"Al!"
Kutatap sosok yang sedang berlari ke arahku. "Kenapa, sih?"
"Cepetan, hasil ujian udah keluar!" Jihan menarik tanganku.
Oya? Kenapa Zay tidak mengatakannya padaku?
Jangan-jangan?
Aku dan Jihan berdiri di belakang antrian mahasiwa yang juga sedang memeriksa hasil nilai. Jihan tampak tak sabar. Aku? Biasa saja. Tidak terlalu antusias. Mungkin hasilnya seperti semester-semester lalu, menurutku.
Kerumunan berkurang. Hingga akhirnya tiba giliran kami berdiri paling depan. Kutatap satu persatu kertas yang tertempel di majalah dinding.
"Alena-Alena-Alena. Nah, ini. Alena Callisia Raharja." Kubaca pelan keterangan yang tertulis.
"Gimana, Al?" Jihan menepuk pundakku.
Kulebarkan mata, menguceknya, melihat dengan pasti. "Hah, lulus semua, Ji!" Aku berjingkrak kegirangan. "Gue bebas, enggak ada mata kuliah yang mesti diulang!"
"Wah, akhirnya. Sumpah, gue terharu, Al! Ini keajaiban, patut kita syukuri. Ini semester pertama lo, tanpa harus cuci nilai!" Jihan berseru tak kalah lantang, tapi sayang kebahagiaannya ini malah membuat aku malu.
"Lo ngejek gue, hah?!" Tanganku sudah mengepal ke arah wajahnya yang sedang meringis. Kalau sudah melihat ekspresiku seperti ini, nyalinya pasti menciut seketika.
"Sorry, Al. Saking senengnya gue."
"Seneng sih seneng, ngomong saring dikit napa? Lo--"
"Al ...." Jihan menyela dengan kedua alis yang terangkat berkali-kali, seperti memberi kode. Matanya terus menunjuk ke belakangku.
"Apa?" Aku menurunkan tangan kesal, lalu berbalik segera.
Lelaki itu, berdiri dengan menyandarkan bahu kirinya pada dinding. Dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Sudut bibirnya terangkat perlahan.
Aku palingkan wajahku kembali, menatap Jihan dengan mata melotot.
"Pawang lo udah dateng," desisnya dengan senyum dipaksakan. "Bye, gue pulang dulu! Pak Zay, pamit, ya?" Kepalanya mengangguk tanda hormat. Secepat kilat pemilik kaki mungil itu berlari menjauh.
"Eheum."
Dadaku berguncang, hanya dengan suara dehemannya. Aku mencoba berdiri tegak, lalu mengatur napas dan berbalik. "Selamat pagi, Pak Zay!" Senyum manis kuberikan, walau terpaksa.
"Selamat pagi. Bagaimana, nilainya bagus, 'kan?" Dia mulai berdiri tegap, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
"Oh, tentu saja bagus," sahutku dengan senyum semakin terpaksa.
"Akhirnya, seorang Alena. Bisa mendapat nilai yang ... ya, cukup memuaskan. Setelah mendapat les private dari--"
"Pak Zay!" Suara cempreng terdengar memekakkan telinga.
Hah, sudah pasti ini terjadi!
Mahasiswi tingkat satu yang masih centil dan hobi mencari perhatian.
"Pak Zay, liburan kali ini mau ke mana?"
"Pak Zay, kami pasti rindu!"
"Pak Zay! Aku mau liburan ke Medan. Bapak mau oleh-oleh apa?"
Pak Zay ... Pak Zay ... ini itu ... bla-bla-bla.
Aku mendesah kesal. Kalau sudah begini, akan ada dua pilihan. Pergi sebagai perempuan terhormat, atau diam sebagai kambing conge.
Kuputuskan pergi, tapi saat hendak melangkah dia menahan tanganku.
"Hadiah dariku, hari ini kita ke rumah orang tuamu."
Aku mengangguk setuju, karena sejujurnya sudah sangat merindukan Mama dan Papa.
.
"Mama!" Aku berteriak saat memasuki rumah.
"Alena?" Mama menyambutku di pintu dapur.
"Mama, aku kangen!" Kupeluk erat tubuh perempuan tersayangku.
"Mama juga kangen putri manja Mama," balasnya sambil mengecup pipiku.
"Assalamualaikum, Ma." Zay meraih lalu mengecup tangan Mama.
"Waalaikumsalam. Sehat, Zay?"
"Alhamdulillah, baik."
"Jadi gimana, beberapa bulan tinggal sama putri kecil Mama ini. Apa dia bikin repot?" Mama tersenyum menatapku.
"Ih, Mama. Apaan, sih?" gerutuku menahan malu.
Zay tertawa pelan. "Lumayan bikin repot, Ma. Tapi, cukup manis untuk seorang istri."
Gerr, Mama tertawa. Zay menimpali dengan senyum lebar.
Aku? Mati-matian menahan rona panas di pipi.
Zay berhenti tertawa, saat terdengar dering ponsel dari sakunya.
"Halo! Oh, ya. Saya ke sana sekarang." Dia menatap layar ponselnya sekejap. "Mmm, Zay pamit dulu, Ma. Masih ada yang harus dikerjakan ternyata."
"Lho, kok? Makan siang di sini dulu aja."
"Nanti sore ke sini lagi, Zay pamit." Dia mengangguk disertai senyum.
"Anterin sana," bisik Mama.
"Iya, sahutku. Lalu segera melangkah, mengantarnya ke teras rumah.
"Nanti aku balik lagi, jemput kamu."
"Bentar." Aku menahan tangannya yang hendak membuka pintu mobil.
"Hm?" Zay memberi ekspresi bertanya.
Ah, bagaimana ini? Kenapa sulit mengatakannya?
"Ada apa? Aku mesti cepet--"
"Makasih!" ujarku cepat menyela perkataannya. Dengan mata terpejam, menahan grogi.
Terdengar suara terkikiknya.
Memangnya ini lucu?
Perlahan aku membuka mata. Ternyata dia sudah duduk dalam mobil.
"Alena, boleh aku katakan sesuatu?"
"Y-ya."
"Kamu manis, aku enggak bohong!" Dua jarinya terangkat.
Ah, dadaku berdebar spontan!
Sempat dia melambaikan tangan sebelum terdengar suara deru mesin menyala.
Pelan, mobil itu keluar dari halaman rumah. Berlalu dari pandanganku.
Ya Tuhan, kenapa getarnya semakin kencang?
Aku meraba dada. Detak jantungku berkali lipat lebih cepat!
Parahnya, sulit kunormalkan kembali.
***
"Oh, jadi akhirnya Alena terbebas dari mata kuliah ulang di semester depan?" Kak Alfa bertanya dengan suara lantang. Aku tahu dia sengaja, pasti akan mengolok-olok.
"Iya, Fa. Ya, walaupun nilainya banyak C+, setidaknya ini rekor." Zay menimpali selorohan Kak Alfa.
"Wah, enggak salah berarti Papa minta kamu jadi guru les private Alena, ya, Zay?" tukas Papa kemudian.
"Itu sih guru merangkap suami, atau suami merangkap guru, ya?" Mama pun ikut menggoda.
Semua tertawa. Ish!
"Oh, ya, Pa. Kemarin Zay sempet janji sama Alena mau kasih hadiah kalau nilai ujiannya bagus. Mm, tapi sepertinya harus izin dulu sama Papa." Zay menatap Papa dengan raut serius.
Semua tiba-tiba diam.
Papa menyimpan gelas kopinya di atas meja. "Apa itu? Kenapa harus minta izin Papa, kamu 'kan suaminya?"
Zay meringis sambil menggaruk tengkuknya. Kenapa mendadak dia berubah kaku, tidak biasanya?
"Jadi beberapa minggu lalu Zay tanya-tanya sama Alfa, soal problem yang dialami ... Alena." Wajahnya berganti menatapku, lalu tersenyum. Kemudian kembali menatap Papa.
Sedang Papa, malah menoleh ke arah Kak Alfa. Membuat Kak Alfa seperti salah tingkah.
"Jadi ternyata, alasan Alena terlambat bangun, malas kuliah, dan mendapat nilai jelek. Itu karena memang Alena tidak pernah mau kuliah jurusan hukum. Iya, 'kan?"
Semua mata mengarah pada lelaki berambut cepak itu. Papa, Mama, Kak Alfa dan aku. Kami semua seperti sedang mendengarkan materi darinya.
"Bisa to the point?" Papa terlihat tidak sabar.
"Ah, maaf. Zay lupa sedang berbicara dengan kalangan hukum yang anti basa basi, sedang Zay seorang dosen yang harus selalu menerangkan materi secara--"
"Eheum!" Aku mencoba mengingatkan.
"Oke-oke, jadi begini. Zay janji sama Alena, jika dia lulus naik tingkat tanpa halangan apa pun, Zay akan memberikan Alena sebuah sanggar tari!"
Aku terperanjat. Apa maksudnya?
"Uhuk ...." Kak Alfa yang sedang meminum siropnya tersedak.
Papa, menatap aku dan Zay bergantian. Terlihat Mama tak kalah kagetnya, mulut dan mata yang terbuka lebar.
"Kenapa, ada yang salah?" Zay tampak kebingungan. "Alfa bilang selama ini Papa larang Alena untuk menari, maksudnya menjadi seorang dancer."
Papa menghela napas berat, lalu menyandarkan punggungnya. Seperti sedang menenangkan diri.
"Alfa!" Mama menatap Kak Alfa dengan tatapan menuntut.
Aku hanya pasrah, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tak sanggup lagi mendengar kekeliruan ini.
"Oh, jadi gini Pa. Zay dateng ke kantor aku, dia nanya perihal keadaan yang sedang dialami Lena. Ya, aku katakan. Alena 'kan dulunya suka ... menari." Kedua tangannya bergoyang memberi gambaran. "Nah, terus aku bilang, Alena sempat ingin mendirikan sanggar tari, cuma ... Papa larang. Nah, gitu!" Suara Kak Alfa bergetar, terlihat jelas agak ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari Papa.
"Kak Alfa," tegurku pelan.
"Memang apa yang salah dengan menari? Bukankah, itu sebuah prestasi?" Zay masih bersikeras mencari jawaban.
"Zay!"
"Alena!" Mama mengangkat telunjuknya dengan mata melotot.
"Oh, iya. Maaf ... maksudku, Pak ... eh, Ma-Mas Zay. Begini sebenarnya, mungkin ini enggak seperti yang ...," ucapanku menggantung. Lidah membeku seketika, sulit bergerak.
"Jadi begini, Zay." Tiba-tiba Papa menyela. "Alena memang suka menari. Sejak kecil malah. Tapi kamu tau 'kan bagaimana seorang penari. Dia selalu memakai celana pendek saat menari, baju tanpa lengan. Dan tariannya itu ... terlalu lincah. Papa takut dia keseleo atau patah tulang mungkin. Bisa saja, 'kan?"
"Loh, Alfa bilang Alena suka menari tradisional?" Zay mengernyitkan keningnya.
"Ya, emang Alena suka menari tradisional. Sejak SD! Tari Jaipong, Pendet, Lilin ...." Kak Alfa menunjuk-nunjuk padaku. "Apalagi, ya? Ah, Tari Topeng! Iya, 'kan, Len?"
"Alfa, cukup!" Mama memberi instruksi.
Memalukan, seorang notaris seperti dia bisa seceroboh ini!
"Jadi, begini, Zay. Papa larang Alena menjadi seorang dancer, karena--"
"Stop!" Aku berteriak menyela Papa, menghentikan kerumitan. Ini hanya akan menambah kacau masalah.
Kesal, marah, murka!
Kenapa harus memperdebatkan masalah ini?
Aku berdiri. "Jangan ada lagi yang membahas tentang menari, sanggar tari atau entah apa itu!" teriakku. "Dan kamu!" Jariku mengarah pada lelaki yang sudah enam bulan menjadi suamiku. "Jangan pernah ungkit lagi soal masa laluku. Ingat itu!" Lalu pergi meninggalkan mereka.
Seandainya mereka tahu bagaimana rasanya. Mati-matian mengubur masa lalu, dan kini harus digali kembali tanpa kehendakku.
Itu ... menyakitkan.
*****
--bersambung--