jihan terlihat antusias.
"Ih, apaan! Dia duluan, ya gue ngikut," dalihku.
Jihan tampak merenung, mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. Sesekali bibirnya bergerak, ke kanan, ke kiri. Lalu mengerucut sebentar.
"Kenapa?" Aku menepuk lengannya yang terangkat, dengan satu jari menyentuh dagu. Persis seperti anak SD yang sedang ujian.
Jihan menatapku, lalu tersenyum. "Oh, pantesan."
"Pantesan apanya? Lo bikin gue bingung," tukasku.
"Ini." Jihan menunjuk syal di leherku, sambil berucap, "pantes aja." Lalu mengecup-ngecupkan bibirnya.
Hah, aku terkesiap. Kupikir dia tidak akan menyadarinya.
"Aciye ..., yang udah jadi is-tri," celetuk Jihan dengan menekan kata istri.
Aku menyembunyikan wajah di balik telapak tangan. Malu, tapi juga senang. Baru kali ini ejekannya membuatku bahagia setengah mati.
Gerr, kami tergelak bersama.
"Woi, istri Pak Dosen. Jangan berisik!" Salah satu mahasiswa di belakang kami berseru.
Ups, kami lupa sedang berada di perpustakaan.
Aku tutup bibirku rapat-rapat dengan sebelah tangan, dan Jihan memegangi perutnya. Seandainya bebas bersuara, kami pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal.
"Ternyata Pak Dosen diam-diam ganas juga," bisik Jihan.
Aku melotot. Menggerakkan tangan hendak menjitak kepalanya seperti biasa, tapi kuurungkan. Lebih memilih mencubit pipinya, gemas.
Dulu, setiap dia mencibirku tentang Zay, aku pasti kesal dan marah. Sekarang, bahkan rasanya aku ingin dia terus mengejekku seperti ini.
Inilah uniknya cinta, atau mungkin aneh. Lelucon dan sindiran saja bisa mengubah suasana hatimu.
Semua terasa indah.
*****
--bersambung--